JAKARTA, KOMPAS - Pedoman Penguatan Pendidikan Karakter sejauh ini dipantau berlangsung cukup menggembirakan, meski masih ada beberapa aspek yang patut dibenahi di sekolah-sekolah tertentu. Kelenturan PPK bisa disadur sesuai dengan adat istiadat lokal, selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai utama, yang memunculkan berbagai gerakan pembinaan karakter di sekolah.
Mantan Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Pembangunan Karakter Arie Budhiman, menyampaikan hal ini di Jakarta, Jumat (2/8/2019). "Secara umum perkembangannya menggembirakan karena mengajak sekolah untuk melihat kearifan lokal masing-masing. Artinya, dalam penerapan PPK sekolah harus peka dengan keadaan siswa dan masyarakat sekitar," tuturnya.
Arie yang resmi pensiun dari jabatannya per 1 Agustus 2019 ini mengatakan, ketika PPK diluncurkan pada tahun 2016, ada 540 sekolah yang menjadi pilot. Sekarang sekolah yang menerapkannya ada 188.000 atau 86 persen dari jumlah sekolah se-Indonesia.
Nilai-nilai PPK meliputi religiusitas, integritas, nasionalis, mandiri, dan gotong royong. Sekolah umumnya menekankan kepada pemelajaran antikorupsi, kebangsaan, dan toleransi. Beberapa daerah menyadurnya dengan menggabungkan falsafah lokal agar mudah diterapkan siswa, misalnya praktik Bandung Masagi dan Jabar Masagi di Jawa Barat, pela-gandong di Maluku, dan begibong di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Meski demikian, Arie tidak menafikan ada kasus sekolah-sekolah yang terlalu menekankan kepada praktik ritual ibadah sebagai tafsir dari nilai religius. Padahal, maksudnya adalah siswa memiliki spiritualitas yang menjadikan mereka cinta damai dan peduli terhadap sesama maupun lingkungannya tanpa memandang latar belakang.
"Di sini peran masyarakat penting untuk memantau serta melaporkan kepada dinas pendidikan dan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan setempat apabila ada sekolah yang bermaksud menerapkan PPK tetapi caranya tidak sesuai dengan lima nilai utama yang berujung kepada diskriminasi," ujarnya.
Berkesadaran
Salah satu sekolah yang menerapkan pendidikan karakter di semua lininya adalah Sekolah Global Sevilla di Jakarta. Sekolah swasta ini menggunakan kurikulum internasional Cambridge, namun siswa yang berasal dari Indonesia dan negara-negara lain tetap wajib belajar Bahasa Indonesia dan Pendidikan Kewarganegaraan, mulai dari tingkat SD hingga SMA.
Dari sisi pembangunan watak, pengawas sekolah Global Sevilla Michael Thia mengembangkan konsep berkesadaran, di dalamnya mengandung prinsip welas asih, derma, dan pengendalian diri. Praktisnya, pikiran dan jiwa siswa serta semua staf dan guru, harus berada di tempat yang sama. Jangan sampai siswa secara fisik berada di kelas, tetapi pikirannya melayang-layang sehingga tidak bisa fokus. Terlebih, mereka merupakan siswa-siswa urban yang hidup di lingkungan serba cepat dan sesak.
Penerapannya adalah pembiasaan untuk melakukan penyegaran atau bisa juga mengheningkan cipta setiap berganti jam pelajaran. Tujuannya agar siswa dan guru sama-sama bisa menenangkan diri dan mengatasi stres agar bisa melanjutkan kegiatan dengan sikap positif.
Ketika makan misalnya, selama 10 menit pertama siswa diminta tidak bercakap-cakap agar mereka bisa fokus dan menikmati makan. Melalui kebiasaan ini siswa belajar menyadari proses pembuatan makanan panjang karena melibatkan banyak orang. Meskipun makanan itu mereka beli, ada kesadaran untuk tidak semena-mena kepada milik pribadi. "Minimal sekarang saya mengambil porsi secukupnya agar tidak mubazir," kata Bassilio Otto Samuel (15), siswa kelas XI.
Wali kelas I Dwi Andriani mengutarakan, pengajaran berkesadaran untuk anak-anak SD beragam. Tergantung dengan suasana hati siswa di kelas. Misalnya, ketika mereka energinya sedang tinggi, guru mengajak mereka berkumpul dan bersila di lantai sambil belajar mengatur napas. Setelah itu dilanjutkan dengan permainan yang melatih konsentrasi seperti memindahkan bola pingpong dengan menggunakan sendok dari satu siswa ke yang lain.
"Kalau siswa sedang lesu dilakukan penyegaran seperti menari dan menyanyi. Setelah itu baru masuk ke proses penyadaran. Dalam hal ini guru juga harus sabar, jangan memarahi siswa kalau tidak fokus, tapi diajak agar tenang, menarik napas, dan bermain," tuturnya.