JAKARTA, KOMPAS Kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II dinilai tidak mendesak bagi Indonesia karena pemerintah sudah memiliki peta dan profil wajib pajak menurut klasifikasi risiko. Fokus kebijakan sebaiknya diarahkan untuk mencari sumber pendapatan baru dan memacu reformasi perpajakan.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (2/8/2019), berpendapat, wacana tax amnesty jilid II berpotensi mencederai sistem perpajakan. Hal ini juga melukai rasa keadilan bagi mereka yang sudah ikut tax amnesty.
Menurut Prastowo, pemerintah sebaiknya fokus menjalankan peta jalan penegakan hukum setelah pengampunan pajak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017. Peta itu mencakup reformasi pajak dan penegakan hukum yang terukur, imparsial, obyektif, dan adil.
Saat ini, pemerintah sudah memiliki peta dan profil wajib pajak menurut klasifikasi risiko tinggi, sedang, dan rendah. Wajib pajak yang sudah ikut tax amnesty termasuk kategori risiko rendah, sedangkan wajib pajak risiko sedang dan tinggi belum melaksanakan kepatuhannya. ”Merekalah yang seharusnya jadi sasaran pembinaan (risiko sedang) dan penegakan hukum (risiko tinggi),” kata Prastowo.
Secara terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dalam acara bersama Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, memberikan sinyal amnesti pajak jilid II. Pemerintah akan mengkaji kemungkinan kebijakan pengampunan pajak untuk kedua kalinya.
Wacana itu dilontarkan Ketua Kadin Indonesia Rosan Roeslani yang menyuarakan aspirasi pelaku usaha. Menurut Rosan, banyak pelaku usaha menyesal tidak ikut tax amnesty. Dia yakin jumlah pesertanya akan meningkat dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Pemerintah pernah menggelar pengampunan pajak selama sembilan bulan, mulai 1 Juli 2016 sampai 31 Maret 2017. Program ini diikuti oleh 965.983 peserta pribadi dan badan. Total deklarasi dana mencapai Rp 4.866 triliun. Adapun uang tebusannya Rp 114 triliun (Kompas, 14/3/2018).
Dari total dana yang dideklarasikan tersebut, Rp 147 triliun di antaranya dinyatakan akan direpatriasi. Pemilik dana mayoritas adalah wajib pajak pribadi. Realisasi berdasarkan data terakhir, yakni per Maret 2017 adalah Rp 127 triliun. Sisanya yang sekitar Rp 20 triliun belum direpatriasi.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, antara lain, mewajibkan peserta pengampunan pajak periode I (Juli-September 2016) dan periode II (Oktober-Desember 2016) yang berkomitmen melakukan repatriasi, paling lambat mengalihkan hartanya ke dalam negeri per 31 Desember 2016. Adapun untuk periode III (Januari-Maret 2017) paling lambat 31 Maret 2017.
Sorotan IMF
Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporan Article for Consultation 2019, menyoroti pendapatan Indonesia yang relatif kecil. Pemerintah secara tersirat diminta menghindari langkah-langkah yang dapat melemahkan pendapatan negara, termasuk insentif pajak tambahan.
Pendapatan Indonesia saat ini masih di bawah 15 persen produk domestik bruto (PDB), relatif rendah daripada negara-negara berkembang lain, seperti Malaysia, Filipina, India, Thailand, dan Vietnam. Ketimbang memberikan insentif fiskal, pemerintah disarankan menyusun strategi pendapatan jangka pendek melalui reformasi kebijakan dan administrasi di bidang perpajakan. Tujuannya, mencari sumber penerimaan baru.
Kepala Lembaga Pusat Kajian Ekonomi Makro Universitas Indonesia Febrio Kacaribu berpendapat, pemerintah mesti berhati-hati dalam memberikan insentif pajak. Kebijakan itu bisa jadi bumerang, apalagi pendapatan negara saat ini sedang lesu. ”Indonesia justru butuh tambahan pendapatan. Rasio pajak masih terlalu rendah sehingga perlu menciptakan peluang-peluang baru agar pendapatan naik,” kata Febrio.
Insentif pajak dan pengurangan kewajiban perpajakan tecermin dalam realisasi belanja pajak (tax expenditure). Berdasarkan data Kementerian Keuangan, alokasi belanja pajak meningkat dari Rp 143,6 triliun pada 2016 menjadi Rp 154,7 triliun pada 2017. Pada 2019, belanja pajak ditargetkan sekitar Rp 150 triliun.
Di sisi lain, realisasi pendapatan negara per Juni 2019 Rp 898,8 triliun atau tumbuh 7,8 persen dibandingkan Juni 2018. Dari total pendapatan itu, penerimaan pajak tumbuh paling lemah, yakni 5,4 persen atau Rp 688,9 triliun.
Menurut Febrio, insentif pajak tak serta-merta berdampak terhadap perekonomian. Pemberian insentif memang meningkatkan produksi industri, tetapi tidak signifikan. Kenaikan produksi kenyataannya tak secepat penurunan penerimaan pajak. ”Masalah utamanya bukan di pajak, tetapi ketidakpastian biaya produksi. Hal itu yang harus dibenahi,” kata Febrio.
Salah satu persoalan biaya produksi yang mesti diatasi, misalnya, ongkos kirim barang dari pabrik ke pelabuhan dan kemudahan perizinan. Regulasi perizinan dinilai rumit dan berbelit sehingga membebani biaya produksi. Implementasi sistem perizinan terpadu (OSS) belum optimal. (KRN/CAS/MED)