Membawa Jaran Kepang ke Mancanegara
Meneruskan usaha kerajinan jaran kepang yang dirintis kakeknya pada 1931, Supriwanto (33) tak sekadar ikut mekanisme pemasaran konvensional. Dia tidak menunggu permintaan, tetapi intens memasarkan produknya lebih luas, terutama melalui media sosial.
Berkat keuletannya, banyak ”kuda” pun ”terbang” memenuhi permintaan pelanggan di penjuru Nusantara serta ke sejumlah negara, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura.
Jaran kepang merupakan tiruan kuda yang dipakai oleh penari jaran kepang di sejumlah daerah yang dikenal dengan tari kuda lumping, atau jathilan. Tiruan kuda ini dibuat dari anyaman bambu.
Dulu, semasa kakek dan ayahnya menjalankan usaha, jaran kepang dibuat hanya untuk memenuhi permintaan grup-grup tari. Namun, kini, dia memenuhi beragam permintaan, seperti untuk suvenir, hiasan dinding, atau kuda kecil bagi anak-anak untuk latihan tari.
Dengan jaringan makin luas, Supriwanto bersama istri dan tiga karyawannya kini memproduksi lebih dari 100 jaran kepang per bulan. Jaran atau kuda dibuatnya dengan ukuran panjang 1,3 meter dan tinggi sekitar 90 sentimeter. Sesekali, dia membuat ukuran panjang 50 cm dan tinggi 40 cm.
Jaran kepang produksi Supriwanto dijual dengan kisaran harga Rp 250.000 hingga Rp 1 juta per unit. Variasinya terdapat pada warna-warni cat minyak dan bahan yang digunakan sebagai rambut. Pilihan bahan rambutnya antara lain rambut kuda asli atau ekor sapi. Dari usaha itu, dia mampu meraup omzet Rp 4 juta per minggu atau sekitar Rp 12 juta per bulan.
Mulai produksi
Terlahir sebagai keturunan penari dan perajin jaran kepang, sedari kecil Supriwanto terbiasa melihat proses produksi jaran kepang. Dia pun terlatih mulai dari memilih bambu, dan saat berada di kelas III sekolah dasar dia mulai mahir menganyam bambu dan membuat jaran kepang. Dia pun kerap dilibatkan dalam proses produksi.
Tahun 2005, saat menginjak kelas II sekolah menengah atas, ayah Supriwanto meninggal. Ketika itu, dia merasa tidak memiliki pilihan kecuali bekerja. Bersama ibu dan adiknya, dia melanjutkan usaha tersebut.
Tahun 2010, Supriwanto menikah. Meninggalkan rumah dan usaha keluarga di Kecamatan Jumo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, dia pun pindah rumah dan memutuskan memulai usaha kerajinan jaran kepang secara mandiri di kampung halaman istrinya di Desa Dlimoyo, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung.
Dia memulai usaha dengan meminjam modal Rp 200.000 dari ibunya. ”Dengan berbekal uang itu, saya membeli bahan baku dan memproduksi 20 jaran kepang berukuran kecil,” ujarnya.
Aktivitas produksi mulai dari memilih bambu, membeli, menganyam bambu, mewarnai, dan membentuk jaran kepang dilakukan berdua bersama istri. Di awal usaha, sebanyak 20 jaran kepang kecil tersebut hanya dijualnya kepada sejumlah pedagang pengecer di pasar, yang semula adalah pelanggan ayahnya.
Seiring waktu, dia terus mengembangkan usaha dan meningkatkan produksi. Jika sebelumnya hanya mendistribusikan barang kepada pengecer, pada 2014 dia mulai memasarkannya ke sejumlah distributor di Kabupaten Temanggung serta sejumlah kota, seperti Kabupaten Batang, Magelang, dan Wonosobo. Angka produksi yang semula 20 unit per minggu, dia genjot menjadi 40 unit per minggu.
Upaya mengantar, mengirimkan barang hanya dilakukannya dengan menggunakan sepeda motor. Saat itu, dia mengalami pahit getir berdagang. Suatu ketika, saat akan mengantarkan 50 jaran kepang ke Weleri, dia mengalami kecelakaan dan mengakibatkan 20 jarang kepang yang dia bawa jatuh dan rusak.
Setelah itu, dia tetap melanjutkan perjalanan dengan tujuan untuk menjual 30 jaran kepang yang tersisa. Namun, sampai di pasar tujuan, harapan itu pupus karena semua kios telah tutup. Supriwanto pulang dengan tangan hampa.
Kejadian buruk itu dialaminya berulang kali. Namun, Supriwanto tidak jera, dan tetap menjalankan usaha kerajinan jaran kepang.
Utang
Tahun 2016, untuk pengembangan usaha, dia meminjam modal Rp 4 juta dari bank. Dengan bekal itu, dia meningkatkan produksi dan menitipkan produknya ke sejumlah pedagang. Namun, upaya itu gagal. ”Uang saya justru tak kembali karena banyak pedagang yang saya titipi barang menghilang dan banyak yang enggan membayar,” ujarnya.
Kondisi itu pada akhirnya membuat dia berutang lebih banyak lagi, gali lubang tutup lubang. Semua cara dilakukannya agar aktivitas produksi tetap berjalan.
Supriwanto pun berupaya mengembangkan usaha dengan membuat ragam barang lainnya, yaitu mobil-mobilan berbahan kayu. Untuk memproduksi mainan ini, dia mempekerjakan dua tenaga kerja yang dibayarnya dengan sistem borongan. Namun, usaha ini pun gagal karena dua karyawannya sering tidak mampu memenuhi pesanan sesuai tenggat yang ditetapkan oleh pelanggan sehingga Supriwanto justru sering mendapatkan ”denda”.
Nominal uang pembelian yang diterima seringkali dipotong oleh pedagang grosir pelanggannya sebagai bentuk sanksi karena keterlambatan produksi barang. ”Alih-alih mendapatkan keuntungan, usaha membuat mobil-mobilan kayu ini justru membuat saya merugi,” ujarnya.
Media sosial
Di tengah keputusasaan untuk menentukan strategi pengembangan usaha, Supriwanto akhirnya menempuh upaya promosi melalui media sosial, menggunakan akun pribadinya di Facebook.
Tak disangka, upaya ini justru membuahkan hasil. Berselang sekitar sebulan setelah mengunggah foto-foto produknya, dia pun mendapatkan pesanan 39 jaran kepang berukuran besar.
Permintaan pun terus berlanjut tanpa henti dari sejumlah daerah di Nusantara dan mancanegara. Karena ramainya pemesanan, selama setahun terakhir ini pun dia memutuskan berhenti untuk berpromosi melalui media sosial.
”Kalau promosi terus menerus, saya justru khawatir nantinya tidak bisa memenuhi permintaan,” ujarnya.
Seiring dengan meningkatnya permintaan, mulai 2017, dia pun mulai merekrut tiga tenaga kerja untuk membantunya memenuhi pesanan. Pesanan pun terus berdatangan, dan sebagian di antaranya datang dari pelanggan yang kembali mengulangi permintaan hingga dua atau tiga kali. Para pelanggan itu pun kemudian juga membantu mempromosikan secara gethok tular (dari mulut ke mulut).
Selain karena mendapatkan pesan dari ayahnya untuk terus melanjutkan usaha, Supriwanto mengatakan, keteguhan dirinya untuk terus menjalankan usaha itu juga dilatarbelakangi keinginannya agar kesenian jaran kepang terus lestari, dan terus dipentaskan di sejumlah tempat.
Baca juga: ”Eggroll” Sayur Sekoci Penyelamat