Pensiun
Bangun siang
Percakapan itu berhenti sampai di situ. Jadi, tahun ini ketika semua orang yang bekerja seusia saya sudah pensiun atau sedang dalam persiapan pensiun, saya tetap bekerja seperti biasa. Sejujurnya saya juga ogah pensiun. Saya yakin akan bingung mau melakukan kegiatan apalagi. Bahkan bisa jadi mati seperti komentar rekan usaha saya itu.
Beberapa waktu lalu, saya hadir untuk memberikan sharing session di sebuah perusahaan nasional. Waktu saya bertanya siapa yang senang akan memasuki masa pensiun, maka dari sekitar 39 peserta, hanya dua orang yang bereaksi menyambut gembira.
Dan keduanya memberi jawaban yang sama ketika saya menanyakan alasannya. ”Bisa bangun siang.” Harus diakui bisa bangun siang adalah sebuah kenikmatan bagi beberapa orang, tentu termasuk saya, meski dengan bertambahnya umur susah sekali bangun di atas pukul tujuh pagi.
Sejujurnya saya juga setuju pensiun itu menyenangkan. Selain dapat bangun siang, saya bisa melakukan hal-hal yang tak dapat saya kerjakan semasa masih bekerja yang menguras waktu dan tenaga dari pagi hingga malam.
Di masa-masa tak bekerja itu saya bisa lebih produktif, bisa melakukan dan menyalurkan apa yang saya cita-citakan dan bisa jadi menemukan sesuatu yang tak terpikirkan sebelumnya untuk dikerjakan. Mungkin saya malah tak jadi mati seperti yang diperkirakan rekan usaha saya di atas.
Masa pensiun adalah masa bahagia ketika saya bisa menemukan nilai-nilai yang murni adalah saya. Bukan nilai-nilai yang orang lain kenali karena saya bekerja di bank ini dan bank itu. Masa pensiun adalah masa gendang telinga ini tak lagi mendengarkan kalimat macam ”Saya Samuel dari perusahaan A atau perusahaan B”.
Jadi berbelas tahun bekerja, orang menghormati saya karena ada nama besar di belakang saya. Orang menghormati saya dengan nilai perusahaan. Mereka mengundang saya, mereka mau berkenalan dengan saya, mereka mau bekerja sama dengan saya karena perusahaan tempat saya bekerja, bukan karena saya semata.
Maka, masa pensiun adalah masa ketika saya terbebas dari penghormatan orang lain terhadap sebuah institusi melalui keberadaan saya.
Penemuan diri
Masa pensiun adalah masa belajar menerima diri saya apa adanya. Karena selama bekerja di perusahaan besar, apalagi terkenal, itu bukan diri saya. Itu diri saya dengan nilai-nilai perusahaan yang saya bawa ke mana-mana dan kemudian orang melihatnya sebagai nilai saya, apalagi kalau saya bekerja sampai puluhan tahun lamanya.
Masa pensiun adalah merayakan hidup yang baru tanpa embel predikat tempat saya bekerja. Masa pensiun adalah masa pembelajaran untuk merendahkan diri, mau tak mau. Di masa itu saya harus siap mental kalau dahulu saya sering mendamprat orang, sekarang mungkin giliran saya didamprat.
Kalau dulu begitu banyak dayang-dayangnya, maka saya harus siap mental kalau di masa pensiun, satu dayang pun tak ada. Semuanya harus saya kerjakan sendiri, bahkan mengantre yang dulu mungkin tak pernah saya lakukan, sekarang mengantre seperti semua orang. Kalau dahulu fasilitas begitu banyak didapat, sekarang memfasilitasi diri sendiri.
Masa pensiun bisa seperti kawah candradimuka. Saya diuji, ditempa untuk menjadi manusia yang tangguh tanpa predikat. Saya yang bukan presiden direktur sebuah perusahaan asuransi A, saya yang bukan direktur keuangan perusahaan minyak B, saya yang bukan petugas satpam perusahaan sabun C.
Saya adalah saya yang tanpa institusi besar di belakangnya. Apakah itu akan mendatangkan ketakutan? Terutama takut tak dihormati lagi, atau takut karena tak bisa berkuasa lagi. Waktu saya meninggalkan perusahaan besar tempat saya bekerja hampir 10 tahun, orang mulai tak memedulikan saya. Undangan mulai jarang datang. Klien yang dahulu mudah untuk membuat janji temu sekarang susahnya setengah mati.
Prioritas menjadi hilang dalam sekejap. Namun, saya merasa ada baiknya kalau
”berendam” dalam kawah candradimuka itu. Supaya saya ini mulai belajar untuk merasakan bagaimana rasanya tidak dihormati. Bagaimana
rasanya menjadi orang biasa, merasakan arti sesungguhnya rendah itu.
Belajar menerima bahwa saya tidak duduk lagi di baris terdepan, tetapi tiga deret di belakang baris terdepan. Tak ada yang meminta saya membuka sebuah acara, berbicara di atas panggung. Belajar merasakan ketika saya ini tak lagi dapat memberikan keuntungan untuk orang lain.
Saya belajar untuk menerima bahwa saya bukan somebody. Tidak lagi menjadi orang yang pertama, tetapi yang kedua, yang keseribu. Masa pensiun adalah memasuki sebuah periode menjadi nobody alias bukan siapa-siapa, untuk kemudian menjadi somebody dengan nilai-nilai yang telah saya temukan sendiri sehingga pensiun menjadi sebuah masa paling bahagia yang mungkin bisa terjadi dalam siklus kehidupan manusia.
Masa pensiun bukan sebuah akhir cerita. Itu adalah sebuah babak baru kehidupan, sebuah masa penemuan diri. Babak yang tak hanya diisi dengan bangun siang semata, termasuk badan yang semakin mudah encok, tetapi menjadi manusia tangguh dengan nilai-nilainya sendiri.