Kemampuan kritis masyarakat perlu terus diasah melalui program-program literasi buku bacaan. Dengan adanya buku-buku bermutu dan murah serta didukung dengan pendistribusian yang merata, masyarakat diharapkan tidak mudah terpapar dengan informasi hoaks.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemampuan kritis masyarakat perlu terus diasah melalui program-program literasi buku bacaan. Dengan adanya buku-buku bermutu dan murah serta didukung dengan pendistribusian yang merata, masyarakat diharapkan tidak mudah terpapar dengan informasi hoaks.
Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Rosidayati Rozalina mengingatkan bahwa daya kritis masyarakat perlu terus diasah untuk menghadapi ancaman penyebaran hoaks. Salah satu caranya dengan meningkatkan budaya literasi melalui buku bacaan.
”Kita harus mengambil peran dalam meningkatkan literasi masyarakat melalui penerbitan buku yang bermutu,” katanya dalam Pembukaan Gramedia Writers and Readers Forum (GWRF) 2019 di Perpustakaan Nasional Jakarta, Jumat (2/8/2019).
Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan dijelaskan bahwa literasi adalah kemampuan untuk memaknai informasi secara kritis sehingga setiap orang dapat mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi dalam meningkatkan kualitas hidupnya.
Adapun, buku merupakan salah satu sarana dalam membangun dan meningkatkan budaya literasi masyarakat tersebut.
Rosi menambahkan, UU tersebut juga mengamanatkan agar masyarakat mendapatkan akses terhadap buku-buku bermutu, murah, dan merata. Hal tersebut menjadi tanggung jawab dari pemerintah dan sepuluh pelaku perbukuan, seperti penulis, editor, ilustrator, hingga penerbit.
Sejauh ini pemerintah sudah menggalakkan budaya literasi bacaan melalui pendistribusian buku ke sekolah ataupun perpustakaan. Hanya saja ada kecenderungan buku-buku tersebut belum sesuai dengan selera masyarakat. Padahal, minat baca mereka sebetulnya masih potensial.
”Di luar laporan tentang minat baca yang rendah masih banyak orang yang berburu untuk mendapat buku. Contohnya saat acara Mudik Asik Baca Buku, animo masyarakat luar biasa,” ujarnya.
Menurut dia, hal itu bisa menjadi peluang. Pendistribusian buku bacaan bisa dilakukan lebih merata, terutama di daerah yang jauh dari toko buku. Selain itu, harga buku juga sebisa mungkin harus terjangkau mengingat masih banyak masyarakat yang kesulitan untuk membelinya.
Selain milenial, Rosi menilai semua kalangan idealnya perlu meningkatkan literasi terhadap buku bacaan. Meski begitu, milenial memang lebih membutuhkan, karena ancaman hoaks bagi mereka jauh lebih besar seiring dengan ketergantungan terhadap gawai.
”Forum pertemuan antara penulis dan pembaca seperti GWRF 2019 ini diharapkan akan menambah literasi sekaligus menghasilkan buku-buku berkualitas ke depan,” ujarnya.
Keberagaman literasi
Publishing and Education Director PT Gramedia Asri Media Suwandi S Brata mengatakan, sebanyak 45 penulis akan berdialog dengan para pembacanya pada GWRF kali ini.
Dengan mengusung tema ”Literacy in Diversity”, GWRF akan menjadi simbol dalam keberagaman literasi seperti suku, agama, wilayah dan latar belakang.
”Para pembaca, mari membuka hati. Kalian yang orang Jawa bisa membaca tulisan tentang orang Sumatera dan sebagainya. Mari perlebar khazanah pengetahuan,” ujarnya.
Ketua Komite Buku Nasional Laura Bangun Prinsloo mengatakan, penting bagi penerbit untuk memberi ruang komunikasi antara penulis dan pembaca. Hal ini sebagai bentuk nyata peran penerbit dalam mewujudkan budaya literasi masyarakat.
Selain itu, ide-ide dari pembaca juga bisa diserap untuk menghasilkan buku yang bermutu. ”Penerbit tidak boleh berdiri di menara gading, tetapi harus terus berinovasi, kreatif, dan mengikuti perkembangan zaman,” ujarnya.