WASHINGTON, JUMAT Pasar saham global anjlok pada perdagangan Jumat (2/8/2019) setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengejutkan investor dengan rencana penerapan tarif impor atas barang-barang asal China. Perang dagang dipastikan berlanjut setelah Beijing menyatakan diri akan membalas langkah Washington. Situasi itu berpotensi menimbulkan—kemungkinan—semakin terganggunya rantai pasokan global hingga terjadinya resesi.
Pengumuman Trump pada Kamis bahwa Washington akan mengenakan tarif 10 persen atas produk impor asal China senilai 300 miliar dollar AS China telah memicu aksi jual saham di Wall Street yang merambat hingga Asia dan Eropa. Indeks saham Hang Seng di Hong Kong dan Indeks Nikkei 225 ditutup turun lebih dari 2 persen, seiring dengan penurunan yang terjadi pada Indeks Shanghai Composite yang melemah 1,41 persen.
Bursa saham Wall Street, semalam, juga dibuka turun, seiring dengan anjloknya bursa-bursa saham di wilayah Eropa. Indeks saham di Inggris, Jerman, dan Perancis juga melemah hingga di atas 2 persen. Hingga akhir perdagangan Kamis, modal yang keluar dari lantai bursa saham secara global telah menembus 1 triliun dollar AS. Selain kekacauan perang dagang, investor dan pelaku pasar global merespons harapan yang tidak terpenuhi terkait kebijakan bank sentral AS, The Federal Reserve, dan kemungkinan Brexit tanpa kesepakatan, serta kekhawatiran atas kesehatan korporasi secara global.
”Pasar tampak sangat, sangat gugup,” kata Stephane Barbier de la Serre, analis ekonomi makro pada Makor Capital Markets yang berbasis di Geneva. Menurut dia, langkah Trump itu dapat meningkatkan tekanan pada The Fed untuk menurunkan suku bunga lanjutan.
”Trump tidak mendapatkan pemotongan suku bunga yang dia inginkan, jadi dia akan memaksa (The Fed) untuk melakukan itu. Itu menakutkan. Dan, apa yang akan dilakukan China? Apa yang akan dilakukan The Fed? Ini sebuah pembajakan kebijakan moneter.”
Tarif baru 10 persen oleh Washington itu akan mulai berlaku 1 September dan otomatis memengaruhi barang dan jasa dari China yang belum pernah dikenai tarif sebesar 25 persen. Dengan pengumuman Trump itu, berarti hampir semua 660 miliar dollar AS dalam perdagangan barang secara tahunan di antara dua negara dan perekonomian terbesar di dunia itu akan saling dikenai tarif.
Ketakutan yang menghantui para pelaku ekonomi global saat ini adalah seberapa besar perang perdagangan Trump dengan China akan terjadi selanjutnya. Tarif baru akan lebih langsung memengaruhi barang-barang konsumen. Rantai pasokan global pun semakin terdampak secara negatif.
Jika tarif dinaikkan hingga 25 persen dan kondisi berlanjut hingga empat-enam bulan mendatang, tim ekonom Morgan Stanley memproyeksikan terjadinya resesi dalam kurun waktu sembilan bulan setelahnya. Resesi adalah kondisi ketika produk domestik bruto menurun atau saat pertumbuhan ekonomi riil negatif selama dua triwulan atau lebih dalam satu tahun.
Ekspor AS turun
Data terbaru yang dirilis Jumat menunjukkan bahwa ekspor AS melemah secara keseluruhan pada Juni di tengah pelambatan ekonomi global. Data itu tersaji di tengah momen gencatan senjata perang dagang antara AS dan China, yang kemudian justru dipastikan berlanjut lewat Trump sendiri.
Defisit perdagangan yang harus ditanggung AS juga tetap terjadi pada Juni. Hal itu akibat penurunan impor yang terjadi di AS seiring melorotnya permintaan asing atas barang dan jasa asal AS. Penurunan ekspor dan gambaran perdagangan yang memburuk bagi AS itu tiba justru ketika Trump meningkatkan rencana tarif yang semakin agresif terhadap Beijing.
Beijing telah bertekad untuk membalas langkah Washington itu. Para ekonom pun memproyeksikan perang dagang yang makin intensif tersebut akan memperkuat laju tekanan bagi pertumbuhan ekonomi global dan perdagangan internasional.
Analis PT Capital Asset Management, Desmon Silitonga, di Jakarta, menyatakan, turunnya Fed Rate menunjukkan pelambatan pertumbuhan ekonomi AS sebuah keniscayaan. Hal itu diproyeksikan berdampak terhadap ekonomi China yang terpukul akibat tarif dan pelemahan dollar AS sekaligus. Namun, Beijing tidak akan diam. ”Salah satu yang akan dilakukan Beijing adalah melemahkan yuan sebagai kompensasi kenaikan tarif,” ujarnya.
Pada saat yuan melemah, umumnya rupiah ikut melemah. Itu tak terlepas dari posisi China sebagai mitra dagang terbesar Indonesia. Merujuk data Bloomberg, kemarin, rupiah turun 0,49 persen ke Rp 14.185 per dollar AS. Yuan juga turun 0,58 persen ke 6,94 per dollar AS. (AP/AFP/REUTERS/BEN)