Polisi menetapkan 16 tersangka dalam kasus kerusuhan di Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan. Sampai saat ini, 263 personel kepolisian masih disiagakan untuk mengamankan situasi.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG,KOMPAS—Polisi menetapkan 16 tersangka dalam kasus kerusuhan di Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan. Sampai saat ini, 263 personel kepolisian masih disiagakan untuk mengamankan situasi.
Kepala Bidang Humas Polda Sumsel Komisaris Besar Supriadi di Palembang, Jumat (2/8/2019) menjelaskan sampai saat ini sudah 16 orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Tiga orang ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan penyerangan terhadap petugas. Adapun 13 lainnya dijadikan tersangka akibat penyerangan di RS Tebing Tinggi dan kepemilikan senjata tajam.
Penetapan tersangka itu merupakan tindak lanjut dari peristiwa betrok polisi dengan warga di Desa Tanjung Raman, Kecamatan Ulu Musi, Empat Lawang. Saat polisi saat mendatangi Erwin, warga yang dilaporkan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat atas kasus pengancaman, Rabu (31/7/2019), terjadi kesalahpahaman, sehingga terjadi bentrok. Dua polisi mengalami luka tusuk dan dua warga mengalami luka tembak. Mereka dibawa ke RSUD Tebing Tinggi.
Namun malamnya, puluhan warga Tanjung Raman mendatangi RSUD Tebing Tinggi dengan alasan hendak menjemput rekannya yan terluka. Namun terjadi penyerangan terhadap RSUD dan petugas. Dua polisi terluka, tiga orang warga juga terluka.
Supriadi mengatakan, hingga kini, penyelidikan terhadap saksi masih terus berlangsung, “Saksi yang diperiksa adalah mereka yang melakukan penyerangan di RS Tebing Tinggi,” katanya.
Dari data di lapangan, diperkirakan ada sekitar 50-70 orang turut menyerang rumah sakit. Dari jumlah tersebut ada 13 orang yang ditangkap karena terbukti membawa senjata tajam. Sedangkan, sisanya melarikan diri.
Oleh karena pemeriksaan masih berlangsung, jumlah tersangka dimungkinkan bertambah. “Kami masih menunggu hasil pengembangannya,” katanya. Polisi juga masih menyelidiki motif penyerangan apakah penyerangan murni untuk menjemput rekan mereka atau ada orang yang menyuruh.
Supriadi menerangkan, pengamanan masih terus berlangsung di sejumlah lokasi rawan terutama di kawasan Kecamatan Ulu Musi dan Kecamatan Pendopo, yang juga merupakan daerah rawan bentrok. Ada 269 petugas dari Polres Musi Rawas, Pagar Alam, dan Lahat yang dikerahkan untuk mengamakan situasi. “Walau keadaan sudah kondusif, namun hingga saat ini belum ada pengurangan petugas,” katanya.
Supriadi menerangkan, Kabupaten Empat Lawang, memang sangat rawan kerusuhan. Hal ini karena karakter masyarakatnya cukup temperamental dan memiliki rasa solidaritas yang sangat tinggi.
Untuk itu, diperlukan sejumlah upaya agar kejadian ini tidak terulang. Termasuk dengan melibatkan tokoh masyarakat untuk mengamankan situasi.
Kerusuhan di Kabupaten Empat Lawang bukan pertama kali terjadi. Selasa (12/6/2018), bentrokan antarpendukung pasangan calon bupati-wakil bupati pecah di Desa Padang Tepong, Kecamatan Ulu Musi, Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan. Akibatnya, satu orang tewas dan tiga luka-luka. (Kompas 13/6/2018).
Selain itu, pada Selasa (7/5/2019), juga terjadi bentrok antara massa pendukung calon legislatif dan petugas kepolisian terjadi di Kantor DPRD Empat Lawang, tepatnya saat rapat pleno rekapitulasi penghitungan suara. Bentrokan ini dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan massa dengan hasil pemilu dan menuntut adanya penghitungan suara ulang.
Pengamat Sosial dari Universitas Sriwijaya Bagindo Togar mengatakan, melihat kondisi bentrokan yang kerap kali terjadi di Kabupaten Empat Lawang , sudah saatnya pemerintah dan pihak kepolisian mencari akar permasalahan dan segera menyelesaikannya. “Cari akar masalahnya, kaji dan temukan formula penyelesaiannya,” kata dia.
Menurut Bagindo, Kabupaten Empat Lawang sendiri belum seterbuka kabupaten sebelumnya seperti Lahat dan Pagar Alam sehingga belum terjadi asimilasi budaya yang utuh. Untuk itu, perlu ada perlakuan khusus dari pemerintah atau kepolisian dalam memperlakukan masyarakat setempat.
“Kultur, norma, dan adat mayarakat Empat Lawang harus dipelajari secara menyeluruh. Ajak seluruh tokoh masyarakat, dan ulama berdiskusi agar konflik seperti ini tidak terulang lagi,” ungkap Bagindo yang juga menjabat sebagai Ketua Forum Demokrasi Sriwijaya itu.
Kerusuhan yang terjadi dalam rentang waktu yang berdekatan seakan memunculkan stigma bahwa antara masyarakat dengan kepolisian terdapat garis merah yang menganggap satu sama lain adalah musuh. “Belum ada harmonisasi antara keduanya,” kata Bagindo.
Untuk itu, sudah saatnya dilakukan kajian secara mendalam untuk mencari solusi agar terjadi harmonisasi diatara masyarakat dengan pemerintah maupun kepolisian.