Mereka Mau Pindah dari Pantai, tapi Tak Ingin di Huntara
Gempa bumi berkekuatan 6,9 skala Richter yang mengguncang Pandeglang, Banten, Jumat (2/8/2019), telah membuat warga ketakutan. Mereka ingin meninggalkan tempat tinggalnya yang rawan bencana atau membangun rumah yang kokoh, tetapi keinginan tersebut terkendala kemampuan finansial.
Di Desa Teluk, Kecamatan Labuan, Pandeglang, misalnya. Warga ingin tinggal jauh dari pesisir pantai agar bisa hidup mereka lebih tenang. Namun, mereka tak memiliki biaya untuk membangun rumah di tempat yang baru.
Karmin (42) mengaku masih trauma pascagempa, terlebih istrinya pernah tergulung ombak saat terjadi bencana tsunami pada 22 Desember 2018. Ia dan keluarganya tak lagi berani menempati rumahnya yang berjarak sekitar 25 meter dari bibir pantai pada malam hari.
“Malam hari kami tinggal di huntara (hunian sementara) dan pada pagi harinya kembali ke rumah untuk menjemur ikan,” ujar Karmin saat ditemui di rumahnya, Minggu (4/8/2019). Ia rela bolak-balik dari huntara ke rumahnya yang jaraknya sekitar dua kilometer agar selamat dari bencana.
Istri Karmin, Aliyah (30), berharap dapat memiliki tempat tinggal tetap di lokasi yang aman meskipun jauh dari pantai. Mereka rela jika harus bolak-balik ke pantai asalkan selamat.
Begitu pula dengan Irma Nurmala (34) yang mengaku sulit tidur setiap malamnya. Pasca tsunami Desember silam, ia mengaku sulit tidur hingga dua bulan setelahnya. Adapun, sebelum tsunami, ada dua rumah berdiri di depan rumahnya di dekat pantai. Dua rumah tersebut kini rata dengan tanah.
Mayoritas warga Desa Teluk berprofesi sebagai nelayan. Mereka tahu bahwa tinggal di pesisir pantai telah dilarang pemerintah dan membahayakan diri mereka. Apalagi, daerah tersebut rawan terjadi gempa dan tsunami.
Pada saat terjadi gempa bumi, sebagian besar warga berada di rumahnya. Mereka terkejut ketika ada goncangan dan langsung beranjak untuk menyelamatkan diri. “Goncangan sangat kencang dan saya pun langsung meninggalkan rumah,” ujar tetangga Karmin, Hasanudin (36) dan istrinya Irma Nurmala (34).
Irma mengaku, warga tak tahu bahwa gempa tersebut berpotensi tsunami karena tak ada bunyi sirene. Mereka baru mengetahuinya ketika melihat media sosial. Padahal, di Desa Teluk, sudah terpasang sirene oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.
Pada saat terjadi tsunami pada Desember lalu, sirene itu juga tidak berbunyi. Padahal, sebelumnya sirene selalu dibunyikan setiap tanggal 26 sebagai peringatan tsunami Aceh 2004. Belajar dari pengalaman Desember lalu, mereka sadar bahwa setiap ada gempa, hal pertama yang harus dilakukan yakni pergi ke tempat yang aman.
Setelah gempa gempa Desember lalu, warga di Desa Teluk memilih untuk tinggal di huntara atau kerabat yang lokasinya jauh dari pantai. Mereka mengaku tak bisa tidur karena takut tiba-tiba terjadi bencana.
Rumah kokoh
Kecamatan Mandalawangi menjadi wilayah yang paling terdampak akibat gempa bumi. Hingga Minggu siang, ada 59 rumah yang mengalami kerusakan di 8 desa. Adapun Kecamatan Mandalawangi terdapat 15 desa, 7 desa lainnya belum memberikan laporan. Beberapa rumah tersebut mengalami rusak berat.
Camat Mandalawangi Entus Bakti menuturkan, salah satu penyebab rumah yang roboh karena bangunan tersebut tidak menggunakan rangka dari besi. Akibatnya, rumah mereka rentan apabila terjadi gempa.
Warga di Mandalawangi telah mengetahui bahwa daerah yang mereka tinggal rawan bencana. Tiap tahun, mereka selalu merasakan gempa. Mereka pernah mengalami gempa besar sekitar tahun 1990-an. Namun, kekuatannya tidak sebesar pada Jumat lalu.
Meskipun mengetahui bahwa wilayahnya rawan gempa, mereka tidak membangun rumahnya dengan rangka besi yang kokoh. Alasannya, mereka tidak mampu membeli kerangka berbahan besi karena besarnya biaya yang dibutuhkan.
Sawiri (30) yang bertempat tinggal di Kampung Karoya, Desa Panjang Jaya mengaku, rumahnya telah dua kali roboh ketika terjadi gempa bumi. Ketika roboh pada gempa bumi pertama, ia telah disarankan untuk membangun rumah yang kokoh dengan menggunakan kerangka besi.
Akan tetapi karena tidak ada biaya yang cukup, ia kembali membangun rumahnya tanpa menggunakan kerangka besi. “Saya cuma dapat bantuan dua sak semen, sedangkan untuk membangun rumah yang kuat butuh banyak bahan baku,” ujar Sawiri.
Sebagai seorang yang bekerja serabutan, ia tak memiliki cukup uang untuk membeli besi. Ia juga tetap bertahan di kampung halamannya karena tak memiliki uang untuk membeli rumah di lokasi lain yang aman.
Tidak hanya Sawiri, warga lain yang rumahnya terdampak pun mengaku telah mengetahui bahwa daerahnya rawan gempa. Faktor ekonomi lagi-lagi menghalangi upaya mereka untuk membangun rumah yang lebih kokoh.
Kepala Desa Panjangjaya Agus S Koja mengaku, warganya belum mendapat kepastian bantuan dari pemerintah untuk perbaikan rumah. Mereka baru mendapatkan bantuan berupa sembako.
Menurutnya, warganya selama ini butuh menabung bertahun-tahun untuk membangun rumah. Itupun secara bertahap. Oleh sebab itu, bantuan material menurutnya akan sangat berguna agar warga segera bisa membangun lagi rumah mereka. Terlebih, beberapa warga masih tinggal pada bangunan yang rusak.
“Mereka butuh bantuan material seperti pasir, batu batu, dan kebutuhan lain untuk memperbaiki rumah,” ujarnya.