Sinyal Alam Jakarta Telah Berbunyi
Daya dukung lingkungan di Jakarta terus berkurang karena tekanan populasi manusia. Selama ini kemampuan lingkungan Jakarta untuk menopang kehidupan makhluk hidup terbantu oleh teknologi. Meski demikian, warga Jakarta harus bijak mengelola daya dukung alam karena sinyal kerusakan telah berbunyi.
Gambaran mengenai penurunan daya dukung lingkungan Jakarta dalam jangka panjang sudah terlihat dari munculnya berbagai persoalan lingkungan seperti banjir, penurunan muka tanah/air tanah, pencemaran air, dan pencemaran udara.
Sebenarnya persoalan lingkungan di Jakarta sudah dimulai saat kongsi dagang asal Belanda, VOC, di Batavia pada abad ke-16 memotong-motong Sungai Ciliwung menjadi kanal untuk transportasi dan pertahanan kota dari musuh. Pusat kota Batavia di kota lama (dekat Museum Fatahillah sekarang) juga sering dilanda banjir dan menjadi kotor akibat aktivitas perdagangan serta pelabuhan.
Kota lama tersebut menjadi tak layak huni karena air sungai dan kanal kian tercemar serta berbau busuk. Penyakit tifus dan disentri pun merebak. VOC akhirnya memindahkan pusat pemerintahan dan permukiman dari Batavia (kawasan kota lama) ke Weltevreden (sekarang kawasan Lapangan Banteng).
Meski pusat kota sudah pindah ke wilayah selatan, banjir ternyata masih terjadi. Bentang alam Jakarta yang sebagian lebih rendah dari permukaan laut—diperparah dengan berkurangnya lahan hijau sebagai kawasan konservasi—membuat air sulit mengalir lancar ke laut di utara Jakarta. Wilayah selatan Batavia (kawasan Bogor-Cianjur) juga telah diubah oleh Belanda menjadi perkebunan untuk menunjang produksi komoditas perdagangan.
Kisah di atas menggambarkan bahwa Jakarta sudah menanggung tekanan berat dari aktivitas manusia sejak berabad-abad lalu. Padahal, daya dukung kota Batavia saat itu masih jauh lebih baik daripada sekarang. Jika demikian, bagaimana menyiasati keterbatasan tanah Batavia (Jakarta) supaya kota itu tetap layak dihuni?
Alih fungsi lahan
Perubahan fungsi lahan hijau menjadi lahan terbangun masif terjadi di Jakarta seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Keterbatasan lahan Jakarta membuat pembangunan cenderung memanfaatkan lahan-lahan alami yang memiliki fungsi ekologis kota.
Pada tahun 1950, lahan Jakarta untuk permukiman sekitar 7.611 hektar atau 11,5 persen dari wilayah Jakarta. Hampir 60 tahun kemudian, lahan permukiman meningkat hampir 8 kali lipat hingga 57.063 hektar (86 persen). Sekarang, bisa jadi luas lahan permukiman telah menjadi 60.000 hektar lebih.
Sebaliknya, lahan non-urban (nonterbangun) seperti areal pertanian dan ruang terbuka hijau menurun drastis. Pada 1950, luas lahan non-urban masih 53.796 hektar, sementara pada 2008 luas itu berkurang hingga tersisa 4.934 hektar. Kondisi saat ini tentu jauh berkurang di tengah masifnya pembangunan Jakarta.
Perubahan luasan lahan terbangun dan nonterbangun tersebut menggambarkan kondisi lingkungan alam yang kian terbatas. Luasan lahan hijau yang makin berkurang menurunkan kemampuan alam memenuhi kebutuhan udara bersih bagi penduduk kota, mengurangi penyerapan air hujan, serta meningkatkan risiko banjir. Penurunan daya dukung ini merupakan rangkaian sebab akibat yang akan terus terjadi jika tak ada penambahan lahan hijau.
Penelitian bertajuk ”Evaluasi Kondisi Daya Dukung Lingkungan Hidup Kota Jakarta (Wibowo, 2003)” menyebutkan, pada 1940-2008 terjadi perubahan proporsi penggunaan tanah terbangun dan nonterbangun. Persentase air hujan yang tidak terserap tanah (air larian) pada tahun 1940 adalah 22 persen dari volume hujan setahun. Tahun 2003, persentase air larian naik menjadi 60,38 persen.
Peningkatan air larian ke sungai—ditambah dengan curah hujan yang tinggi dan kondisi sungai yang kian menyempit—membuat banjir di Jakarta makin meluas dan lama. Sebagai contoh banjir tahun 2002, yang diawali dengan hujan besar pada 14-15 Januari. Genangan air terjadi lima hari terus-menerus dengan luas genangan mencapai 16.778 hektar (25 persen wilayah Jakarta). Adapun genangan banjir tahun 2007 lebih luas hingga hampir 70 persen wilayah Jakarta.
Setelah banjir besar tahun 2007, pemerintah memilih normalisasi sungai sebagai salah satu upaya penanganan. Normalisasi diawali dengan pengerukan sungai di era Gubernur Fauzi Bowo dan dilanjutkan oleh penggantinya, diikuti dengan pemindahan penduduk yang bermukim di bantaran sungai ke rusunawa.
Pencemaran udara
Penurunan luasan hijau kota juga berdampak pada peningkatan suhu udara. Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta (2000) menyebutkan, luasan bangunan berdinding kaca mencapai 4.061 hektar atau 6,25 persen dari luas daratan Jakarta. Hal ini menyebabkan peningkatan suhu rata-rata dari 28,0 derajat celsius menjadi 29,10 derajat celsius.
Penelitian lain yang dilakukan Wibowo (2003) menunjukkan hasil lebih ekstrem. Perubahan proporsi penggunaan lahan pada tahun 1940-2003 menyebabkan suhu meningkat dari 26,48 derajat celsius menjadi 31,40 derajat celsius.
Peningkatan suhu menyebabkan udara terasa panas, lembab, dan tak nyaman. Jika di beberapa titik tersedia ruang terbuka hijau seperti taman atau jalur hijau yang memadai, hal itu akan meneduhkan dan menciptakan iklim mikro yang baik.
Bagaimana dengan pencemaran udara yang cukup tinggi beberapa hari terakhir pada 2019? Data Air Visual pada 1 Agustus 2019 pukul 12.00 mencatat Indeks Kualitas Udara (AQI) Jakarta mencapai 161 dan masuk dalam status ”tidak sehat”. Angka indeks tersebut memosisikan Jakarta di peringkat pertama tingkat polusi udara dunia meski peringkat ini dinamis setiap hari.
Seandainya fungsi ruang terbuka hijau telah mencapai 30 persen wilayah kota, hal itu bisa berfungsi sebagai salah satu pengendali pencemaran udara. Kawasan ruang terbuka hijau akan mengendalikan bahan pencemar (polutan) sehingga tingkat pencemaran dapat ditekan dan konsentrasi karbon dioksida berkurang.
Pencemaran air
Warga Jakarta juga harus menghadapi kualitas air perpipaan dan air tanah yang buruk. Dari penelitian yang dilakukan Dinas Lingkungan Hidup Jakarta pada 2018, ditemukan konsentrasi coli tinja atau Escherichia coli (E coli) yang tinggi di Kali Malang (Kompas, 4/2/2019). Artinya, Kali Malang, salah satu sumber air baku perusahaan air minum, telah tercemar.
Sebelum disalurkan ke masyarakat, air yang terindikasi tercemar itu diolah oleh PT Aetra dan PT Palyja melalui IPA Buaran I & II, Pulo Gadung, Pejompongan I & II, serta Cilandak Mini. Produksi air yang terindikasi tercemar menjadi lebih mahal dan waktu prosesnya lebih lama. Selanjutnya, hal itu berdampak pada aksesibilitas masyarakat mendapatkan air bersih.
Dari pengamatan Badan Konservasi Air Tanah terhadap 143 lokasi di Jakarta tahun 2017, sebanyak 97 sumber air tanah dari sumur dangkal (akuifer tidak tertekan) atau 67 persen terindikasi tak memenuhi persyaratan. Hanya 46 sumber atau 33 persen terindikasi memenuhi syarat (Kompas, 24/11/2018).
Solusi cepat yang bisa dilakukan untuk mengatasi pencemaran air adalah menegakkan aturan agar masyarakat tak sembarangan membuang sampah dan limbah ke sungai. Warga juga harus dilarang mandi, mencuci, dan buang air di sepanjang Kali Malang.
Selain itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan membangun instalasi pengolahan air limbah (IPAL) komunal di 13 sungai dan kawasan padat. Pada 2019 menurut rencana akan ada 10 lokasi pembangunan IPAL komunal di sepanjang Kali Sentiong (Kecamatan Kemayoran dan Tanjung Priok).
Sinyal alam Jakarta telah berbunyi. Banjir masih mungkin terjadi, kadar polutan udara makin tinggi, diikuti dengan peningkatan suhu udara. Teknologi modern tak akan selamanya bisa mencegah penurunan daya dukung lingkungan. Diperlukan partisipasi masyarakat Jakarta demi perbaikan daya dukung tanah, air, dan udara di ibu kota ini. (LITBANG KOMPAS)