JAKARTA, KOMPAS – Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara dinilai menjadi pisau analisis untuk membedah para calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2019-2023. Untuk itu, penting bagi panitia seleksi untuk benar-benar tegas menyeleksi para calon pimpinan yang tidak taat melaporkan harta kekayaan.
Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan, dari 104 calon pimpinan (capim) KPK yang lolos seleksi administrasi, terdapat 65 penyelenggara negara dan 39 bukan penyelenggara negara. Dari 65 penyelenggara negara tersebut, hanya 29 capim KPK yang tepat waktu dalam melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) periode 2018.
Sementara 11 capim KPK terlambat melaporkan LHKPN, yaitu melebihi tenggat waktu seharusnya pada 31 Maret 2019. Ada 6 capim KPK yang harus memperbaiki laporannya, artinya sudah melapor namun secara administrasi belum menyampaikan surat kuasa sehingga tidak dapat dikatakan lengkap. Ada pula 19 capim KPK yang belum melapor LHKPN periode 2018.
“LHKPN itu pisau analisa untuk membedah figur dari calon-calon pimpinan KPK. Kalau dari awal enggak mau melaporkan itu, ya jangan menjadi pimpinan KPK,” kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, di Jakarta, Jumat (2/8/2019).
Paparan ini disampaikan dalam Dialog Kanal KPK. Hadir pula sebagai narasumber, antara lain Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari, Direktur Pendaftaran dan Pemeriksaan LHKPN Isnaini, dan Peneliti Indonesia Corruption Watch Kurnia Ramadhana.
Saut menegaskan, LHKPN juga menjadi penting untuk melihat rekam jejak dari capim KPK. Melalui LHKPN, dapat diuji bagaimana capim KPK menggunakan kekuasannya ke depan, apakah transparan atau tidak. Sebab, korupsi adalah kekuasaan yang disimpangkan.
LHKPN penting untuk melihat rekam jejak dari capim KPK. Melalui LHKPN, dapat diuji bagaimana capim KPK menggunakan kekuasannya ke depan
“Maka, kalau kita bicara seperti apa pemimpin KPK ke depan, tentu integritas yang terpenting. Kalau dari awal sudah tidak jujur, bagaimana nilai-nilai integritas berikutnya dapat diterapkan,” tegas Saut.
Feri Amsari menegaskan, capim KPK harus melaporkan harta kekayaannya. Sebab, para capim KPK akan memimpin sebuah lembaga besar yang akan mengoreksi harta kekayaan penyelenggara negara lain.
“Jadi bayangkan kalau ternyata harta kekayaan mereka sendiri bermasalah. Kalau kemudian ada capim KPK yang tidak berani mengumumkan kekayaannya, bagi saya kok mereka berpikir masuk ke KPK tapi tidak berani terbuka, ini yang menjadi pertanyaan besar,” kata Feri.
Dengan begitu, Feri menegaskan bahwa seharusnya panitia seleksi KPK sudah sedari awal untuk tidak meloloskan para capim KPK yang tidak melaporkan LHKPN. Sebab, KPK dibentuk untuk menghilangkan tabiat-tabiat yang tidak transparan, maka diperlukan orang yang transparan.
Senada dengan itu, Isnaini menyampaikan bahwa tujuan utama diadakannya LHKPN, yaitu untuk mendapatkan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Kemudian pada awal menjabat untuk memastikan transparansi penyelenggara negara dan untuk manajemen sumber daya manusia, artinya LHKPN bisa dijadikan sebagai salah satu syarat untuk proses promosi.
Selanjutnya selama menjabat, LHKPN dapat menjadi instrumen pengawasan untuk melihat penambahan jumlah harta kekayaan apakah sesuai dengan profiling dari penghasilan yang diterima. Selain itu, sebagai instrumen akuntabilitas pada akhir masa menjabat, yaitu untuk melihat apakah ada kenaikan pendapat yang signifikan atau tidak.
Tantangan ke depan
Kurnia Ramadhana menyampaikan, pada tahap selanjutnya dalam seleksi capim KPK, setelah penilaian profil maka akan masuk ke tahap fit and proper test dari Dewan Perwakilan Rakyat. Pada tahap itu diharapkan dapat dilaksanakan oleh anggota DPR periode 2019-2024.
“Sebab, kami memandang bahwa DPR rezim 2014-2019 justru kerap mengeluarkan tindakan pernyataan yang dianggap melemahkan KPK. Misalnya, isu revisi undang-undang KPK yang terus-menerus bergulir serta isu Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sampai hari ini masih menjadi polemik di tengah masyarakat,” kata Kurnia.
Selain itu, Kurnia mengatakan bahwa rekam jejak dari anggota DPR juga cukup menjadi sorotan. Dari data ICW, setidaknya hingga 4 April 2019 ada 22 orang anggota DPR 2014-2019 yang sudah ditetapkan tersangka oleh KPK.
Kurnia juga mengingatkan bahwa proses seleksi capim KPK juga menjadi momentum bagi Presiden Joko Widodo untuk membuktikan bahwa sikapnya masih sesuai dengan kerangka Nawacita pada 2014. Sikap untuk memperkuat KPK dan memberantas korupsi.
“Poin pentingnya, yaitu menyeleksi pimpinan KPK dengan mengedepankan integritas. Karena tidak mungkin kita percayakan lembaga anti korupsi kepada orang-orang yang memang tidak punya keberpihakan khusus terhadap pemberantasan korupsi,” tegas Kurnia.