JAKARTA, KOMPAS - Sudut pandang praktik korupsi korporasi hendaknya diarusutamakan dalam pemberantasan korupsi. Hal ini menyusul ditangkapnya seorang direktur keuangan PT Angkasa Pura II pada Rabu (31/7/2019) malam.
Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch Tama S Langkun, Kamis (1/8/2019) mengatakan kasus tersebut untuk yang kesekian kalinya menandai adanya persoalan serius di tubuh BUMN. Ia mengatakan, praktik tersebut selalu ada dari tahun ke tahun dan cenderung tidak berkurang.
Ia mengatakan, penanganan kasus korupsi selama ini yang cenderung selesai pada dimensi pelaku setelah divonis selama waktu tertentu, cenderung belum menyelesaikan persoalan. “Apalagi kalau punya dimensi korporasi,” kata Tama usai diskusi bedah buku dan peluncuran buku mengenai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana beserta perubahan pasal yang diselenggarakan ICW bersama Kejaksaan.
Menurut Tama, tatkala praktik korupsi melibatkan korporasi dan lantas diuntungkan dari aktivitas tersebut, maka tentu saja uang yang dinikmati korporasi mesti dikejar. “Kalau korporasi menjadi sarana pelaku korupsi, maka tidak adil jika hanya menghukum individunya,” ujar Tama.
Terkait dengan adanya sebagian pandangan bahwa pemberantasan korupsi dengan menggunakan perspektif korupsi korporasi akan dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi, karena di antaranya berdampak pada berhentinya operasional perusahaan dan pemberhentian tenaga kerja, Tama menolaknya. Ia mengatakan bahwa tatkala korporasi dibiarkan melakukan korupsi, dampaknya akan jauh lebih besar dibandingkan alasan-alasan subyektif terkait pertumbuhan ekonomi.
“Polisi, jaksa, dan KPK (memang harus) hati-hati dan mempertimbangkan banyak aspek, tapi tidak berarti harus pandang bulu,” ujar Tama.
Revisi KUHAP
Sementara itu dari diskusi dan bedah buku yang ditulis tim Kejaksaan, Tama menyatakan bahwa ICW mendukung dilakukannya revisi KUHAP. Ini sekalipun tetap diperlukan sinkronisasi dan harmonisasi di antara seluruh pihak terkait dengan sejumlah persoalan yang belum selesai.
“Kita harus duduk (bersama) untuk isu-isu yang belum selesai dan tumpang tindih. Revisi (diperlukan) karena untuk menyesuaikan kebeutuhan publik (tentang) penegakan hukum dan perlindungan masyarakat,” kata Tama.
Jaksa Fungsional pada Asisten Umum Jaksa Agung RI Yan Aswari yang merupakan salah seorang anggota tim penyusun buku tersebut mengatakan, pihaknya melakukan penelaahan dan pengkajian terhadap sekitar 1.300 pasal yang memuat ketentuan formil di lebih 130 peraturan perundang-undangan. Di dalamnya termasuk Hukum Acara Pidana yang pasal-pasalnya dipadankan dengan putusan Mahkamah Konsitusi yang memberikan perubahan pada KUHAP.
Ia menyebutkan bahwa untuk KUHAP, pihaknya mendorong segera terselesaikannya RUU KUHAP yang sesuai koridor dan sinkron. “Ini mendesak, sangat mendesak, (karena) sudah terlalu banyak aturan,” ujar Yan.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.