Apresiasi Karya Ragam Profesi
Karya-karya yang dipamerkan di Artjog MMXIX, Yogyakarta, mengarahkan pengunjungnya menuju perspektif berbeda. Beragam profesi selain seniman memajang karyanya untuk memperkaya khazanah publik. Karya-karya mereka melampaui rupa estetisnya dan mendobrak benak dengan makna-makna mendalam.
Dicky Maryoga (42) berswafoto dengan latar belakang ”Bubu Waktu” karya Sunaryo. Terowongan bambu dengan panjang sekitar 30 meter itu memang sangat eksotis. ”Keren. Pasang ah di Instagram,” ujar warga Bandung, Jawa Barat, itu dengan wajah puas, Jumat (26/7/2019).
Selain ”Bubu Waktu”, Dicky juga berfoto di depan ”19101 (self-recover)” karya Yusra Martunus. Ia menyambut gembira penyelenggaraan Artjog yang semakin baik. ”Artjog itu sudah kayak pesta perayaan. Enggak hanya untuk pelaku, tetapi juga pencinta seni,” ujarnya.
Dicky terkejut saat memasuki ruang besar yang memamerkan karya berjudul ”Mendekolonisasi”. Ia baru tahu bahwa pembuat karya itu, Mary Maggic, adalah peneliti. ”Karya Mary ternyata dibuat dari limbah. Sekilas karya yang dipamerkan seperti buatan seniman,” katanya.
Seperti Dicky, sebagian pengunjung bersenda gurau tetapi banyak juga mengamati dengan serius karya-karya di Artjog yang berlangsung pada 25 Juli-25 Agustus 2019. Dicky hanya salah satu dari ribuan pengunjung yang tak menyangka bahwa Artjog diwarnai karya-karya partisipan dengan latar belakang nonseni murni.
”Mendekolonisasi”, misalnya, mampu menimbulkan imaji menjijikkan. Karya itu tidak hanya berhasil secara visual, tetapi juga menyentuh sensasi penciuman. Masuk ke dalam ruang pamer, pengunjung akan disuguhi pemandangan sampah lengkap dengan aromanya yang busuk.
”Mendekolonisasi” menggambarkan aliran Kali Code di Yogyakarta yang tercemar sampah. Bau menyengat berasal dari sejenis fungi dengan pewarna sintetis dan jeli. Di dinding kiri dan kanan terhampar aneka sampah yang tertempel pada lateks dengan luas sekitar 5 meter persegi.
Kantong plastik, kemasan detergen, dan bungkus kudapan yang ditemukan Mary di Kali Code turut ia jadikan karyanya dengan judul ”Porositas Radikal”. Mary mengolah hasil penelitian mengenai Kali Code pada tahun 2012 menjadi karyanya. Ia menyajikan gugatannya soal lingkungan, kali ini dengan dimensi artistik.
Sementara, Patrick Gunawan Hartono dengan latar belakang pendidikan musik mempersembahkan Trapped, permainan audiovisual. Berbeda dengan kebanyakan permainan komputer, ia menggunakan teknologi sonic pathfinder untuk melatih penggunanya mengandalkan pendengarannya.
Pemain Trapped melakukan navigasi dengan komputerisasi. Mereka menghadapi musuh yang harus dimusnahkan dengan mendeteksi arah suaranya. Permainan itu menjadi representasi hasil penelitian mengenai obyek sonik yang diharapkan memberikan sumbangan untuk pengetahuan musik interaktif.
Beda lagi dengan Piramida Gerilya yang melibatkan enam individu beragam profesi. Singgih S Kartono, misalnya, adalah pegiat gerakan kreatif berbasis potensi lokal. Sementara Sindhu Prasastyo adalah perajin yang memanfaatkan limbah ban untuk diolah menjadi produk berjenama Sapu Upcycle.
”Awalnya, saya diminta berkolaborasi dengan Singgih yang juga desainer produk,” ujar Santi Ariestyowanti yang ikut membuat Piramida Gerilya. Santi bersama rekan-rekannya lalu mengolah barang bekas. Di Artjog, mereka membuat warung sebagai wadah berinteraksi yang guyub.
Tak hanya pegiat seni murni, karya-karya yang diperagakan di Artjog MMXIX juga dibuat periset pangan, ilmuwan flora, dan saintis. ”Para perancang produk, grafis, dan busana turut memeriahkan Artjog tahun ini,” ujar kurator Artjog MMXIX, Agung Hujatnika.
Salah satu peserta Artjog menampilkan karya ”Stealing The Trapeze”, yaitu Charles Lim. Ia melakukan banyak riset tentang laut. ”Lim itu atlet layar yang mengamati kebudayaan maritim lokal, terutama di Riau. Dulu, masyarakat Riau sudah punya teknologi maritim canggih,” ujarnya.
Teknologi yang digunakan sejak abad ke-19 itu mirip trapeze, semacam pengendali layar. Karya Lim di Artjog berupa layar yang menayangkan video mengenai perahu yang menggunakan trapeze. Potongan- potongan koran yang memuat trapeze dipasang di dinding.
Sementara, ”Daun Khatulistiwa” karya Teguh Ostenrik menunjukkan korelasi serupa. ”Daun Khatulistiwa” ditempatkan dalam kubah. Di dalamnya terpasang ornamen- ornamen daun yang transparan. Layar besar membentang yang menayangkan film tentang kehidupan koral.
Pesan sangat gamblang disampaikan dengan suara anak kecil: jika laut hancur, maka binasa pula manusia. Seni Teguh tidak klise dengan memprioritaskan manfaat. Setelah Artjog selesai, ia berencana menempatkan karyanya di lepas pantai Jikomalamo, Maluku Utara, untuk koral tumbuh. Sebelumnya, delapan karya Teguh sudah diceburkan di berbagai laut dengan tujuan yang sama.
Pameran dengan apresiasi karya-karya dari berbagai profesi selain pelaku seniman murni kini menjadi tren. Dalam Artjog, kecenderungan itu turut ditampilkan. ”Karena tema Artjog tahun ini ’Common Space’ atau ruang bersama memang sangat relevan,” ujar Agung.
Artjog menjadi magnet tak hanya masyarakat Yogyakarta, tetapi juga kota lain, bahkan pengunjung mancanegara. Jumlah pengunjung Artjog 2018 sekitar 46.000 orang. ”Tahun ini, kami menargetkan minimal 50.000 pengunjung,” ujar Direktur Artjog Heri Pemad.
Di loket, antrean pembeli tiket dengan harga Rp 50.000 per lembar terlihat mengular. Pelataran Jogja National Museum riuh dengan mobil yang hilir mudik. Artjog yang diselenggarakan sejak tahun 2008 itu menjadi barometer festival seni kontemporer nasional. Walakin, Pemad mengutarakan kegundahannya menggelar Artjog.
”Biaya Artjog MMXIX hampir Rp 13 miliar. Pemasukan dari tiket paling hanya menutupi 20 persen dari biaya itu,” ujarnya. Kontribusi kerja sama dengan sponsor pun belum mencapai 20 persen dari pengeluaran. Sebagian sponsor tak memberikan uang.
”Ada hotel menyediakan kamar. Kafe ngasih makanan. Kalau masih kurang bagaimana? Enggak tahu. Ya, saya gambling (untung-untungan),” ujarnya. Beberapa karya seni yang terjual mungkin bisa memberikan sedikit penghasilan. Namun, karya-karya yang dipamerkan tak lazim dipajang di rumah, galeri, atau museum.
Kolektor karya seni dan pemilik Museum OHD, Oei Hong Djien, berpendapat, karya yang dipamerkan di Artjog termasuk monumental. ”Banyak instalasi yang membutuhkan ruang besar. Itu susah dikoleksi, kecuali rumah kolektornya sangat besar,” ujarnya.
Maka, prioritas Artjog bukan lagi nilai karya seni. Fungsi karya-karya itu lebih besar untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pelestarian lingkungan, pemecahan masalah sosial, dan keluhuran budaya. Adapun karya yang dipajang di rumah bisa dilihat di galeri-galeri.
”Saling berbagi fungsi. Karena itu, saya salut dengan Artjog yang konsisten diadakan setiap tahun,” ujarnya.