Pemerintah menargetkan kebijakan pengendalian kode identitas perangkat telekomunikasi atau IMEI berlaku mulai Februari 2020. Setelah kebijakan berlaku, seluruh ponsel ilegal atau selundupan yang masuk ke Indonesia dipastikan tidak akan dapat digunakan.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama/I Gusti Angga/Harry Susilo
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menargetkan kebijakan pengendalian kode identitas perangkat telekomunikasi atau IMEI berlaku mulai Februari 2020. Setelah kebijakan berlaku, seluruh ponsel ilegal atau selundupan yang masuk ke Indonesia dipastikan tidak akan dapat digunakan.
”Pengoperasian sistem informasi basis data IMEI nasional (SIBINA) yang digunakan untuk mengendalikan dan mencegah peredaran ponsel ilegal ini rencananya akan berlaku pada Februari 2020,” ujar Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Ismail dalam bincang-bincang dan seminar nasional bertajuk ”Membedah Potensi Kerugian Konsumen, Industri, Negara akibat Ponsel Black Market dan Solusinya” yang diselenggarakan Indonesia Technology Forum di Jakarta, Jumat (2/8/2019).
Turut hadir dalam acara itu sebagai pembicara Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronik Kementerian Perindustrian Harjanto, Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan Veri Anggriono Sutiarto, Kasi Impor 2 Direktorat Teknis Kepabeanan Kementerian Keuangan Heri Purwanto, Wakil Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Merza Fachys, dan Ketua Umum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi.
Cara kerja SIBINA, kata Ismail, adalah memadankan angka 15 digit IMEI di perangkat ponsel konsumen dengan IMEI yang tercatat dalam basis data milik pemerintah yang dihimpun Kemenperin, Kemendag, dan Kemenkominfo.
”Apabila ponsel yang menggunakan IMEI yang tak tercatat dalam database, ponsel itu tidak bisa lagi digunakan untuk komunikasi. Paling hanya untuk kamera, tetapi tak bisa untuk membuat telepon atau berkirim pesan,” ujar Ismail.
Rudiantara mengatakan, sebelum SIBINA diberlakukan pada Februari 2020, untuk tahap awal akan dibuatkan terlebih dahulu peraturan yang mengatur soal itu. Peraturan soal pemberlakuan SIBINA itu direncanakan akan terbit pada 17 Agustus.
”Kami memanfaatkan momentum kemerdekaan dalam mengeluarkan peraturan itu,” ujar Rudiantara.
Peraturan akan berupa peraturan menteri dari tiga kementerian teknis yang mengatur soal impor ponsel. Tiga kementerian itu adalah Kemenperin, Kemendag, dan Kemkominfo.
Ismail menjelaskan, meski peraturan itu sudah keluar sejak 17 Agustus, perlu waktu enam bulan, yakni Februari 2020, untuk pemberlakukan SIBINA. Sebab, pemerintah masih perlu waktu untuk menyempurnakan sistem yang ada agar betul-betul bisa bekerja maksimal.
”Selain itu, enam bulan ini menjadi waktu untuk sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat,” ujar Rudiantara.
Perlindungan konsumen
Tulus mengatakan, aturan ini adalah bentuk perlindungan konsumen dari ponsel-ponsel ilegal. Konsumen sering kali, katanya, merasa mendapatkan keuntungan dari ponsel ilegal karena harganya lebih murah.
Namun, mereka akan mengalami kerugian dalam jangka panjang. Salah satunya karena ponsel ilegal tidak memiliki garansi resmi dari prinsipal atau pemegang merek. Konsumen hanya memperoleh garansi dari toko.
”Artinya, ponsel itu hanya bisa diperbaiki di toko tempat ponsel itu dibeli. Ketika ponsel itu diberikan ke adik saya di Kutoarjo sana, dia tidak bisa mendapatkan garansi perbaikan karena ponselnya ilegal,” ujar Tulus.
Merza menyambut baik inisiatif pemerintah untuk mengeluarkan aturan soal pemberlakuan SIBINA. Hal ini dinilainya bisa mengurangi peredaran dan masuknya impor ponsel ilegal.
”Harapannya ponsel yang beredar ini bisa dikontrol oleh pemerintah sehingga yang beredar hanya ponsel yang didatangkan dan diedarkan dengan prosedur resmi,” ujar Merza.