Kalau aku sedang terbang, aku suka membiarkan pikiranku di awang- awang, tak jelas ke mana arahnya. Itu kiranya yang terjadi beberapa hari lalu ketika aku bersama istri tengah terbang 10.000 meter di atas Irak Utara/Suriah Timur.
Dalam pesawat, semua ”nyaman dan damai”, aku perhatikan. Aku juga perhatikan bahwa beberapa penumpang berjenggot dan bergamis cukup khas untuk menunjukkan simpati politik tertentu. Ada juga cewek bercelana pendek cukup khas pula untuk menunjukkan simpati politik—dan nonpolitik—yang berbeda.
Namun, mereka sama-sama penumpang. Sama-sama duduk diam. Dan semuanya jelas: tujuan finalnya satu: Jakarta; kapten pilotnya satu; sabuk pengaman dipakai semua orang pada waktu yang sama, dan peraturan rada sekuler: kalau getaran pesawat terasa terlalu keras hingga orang mulai takut, disediakan doa beberapa agama di kantong depan kursi dalam beberapa bahasa. Penumpang juga tetap bisa bersembahyang, secara batin dan fisik, di kursi masing-masing.
Pokoknya pesawat yang tengah terbang ini adalah mikrokosmos sosio-politik yang ideal. Penumpang beraneka ragam, peraturan ketat. Setengah sekuler, setengah Pancasilais. Pendeknya universalis. Aku tidak bercanda, lho!
Apabila orang-orang bisa berdampingan secara damai di sebuah pesawat nun jauh di atas Suriah dan Irak itu, lain halnya 10.000 meter lebih ke bawah, ”di lantai”, di kawasan kota-kota Mosul, Fallujah, dan Ramada, yang sinar lampu malamnya terlihat berkedip-kedip dari atas, dari jendela pesawat....
Itu konon Taman Firdaus zaman baheula, daerah juga di mana Abraham telah berhadapan dengan pilihan dramatis: diminta mengurbankan anaknya sendiri. Tetapi, apakah memang firdaus?
Daerah Mesopotamia itu adalah daerah perang favorit para pemangsa manusia: Nabukodonosor, sang penakluk Jerusalem (abad ke-6 sebelum Masehi), Hulagu dan para mongol-nya pada waktu pembantaian semua penduduk Baghdad (1258); serta tiga sekawan Saddam Hussein, George W Bush dan Abu Bakar al-Baghdadi
pada zaman kita ini. Hebat kontinuitas historisnya, kan?
”Seolah-olah daerah itu terkutuk,” pikirku! Mendingan melihatnya dari atas, dari dalam pesawat, seperti aku ini, menuju Jakarta yang konon kembali damai seusai rusuh beberapa waktu lalu.
Terbang di atas negeri firdausi itu, aku betul-betul terusik, betul-betul di awang- awang, terbagi antara gambaran pembantaian ala Hulagu, yang mengiris-iris kulit korbannya; pembantaian ala George W Bush, yang membakar korbannya dari pesawat hingga tak berbekas apa pun darinya; dan pembantaian ala Abu Bakar al-Baghdadi, yang pembunuhan sadisnya selalu disertai dalih suci pembenarannya. Waduh.
Namun, justru itu! Justru ketika pikiranku terbawa oleh bermacam-macam gambaran imajiner yang memuakkan itu, aku melirik sekilas layar di depanku: pesawat kami meluncur ke Irak Selatan dan tengah mendekati Kuwait....
Kuwait! Kuwait, pikirku! Ha! Ya! Hamad! Hamad siapa? Hamad Khalaf! Dari nama Kuwait itu tebesit nama sobat lama. Warga Kuwait yang, seorang diri, pernah mencoba menggelindingkan dalih anti-perang.
Ya! Hebat si Hamad Khalaf. Dia tidak mencoba menghadang perang melalui doa biasa! Dia sudah tahu doa tidak lagi mempan di daerah kelahirannya. Dia memilih menghadangnya melalui doa seni. ”Bagaimana? Dengan senjata! Ya! dengan memakai bekas senjata menjadi senjata melawan senjata nyata.” Menarik kan? Lalu, dia berpameran keliling dunia dengan senjata penyadaran itu. Keren, kan?
Lalu, aku tidur. Ketika dibangunkan pramugari, kita sudah di atas Sumatera, tidak jauh dari Jakarta. Aku tiba-tiba khawatir, lalu takut mendarat: jangan-jangan sindrom firdaus ala Mesopotamia itu mulai merambah negeri tercinta. Kini aku sudah di terminal, menunggu jemputan.