”Kita Tak Sendiri”
Bagi Giannis Chrysomallis alias Yanni (64), musik adalah bahasa universal untuk menyentuh manusia. Lewat musik, Yanni membuka mata dunia, menunjukkan bahwa setiap manusia saling terhubung dan memberi dampak satu sama lain. Lewat musik pula, Yanni menunjukkan manusia di belahan dunia mana pun tidak hidup sendiri.
Jauh sebelum sejumlah musisi sohor dunia tampil di situs warisan dunia UNESCO, ada Yanni yang sudah lebih dulu menorehkan jejak musiknya di sana. Yanni, musisi dan komposer asal Yunani itu, di sepanjang karier bermusiknya yang dimulai sejak tahun 1970-an, setidaknya telah tampil di delapan situs warisan dunia UNESCO.
Dimulai dari Acropolis di Yunani, Taj Mahal di India, Forbidden City di China, El Morro di Puerto Rico, Carthage di Tunisia, Kremlin di Moskwa, Byblos di Lebanon, hingga Piramida Giza di Mesir.
Daftar itu masih bertambah panjang karena 25 tahun sejak Acropolis, perjalanan musiknya melintasi situs-situs warisan dunia itu membawa Yanni ke Indonesia. Tak sekadar menjadi turis yang mengagumi keindahan Indonesia—seperti dilakukannya dalam beberapa kesempatan—Yanni juga tampil sebagai musisi di situs warisan dunia milik Indonesia, Candi Prambanan, Yogyakarta, dalam gelaran Prambanan Jazz Festival 2019 awal Juli 2019.
Konser bertajuk ”25th Anniversary Acropolis” itu digelar promotor Rajawali Indonesia dan PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko, untuk memperingati 25 tahun penampilannya di situs warisan dunia Acropolis di tanah kelahirannya, Yunani, yang bertajuk ”Live at the Acropolis”.
Yanni sebenarnya dijadwalkan tampil pada Oktober 2018, tetapi tertunda karena cedera. Akhirnya ia tampil di panggung special show Prambanan Jazz 2019. Selama 2 jam, Yanni dan para pemain orkestra yang berasal dari sejumlah negara, antara lain Taiwan, Armenia, Inggris, dan Rusia, menyuguhkan 22 lagu.
Sebagian di antaranya merupakan lagu dari album Live at the Acropolis, seperti ”Santorini”, ”Keys to Imagination”, ”Until the Last Moment”, dan ”One Man’s Dream”. Tak ketinggalan juga ”Felitsa”, lagu persembahan Yanni untuk sang ibu. Penonton pun datang dari berbagai penjuru. Penonton mancanegara mencapai sekitar 60 persen.
Mereka disuguhi komposisi musik indah dan megah, yang berpadu dengan daya magis Prambanan. Musik Yanni yang dikategorikan sebagai new age, tak hanya kaya eksplorasi, tetapi juga sekaligus merepresentasikan keragaman kultur seperti komposisi para musisi yang diboyong Yanni. Bersama mereka, musik Yanni menjadi bahasa universal yang menyatukan beragam kultur berbeda.
Nada berbicara
Perjalanan musik Yanni dimulai sejak kanak-kanak. Yanni yang lahir di Kalamata, Yunani, dari pasangan Sotiri dan Felitsa Chrysomallis ini mulai mengenal piano di usia 6 tahun.
Meski begitu, Yanni kecil menolak mengikuti ”kelas” piano. Dia ingin, dengan pianonya, ia bebas mengeksplorasi kekayaan nada yang mungkin tak akan dia peroleh dari pembelajaran yang sistematis.
Dalam wawancara dengan National Public Radio (NPR), Yanni mengatakan, awalnya memang sangat sulit. Di usia 6 tahun, dia harus memanjat piano lebih dulu sebelum mulai memainkannya sesuka hati. Ia sama sekali tak menyadari apa yang dilakukannya kala itu.
Dalam perjalanannya, Yanni kemudian menemukan makna lebih dalam. Bahwa not, chord, atau apa pun yang dia dengar ibarat buku yang terbuka, yang membawanya pada eksplorasi tak terhingga. Not, tak hanya nada rendah, tinggi, atau medium, tetapi juga lebih dari seperti kata yang ”berbicara” kepadanya.
Nada yang berbicara itu membawa Yanni dalam pengembaraan yang makin jauh. Saat kuliah jurusan psikologi di Universitas Minnesota (Amerika Serikat), Yanni, yang di usia 14 tahun memecahkan rekor renang nasional Yunani untuk gaya bebas 50 meter ini, bergabung dengan band rock n roll lokal, Chameleon. Band itu memberinya kesempatan mengembangkan gaya bermusik personalnya menggunakan piano dan kibor elektrik untuk menciptakan bebunyian baru.
Selain sukses menggelar tur reguler di sejumlah kota, Chameleon juga menelurkan dua album yang dirilis mandiri. Sejak itu Yanni tahu, masa depannya ada di musik. Dia lalu mulai menciptakan komposisi sendiri. Album pertamanya, Optimystique, dirilis mandiri tahun 1980.
Pengembaraannya dalam bermusik tak pernah berhenti. Yanni terus mengeksplorasi dunia musik elektronik, bebunyian, instrumen-instrumen baru, dan berbagai komposisi. Hidupnya tak pernah jauh dari musik.
Selain merilis album, Yanni juga terlibat membuat musik score untuk beberapa film di Hollywood. Setelah merilis ulang Optimystique, tahun 1990, Yanni tampil bersama Dallas Symphony Orchestra yang kelak menambahkan dimensi baru dalam gaya bermusiknya.
Yanni juga sibuk menggelar tur. Dia memilih sendiri anggota band turnya dan selalu ”menambahkan” orkestra. Tur internasionalnya digelar di banyak tempat terkenal di dunia, seperti Toji Temple di Kyoto, Japan, Royal Albert Hall di London, dan Acropolis di kampung halamannya. Tur-tur ini melesatkan Yanni menjadi salah satu nama besar di jagat musik.
Agar bisa tampil di Acropolis, Yanni harus lebih dulu meyakinkan komite yang terdiri atas para arkeolog, juga wali kota dan menteri kebudayaan, bahwa dia tak akan merusak situs monumental Yunani itu. Dia paham betul arti penting situs itu bagi peradaban dan budaya mereka. Hal serupa, harus dilalui Yanni sebelum tampil di situs-situs warisan dunia lainnya. Kuncinya, pemahaman dan penghormatan pada budaya tempat situs itu berada.
Pengalamannya tampil di banyak tempat, bertemu dengan banyak orang dengan latar budaya yang berbeda itu, menjadi inspirasi terbesarnya dalam bermusik.
”Apa yang aku rasakan, pengalaman hidupku, berdampak pada musik yang kuciptakan. Begitu juga dengan tempat di mana aku tampil, pasti akan mengubahku sebagai manusia. Jadi dengan menjalani hidup tanpa rasa takut, membuka hati dan pikiran, kreativitas akan mengalir dengan mudah.”
Misi hidup
Bagi Yanni, kehadirannya di Prambanan menjadi salah satu fragmen penting dalam hidupnya. Satu dari kepingan puzzle yang harus dia genapi, tak hanya bagi dirinya secara pribadi, tetapi juga bagi tujuan yang ingin ia raih sebagai musisi.
”Misi utamaku dalam bermusik, yang kini juga telah menjadi misi hidupku, adalah berkomunikasi dengan seluruh umat manusia yang ada di planet ini. Dan cara terbaik untuk berkomunikasi, tidak dengan bahasa yang kita gunakan berbicara seperti saat ini, tetapi melalui musik,” ungkap Yanni.
Musik, menurut Yanni, adalah bahasa yang dimengerti semua orang. Dengan musik, khususnya instrumentalia, Yanni ingin mengabarkan banyak hal ke seluruh tempat di dunia. Rasa bahagia, kedamaian, saling menghormati, persatuan, pemahaman, toleransi, dan penerimaan.
Itulah mengapa perjalanannya ke berbagai tempat di belahan dunia, termasuk ke Prambanan, Yogyakarta, bermakna mendalam. Ia tengah mewujudkan misi membuka mata banyak orang bahwa di planet ini ada begitu banyak manusia dengan latar budaya berbeda.
”Semua orang di sini terlihat sangat bahagia. Ini sesuatu yang tak banyak diketahui orang di dunia bahwa orang- orang di sini sangat hangat, selalu menyambut dengan senyum. Aku merasa seperti di rumah,” ujar Yanni.
Dia ingin, hal yang dia alami di Indonesia dialami juga oleh orang-orang lain. ”Kalau mereka mau melihat candi ini (Prambanan) di Indonesia, ya harus ke sini.
Lihat dengan mata mereka sendiri, berjumpa dengan banyak mata yang bahagia,” katanya.
Pengalaman seperti di Yogyakarta itu tak akan sama di tempat lain. Hal ini, kata Yanni, mengajarkan kepada manusia bahwa di seluruh planet ini, mereka tidak hidup sendiri. ”Setiap orang memberi dampak kepada orang lain. Setiap dari kita bisa memberi dampak pada planet ini. Inilah pesan sesungguhnya,” kata Yanni.
Bagi Yanni, kehadirannya ke Prambanan juga sangat penting bagi dirinya secara pribadi. Delapan bulan lalu, karena cedera yang dialaminya, Yanni urung berkonser di Indonesia. Itu adalah pertama kali dalam perjalanan kariernya ia harus membatalkan konser. ”Aku sangat sedih,” kata Yanni.
Namun, kesedihan Yanni mendadak lenyap setelah melihat foto berlatar Candi Prambanan dengan orang-orang yang mengirimkan doa untuk kesembuhannya.
”Aku lihat foto itu, ada wajah-wajah bahagia. Maka, aku ingin sehat. Ini sungguh mengubahku dan menjadi awal kesembuhanku,” ujarnya. ”Aku lalu berdoa untuk pulih kembali agar menjadi lebih baik dan lebih kuat. Sungguh ini adalah hal yang penuh makna bagiku.”
Ini bukti, seperti kata Yanni, setiap orang dapat memberi dampak bagi orang lain bahwa kita tidak hidup sendiri.
Giannis Chrysomallis
Lahir: Kalamata, Yunani, 14 November 1954
Pendidikan: Sarjana Psikologi, Universitas Minnesota, Amerika Serikat
Album (antara lain):
- Optimystique (1984), Keys to Imagination (1986), Dare to Dream (1992), Ethnicity (2003), Yanni Voices (Bahasa Inggris-2009), Truth of Touch (2011), Live at El Morro, Puerto Rico (2012)
Penghargaan (antara lain):
- World Music Award for World’s Best Selling Greek Artist
- Gelar Kehormatan Doctor of Humane Letters dari Universitas of Minnesota