Gajah Karina diindikasikan sudah dalam kondisi lemah sewaktu tim menembakkan bius. Kondisi itu ditunjukkan lewat kelainan perilaku karena faktor stres yang dapat memicu kematian setelah menjalani proses panjang translokasi satwa.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS—Gajah Karina diindikasikan sudah dalam kondisi lemah sewaktu tim menembakkan bius. Kondisi itu ditunjukkan lewat kelainan perilaku karena faktor stres yang dapat memicu kematian setelah menjalani proses panjang translokasi satwa.
Untuk memastikannya, tim dokter hewan didatangkan memeriksa kematian gajah betina berusia 50 tahun ini. Nekropsi dilakukan lewat pengecekan sejumlah sampel organ dari tubuhnya.
“Seluruh sampel akan diperiksa di laboratorium agar bisa kami mengetahui penyebab kematiannya,” kata Rahmad Saleh, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi, Jumat (2/8/2019).
Rahmad menyebut sejumlah kelainan terlihat sewaktu timnya mengejar Karina. Pada hari kelima proses pengejaran, Karina didapati sudah dalam kondisi lemah. Gajah itu hanya diam sewaktu tim terus mendekat untuk menembakkan bius.
Karena tak lagi menghindar, proses pembiusan berjalan lancar. Karina dengan mudah digiring tiga gajah jinak yang didatangkan dari Pusat Latihan Gajah (PLG) Minas, Riau.
Ia dibawa masuk ke dalam truk, untuk pindah dari wilayah hutan sekunder di Muara Tabir, Kabupaten Tebo, menuju kawasan restorasi ekosistem Hutan Harapan di Kabupaten Sarolangun. Perjalanan darat itu memakan jarak tempuh lebih dari 60 kilometer.
Proses pemindahannya pun terbilang cepat, hanya 10 jam, karena nyaris tak ada perlawanan sang satwa.
Proses pemindahannya pun terbilang cepat, hanya 10 jam, karena nyaris tak ada perlawanan sang satwa. Bandingkan dengan translokasi terdahulu pada gajah jantan bernama eL Rahmat, tim butuh 30 jam untuk proses translokasi pada 2018 lalu.
Setelah tiba di lokasi barunya, di Hutan Harapan, 29 Juli lalu, tim dokter menginjeksi antidote. Akan tetapi, bukannya bangun Karina malah rebah ke tanah dan tewas.
Upaya translokasi terhadap Karina merupakan yang kedua kalinya. Upaya pertama berlangsung akhir 2018 lalu, namun tim tak berhasil mendekati Karina.
Menurut Rahmad, Karina sudah 10 tahun lebih hidup sendiri dalam habitatnya. Sewaktu mengetahui kondisi gajah yang hidup terpisah dari kelompok, tim bermaksud mempertemukan Karina dengan kelompok baru di Hutan Harapan.
Direktur Program Frankfurt Zoological Society, Peter Pratje, mengatakan translokasi dibutuhkan untuk membantu gajah itu tidak sendirian. Sebab, gajah merupakan mahluk hidup sosial.
Translokasi juga menjadi jalan keluar mengatasi konflik antara satwa dan manusia. Pihaknya mengetahui keberadan Karina di wilayah Muara Tabir kian terdesak oleh aktivitas masyarakat menggarap lahan. Pemindahan ke habitat baru diharapkan dapat menyelamatkannya dari ancaman terbunuh.
Konflik berkepanjangan
Kebijakan deforestasi telah memicu konflik berkepanjangan antara gajah sumatera dan manusia di ekosistem Bukit Tigapuluh, Jambi. Unit Mitigasi Konflik Gajah FZS memantau 346 konflik gajah dan manusia sepanjang 2018.
Rangkaian kejadian itu mengakibatkan 9.161 tanaman karet dan sawit mati, 2.475 batang tanaman dan pondok rusak, serta kematian seekor gajah.
Koordinator Mitigasi Konflik Gajah FZS, Alber Tetanus menilai eskalasi konflik ini merupakan puncaknya.
Pada 2010, terpantau 96 konflik. Tahun 2011, naik menjadi 130 kasus. Pada 2017, jumlahnya 271 konflik.
Melonjaknya konflik berjalan seiring menyusutnya hutan hujan alam dataran rendah di ekosistem Bukit Tigapuluh. Analisis citra tahun 1985 mendeteksi luas ekosistem itu 651.232 hektar masih bertutupan vegetasi 95 persen.
Namun, tutupan hutan terus menyusut. Pada 2005, tersisa 77 persen, dan tahun 2010 menjadi hanya 49 persen. Dalam ruang hidup yang semakin menyempit itulah dihuni 140-an ekor gajah.