Korupsi, Hukuman Mati, dan HAM
Penerapan hukuman mati untuk koruptor menjadi polemik di tengah minimnya efek jera dan relatif rendahnya vonis untuk koruptor. HAM dan efektivitasnya dalam mengurangi kejahatan jadi hal yang dipertimbangkan dalam penerapan hukuman mati.
Penangkapan Bupati Kudus, Jawa Tengah, M Tamzil pada 26 Juli lalu oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena kasus jual beli jabatan memunculkan wacana perlunya hukuman mati untuk koruptor guna mencegah keberulangan. Ini karena Tamzil pernah divonis bersalah dalam perkara korupsi dana bantuan sarana dan prasarana pendidikan tahun 2004-2005 di Kabupaten Kudus.
Isu penerapan hukuman mati selalu menuai pro dan kontra. Pasalnya, meski dinilai tak sesuai dengan hak asasi manusia (HAM), jenis hukuman itu ada dalam kerangka hukum positif di Indonesia.
Dalam Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi disebutkan, pidana mati dapat dijatuhkan dalam keadaan tertentu, yakni korupsi dilakukan saat negara dalam bahaya, bencana alam, krisis ekonomi, dan terjadi pengulangan tindak pidana korupsi. Namun, jenis hukuman ini belum pernah dijatuhkan terhadap pelaku korupsi ataupun residivis kasus korupsi.
Bahkan, berdasarkan data Indonesia Corruption Watch, rata-rata lama vonis terhadap koruptor pada 2018 hanya 2 tahun 5 bulan. Hal ini juga bermula dari tuntutan yang diajukan yang rata-ratanya 3 tahun 4 bulan.
Sementara Tamzil, pada tahun 2015, dijatuhi hukuman penjara selama 1 tahun 10 bulan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang, Jawa Tengah. Saat itu, ia menjabat Bupati Kudus periode 2003-2008. Setelah keluar dari penjara, Tamzil kembali maju pada Pilkada 2018 sebagai calon bupati Kudus dan dia memenanginya.
Hal serupa pernah terjadi pada Bupati Hulu Sungai Tengah Abdul Latief. Ia pernah dijatuhi pidana penjara 1 tahun 6 bulan karena korupsi pembangunan gedung sekolah di Kalimantan Selatan. Usai menjalani pidana, Latief mengikuti pemilu legislatif dan terpilih menjadi anggota DPRD Provinsi Kalsel 2014-2019.
Baru setahun menjadi wakil rakyat, ia mencalonkan diri sebagai bupati Hulu Sungai Tengah periode 2016-2021 pada Pilkada 2015 dan dia memenanginya. Pada Januari 2018, Latief ditangkap KPK.
Melihat fenomena di atas, apakah hukuman berat hingga hukuman mati akan mampu mencegah keberulangan dan juga menghentikan tindak pidana korupsi di Indonesia?
Dalam acara bincang Satu Meja The Forum di Kompas TV, Rabu (31/7/2019), yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo, komisioner Komnas HAM Choirul Anam menilai, hukuman mati tidak dapat begitu saja menyelesaikan persoalan korupsi di Indonesia. Mestinya, yang dilakukan adalah pembenahan sistem hukum hingga perbaikan di level negara dan masyarakat.
Problematika mendasar yang muncul, lanjut Anam, adalah belum adanya kesadaran bersama bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa. Pandangan itu menjadi salah faktor yang membuat Tamzil dapat terpilih kembali memimpin Kudus meski sebelumnya telah dipenjara karena perkara korupsi.
”Ini refleksi untuk semua. Selain di masyarakat, ada problem di level kebijakan yang masih memungkinkan mereka ini maju kembali. Parpol juga bertanggung jawab karena menyodorkan orang yang pernah tersangkut korupsi. Penegak hukum juga mestinya tegas, kalau memang harus dihukum berat, ya, dihukum saja. Setuju dengan hukuman berat, tetapi bukan hukuman mati,” tutur Anam.
Turut hadir sebagai pembicara dalam acara ini, pegiat antikorupsi Saor Siagian; anggota Komisi III DPR, Arsul Sani; pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Eddy OS Hiariej; budayawan Radhar Panca Dahana; serta peneliti Amnesty International Indonesia, Aviva Nababan.
Tidak berdampak
Menurut Aviva, penjatuhan hukuman mati tidak berdampak pada menurunnya kejahatan. ”Dari negara yang indeks persepsi korupsinya baik, hanya Singapura yang menerapkan hukuman mati. Itu pun tak diterapkan pada korupsi,” katanya.
Arsul juga mengatakan, penerapan hukuman mati tidak mudah. Dalam rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang tengah dibahas, hukuman mati tetap dicantumkan sebagai hukuman alternatif dengan percobaan. Dengan demikian, terpidana mati dapat berubah statusnya jika berperilaku baik selama menjalani hukuman. ”Hukuman mati juga tak serta-merta. Harus ditempuh dulu cara lain, seperti perampasan aset dan pencabutan hak politik,” ujarnya.
Menurut Eddy, hukuman mati bisa dilakukan jika melihat dampak dari korupsi. Pada saat yang sama, masih rendahnya tingkat kesadaran hukum masyarakat dan tingginya potensi keberulangan di pelaku kejahatan, juga dibutuhkan hukum yang tegas. Namun, sudut pandang dan penerapannya harus seragam dan simultan.
”Berbicara HAM, hukuman mati suatu yang tidak adil. Namun, ketidakadilan boleh dilakukan untuk mencegah ketidakadilan yang lebih besar. Koruptor ini, kan, tidak memedulikan hak asasi orang lain,” ujar Eddy.
Sementara itu, Radhar menilai, sampai kini pemberantasan korupsi belum dilakukan secara serius. Dibutuhkan perubahan terkait perilaku elite dan sistem yang ada. Namun, hal itu belum terlaksana mengingat elite masih berebut kekuasaan dan berburu materi yang berujung pada korupsi.
Negeri ini masih membutuhkan resep manjur untuk lepas dari jeratan korupsi. Hukuman mati mungkin dapat menjadi penawar. Namun, apakah berdampak panjang dan efektif selama korupsi hanya dianggap sebagai suatu kesialan dan tidak ada cukup itikad dari elite untuk berubah? Faktanya, korupsi merenggut hak asasi banyak rakyat di negeri ini.