Meningkatnya Status Gunung Tangkuban Parahu di Jawa Barat dari level I (Normal) menjadi level II (Waspada) tidak perlu direspons dengan kepanikan. Namun, masyarakat dan pengunjung wajib mengenali potensi ancaman saat terjadi erupsi.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Meningkatnya status Gunung Tangkuban Parahu di Jawa Barat dari level I (Normal) menjadi level II (Waspada) tidak perlu direspons dengan kepanikan. Namun, masyarakat dan pengunjung wajib mengenali potensi ancaman saat terjadi erupsi.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi telah merekomendasikan untuk tidak beraktivitas dalam radius 1,5 kilometer dari Kawah Ratu yang mengalami erupsi berlanjut sejak Kamis malam hingga Jumat, 1-2 Agustus 2019. Erupsi sebelumnya terjadi pada Jumat (26/7/2019), dengan lontaran abu setinggi 200 meter dari kawah.
Ahli vulkanologi Surono mengatakan, sejak abad ke-19, erupsi Gunung Tangkuban Parahu bertipe freatik. Tipe ini berupa pelepasan gas, uap air, lontaran lumpur, dan abu.
”Jangan panik. Yang perlu dikhawatirkan apabila warga dan pengunjung tidak mengenali ancaman erupsi itu sehingga merespons dengan tidak tepat,” ujarnya di Bandung, Jabar, Sabtu (3/8/2019).
Erupsi freatik berpotensi melontarkan abu dari permukaan kawah. Hal ini sering memicu kepanikan warga dan pengunjung.
Jangan panik. Yang perlu dikhawatirkan apabila warga dan pengunjung tidak mengenali ancaman erupsi itu sehingga merespons dengan tidak tepat.
”Karena tidak paham tipe erupsinya, orang-orang berusaha menyelamatkan diri dengan tidak beraturan. Hal ini dapat menimbulkan korban jiwa, bukan karena letusan gunung, tapi saling tabrak karena panik,” lanjutnya.
Indonesia mempunyai 127 gunung api aktif. Jumlah itu menjadi yang terbanyak dibandingkan dengan negara lain di dunia.
Surono mengatakan, banyak gunung api di Indonesia menawarkan keindahan alam, salah satunya Tangkuban Parahu. Jadi, wajar jika gunung itu dijadikan destinasi wisata.
”Akan tetapi, mitigasi bencana tidak boleh dilupakan. Setidaknya pengunjung mengenali tipe letusannya,” ucapnya.
Surono juga mengingatkan pentingnya koordinasi antara pengelola kawasan wisata dan PVMBG. Salah satunya, dengan memasang tanda-tanda jalur evakuasi.
”Jika status level gunung api dinaikkan, itu bukan untuk menakut-nakuti. Namun, untuk menjaga keselamatan orang di sekitarnya, termasuk wisatawan,” ujar mantan Kepala PVMBG itu.
Hingga Sabtu sore, wisata Kawah Ratu di Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Tangkuban Parahu masih ditutup. Imbasnya, pengunjung mengalihkan tujuannya ke lokasi wisata di sekitarnya, seperti Ciater di Kabupaten Subang dan Lembang di Kabupaten Bandung Barat.
Pengamat gunung api di Pos Pengamatan Gunung Api Tangkuban Parahu, Hendri Deratama, mengatakan masih terjadi tremor dengan amplitudo 50 milimeter. Angka itu menunjukkan getaran yang relatif sama dibandingkan dengan satu hari sebelumnya.
Hendri mengatakan, Sabtu pagi, teramati asap putih setinggi 100 meter dari dasar kawah. Hal itu merupakan dampak erupsi berlanjut sejak Kamis malam.
Sebelumnya, Kepala PVMBG Kasbani mengatakan, belum ada potensi ancaman lebih besar dari aktivitas vulkanik Gunung Tangkuban Parahu. ”Ancaman yang perlu diwaspadai adalah hujan abu dan embusan gas vulkanik di sekitar Kawah Ratu. Disarankan menyiapkan masker, mengantisipasi hujan abu yang terbawa angin,” ujarnya.
Peningkatan aktivitas vulkanik Gunung Tangkuban Parahu terjadi Juli 2019. Erupsi pada Jumat, 26 Juli, merupakan yang pertama sejak erupsi 2013.
Ancaman yang perlu diwaspadai adalah hujan abu dan embusan gas vulkanik di sekitar Kawah Ratu. Disarankan menyiapkan masker, mengantisipasi hujan abu yang terbawa angin.
Kasbani menyebutkan, sejak 1829, Tangkuban Parahu mengalami 13 kali erupsi dengan tipe freatik. Statusnya tidak pernah lebih dari Waspada.
”Kami terus memantau aktivitas vulkanik. Jika terjadi peningkatan atau penurunan, statusnya memungkinkan dievaluasi,” ujarnya.
Secara nasional, 21 gunung api di Indonesia berstatus di atas Normal. Empat gunung berstatus level III (Siaga) dan 17 berstatus Waspada.