Amandemen UUD 1945 menjadi salah satu ”syarat” yang digaungkan PDI-P terkait pengisian kursi ketua MPR 2019-2024. Hal ini memunculkan pro dan kontra.
JAKARTA, KOMPAS — Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai peraih kursi terbanyak di parlemen periode 2019-2024 mengirim sinyal akan menjadikan amandemen UUD 1945 sebagai ”syarat” dukungan dalam pengisian kursi ketua MPR. Hal ini mendapat respons beragam dari partai-partai politik yang bermitra dengan PDI-P di koalisi pendukung presiden-wakil presiden terpilih Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Kursi ketua MPR kini diperebutkan dua partai pendukung Jokowi-Amin, yaitu Partai Golkar dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Keinginan menjadi ketua MPR juga disampaikan parpol dari luar koalisi pendukung Jokowi-Amin, seperti Partai Gerindra dan Partai Demokrat.
Wakil Sekretaris Jenderal PDI-P Ahmad Basarah, Minggu (4/8/2019), mengatakan, jika partai-partai lain tidak sepakat dengan wacana amandemen UUD 1945 di periode mendatang, PDI-P akan mengambil alih kursi ketua MPR. Kalau itu terjadi, PDI-P akan menguasai kursi ketua DPR dan ketua MPR.
Beberapa poin utama yang didorong PDI-P dalam amandemen UUD 1945 ialah menghidupkan lagi Garis-garis Besar Haluan Negara sebagai pemandu pembangunan, mengembalikan kewenangan MPR untuk menetapkan GBHN, serta mengembalikan posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Ada pula syarat di luar amandemen UUD 1945, yaitu kesediaan partai untuk menjadikan MPR sebagai mitra kerja strategis Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Selain itu, juga komitmen untuk menjamin pemerintahan Jokowi-Amin berlangsung efektif tanpa gangguan dan niat pemakzulan (impeachment).
”Sepanjang partai-partai politik lain bisa menerima syarat-syarat agenda amandemen yang kami usulkan, kami dapat bekerja sama,” kata Basarah, yang kini menjabat Wakil Ketua MPR. PDI-P sudah menggaungkan wacana amandemen UUD 1945 sejak 2016. Rencana itu juga masuk rekomendasi hasil rapat kerja nasional PDI-P.
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, selain syarat amandemen, pengisian kursi ketua MPR nanti juga akan mempertimbangkan suara rakyat. Perolehan suara atau kursi partai saat Pemilu 2019 akan menjadi pertimbangan utama. Dengan demikian, partai yang berpeluang mengisi kursi ketua MPR ialah Golkar atau Gerindra. Gerindra memperoleh suara kedua terbanyak dan Golkar meraih kursi kedua terbanyak Pemilu 2019.
Wacana amandemen sebagai ”syarat” pembagian kursi ketua MPR mendapat respons beragam. Sekretaris Jenderal Partai Golkar Lodewijk F Paulus mengatakan, GBHN tidak dibutuhkan lagi. ”Pak Jokowi, seperti Golkar, sudah punya Visi Indonesia. Itu saja yang dijadikan tuntunan sampai 2045,” katanya. Saat ini, Golkar mengusulkan Aziz Syamsuddin dan Zainudin Amali sebagai calon ketua MPR.
Wakil Sekretaris Jenderal PKB Jazilul Fawaid menuturkan, PKB sepakat amandemen UUD 1945 memang perlu dikaji sebagai salah satu agenda prioritas MPR. Jika partai-partai sudah sepakat terkait agenda amandemen UUD 1945, lebih mudah menentukan calon yang tepat menduduki jabatan ketua MPR.
Urgensi amandemen
Peneliti Pusat Studi Konstitusi dari Universitas Andalas, Feri Amsari, mempertanyakan urgensi parpol mendorong amandemen UUD 1945. Dia khawatir alasan di balik wacana amandemen itu bersifat politis. Apalagi, urgensi menghidupkan lagi GBHN tak begitu mendesak.
Di sisi lain, menurut dia, usulan menjadikan MPR lembaga tertinggi negara bisa merusak tatanan sistem presidensial. Sebab, konsekuensinya MPR bisa kembali berwenang memilih presiden dan wakil presiden. ”Ini jauh dari semangat reformasi bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat,” katanya. (AGE)