Syair zikir beredah pernah diagungkan sebagai mantra jitu penolak bala. Bertahun-tahun, syair magis itu dilupakan. Tenggelam di balik pamor budaya pop. Di pengujung Ramadhan, sekelompok seniman dan pemuda berjuang menghidupkannya lagi.
Setelah beberapa pekan mengumpulkan rebana yang tersisa, para seniman berkumpul di pekarangan rumah Adi Ismanto (39) di Desa Jambi Tulo, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi. Mereka sempatkan mengecek kualitas sejumlah rebana. Meskipun telah berusia empat hingga lima generasi, kualitas rebana masih bagus. Suara yang dihasilkan dari setiap tepukan nyaris tidak berubah.
Menjelang pukul 17.00, 12 seniman itu mengambil posisi bersama rebana masing-masing. Selama 30 menit, mereka membawakan kidung puji-pujian. Syair pun berpadu dengan tepukan rebana dan tabuhan gong. ”Hati ini ikut bahagia membawakan kembali zikir beredah,” ujar Saparudin (79), seniman lokal sekaligus pembuat alat musik tradisional.
Zikir beredah memang sempat meredup. Seiring penetrasi musik modern di era 1990-an, baru belakangan ini masyarakat menyadari bahwa kesenian asli desa itu hampir punah.
Kini hanya tersisa belasan rebana tua warisan generasi terdahulu. Untuk membuat rebana baru tidak mudah, perlu keahlian khusus. Saparudin adalah satu-satunya perajin rebana di desa itu.
Saparudin menceritakan, zikir beredah turun-temurun diwariskan sebagai syair magis bagi masyarakat setempat. Bahkan, kesenian tradisi itu pernah amat populer dan dengan cepat meluas di desa-desa sekitar.
Masyarakat percaya syair-syair yang dinyanyikan dalam zikir beredah mampu mengusir roh-roh jahat. Seluruh kidung dikutip dari sejumlah bagian dalam Al Quran. Masyarakat mengamini syair itu hanya dapat dinyanyikan pada acara khusus, semisal syukuran dan doa menempati rumah baru atau upacara pernikahan.
Salah seorang seniman, Nur Alidin, menceritakan kisah populernya kesenian itu di Jambi Tulo. Saban pekan pasti ada penampilan zikir beredah di rumah warga atau di balai desa.
Saking populernya, Alidin masih ingat, sewaktu dirinya masih kecil, hampir setiap keluarga memiliki rebana. Ia pun kerap diajak sang ayah yang berlatih bersama seniman lain. Dengan kebiasaan itulah lama-kelamaan Alidin mahir memainkan rebana dan menjadi seniman zikir beredah.
”Saya adalah generasi keempat,” katanya. Salah satu rebana yang dimiliki Alidin terbuat dari kayu rengas tua. ”Ini rebana sejak zaman kakek buyut. Masih awet sampai sekarang,” tambahnya.
Transformasi rebana
Seniman lainnya, Jamcik (46), menceritakan kisah rebana yang bertransformasi mengikuti perkembangan zaman. Sekitar 200 tahun silam, pembuatan rebana masih memanfaatkan batok kelapa dan kulit ikan buntal.
”Dahulu batok kelapa masih berdiameter besar, tidak seperti sekarang ukurannya makin kecil,” katanya.
Setelah batok kelapa dibelah dua, bagian tengahnya ditutup dengan kulit ikan buntal. Pinggiran kulit lalu dijahit dengan kulit rotan. Kulit rotan lalu terus dijalin hingga bagian bawah batok sehingga jadi mirip keranjang.
Zaman dulu, ikan buntal berukuran besar mudah didapat di sungai. Hingga kini, ikan buntal masih ada walaupun langka. Ukurannya kecil-kecil. Untuk menyiasati, kulit ikan buntal diganti dengan kulit kambing. Sementara batok kelapa digantikan kulit kayu rengas, kulit pohon kelapa, atau akar pohon enau.
Meskipun alat musik telah bertransformasi, tidaklah mudah mempertahankan seni tradisi itu di masa kini. Ketika pertunjukan musik modern kian populer, zikir beredah perlahan meredup.
Undangan tampil tidak semarak dahulu. Padahal, jika dibandingkan dengan biaya mengundang organ tunggal yang minimal Rp 3 juta per hari, mendatangkan grup seniman zikir beredah lebih terjangkau. Pemilik acara cukup membayar dengan kapur dan sirih.
Baru belakangan saja pengundang acara menyisipkan sejumlah uang ke dalam sirih. Biasanya berisi Rp 500.000 hingga Rp 1 juta, untuk dibagi-bagikan kepada 10 hingga 15 seniman yang tampil.
Bisa jadi, hasil yang terbatas membuat kesenian tersebut kurang diminati generasi muda. Apalagi, undangan tampil mengisi pesta pernikahan atau pindah rumah semakin jarang. ”Pemilik acara biasanya lebih suka mengundang pemusik organ tunggal karena musiknya dianggap lebih variatif,” ujar Samsudin, salah seorang pemimpin kelompok zikir beredah.
Tahun ini, para seniman di Jambi Tulo boleh bernapas lega. Komunitas budaya ini mendapatkan bantuan fasilitas dari pemerintah. Dana sebesar Rp 100 juta itu dimanfaatkan untuk merevitalisasi kesenian-kesenian tradisi yang hampir tenggelam.
”Kami berharap bisa menghidupkan lagi kekuatan seni tradisi yang pernah hidup di desa ini,” kata Edwar Sasmita, Ketua Gerakan Muaro Jambi Bersakat, kelompok pemuda yang menginisiasi pelestarian seni budaya setempat.
Tak hanya zikir beredah, sejumlah kesenian lokal lainnya, seperti gambangan dan komedi tradisi indra bangsawan, juga turut dibangkitkan kembali. Menjadi tantangan bagi para pemuda dan seniman membawa kesenian tradisi dapat bertranformasi, tetapi tetap sarat makna.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.