Cuaca Kering Picu Peningkatan Kebakaran Hutan di Jawa Timur
›
Cuaca Kering Picu Peningkatan ...
Iklan
Cuaca Kering Picu Peningkatan Kebakaran Hutan di Jawa Timur
Dalam rentang kurang dari sebulan, sedikitnya 154 peristiwa kebakaran hutan terjadi di Jawa Timur. Angka itu naik dua kali lipat dibandingkan tahun lalu yang hanya 86 kejadian. Suhu udara tinggi atau panas, ditambah cuaca yang sangat kering dan tiupan angin kencang, diduga menjadi faktor pemicu meningkatnya kebakaran hutan.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS - Dalam rentang kurang dari sebulan, sedikitnya 154 peristiwa kebakaran hutan terjadi di Jawa Timur. Angka itu naik dua kali lipat dibandingkan tahun lalu yang hanya 86 kejadian. Suhu udara tinggi atau panas, ditambah cuaca yang sangat kering dan tiupan angin kencang, diduga menjadi faktor pemicu meningkatnya kebakaran hutan.
Peristiwa kebakaran hutan berpotensi meningkat lebih banyak lagi karena musim kemarau diprediksi berlangsung hingga September. Angka 154 kejadian kebakaran hutan itu sejatinya hanya yang didata oleh Perum Perhutani Divisi Regional Jawa Timur. Padahal kebakaran hutan juga terjadi di wilayah Taman Hutan Rakyat dan kawasan hutan konservasi yang dikelola oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam.
Berdasarkan catatan Divisi Regional Jatim, kebakaran hutan pertama terjadi 13 Juli lalu atau saat awal musim kemarau. Akumulasi frekuensi kebakaran hutan hingga awal Agustus ini mencapai 154 kejadian dengan luasan area terdampak 369,53 hektar (ha).
Luas area terdampak meningkat dibandingkan tahun lalu 322 ha. Area terdampak ini merupakan hutan produksi dengan tanaman sejenis atau rimba campur. Selain itu ada hutan lindung dan padang alang-alang seperti vegetasi yang terdapat di puncak gunung.
Adapun peningkatan frekuensi kebakaran hutan disebabkan cuaca yang sangat kering ditambah tiupan angin yang cukup kencang pada musim kemarau ini
Wakil Kepala Divisi Regional Jatim Perum Perhutani Joko Sunarto mengatakan kebakaran hutan terjadi di seluruh wilayah kerja yang terbagi menjadi 23 Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) mulai dari bagian barat Jatim seperti Ponorogo, Bojonegoro, Nganjuk, Malang, hingga wilayah timur yakni Kabupaten Banyuwangi.
“Adapun peningkatan frekuensi kebakaran hutan disebabkan cuaca yang sangat kering ditambah tiupan angin yang cukup kencang pada musim kemarau ini,” ujar Joko, Senin (5/8/2019) di Surabaya.
Selain dari sisi kuantitatif, kebakaran hutan saat ini juga meningkat secara kualitatif. Indikasinya, tahun lalu tidak banyak kawasan gunung yang terbakar. Kebakaran di kawasan gunung baru terjadi pada puncak kemarau sekitar September. Akan tetapi sekarang, justru banyak kawasan gunung yang terbakar seperti Gunung Wilis, Gunung Panderman, Arjuna dan Kawi.
Bahkan hingga petang ini api masih membakar hutan di Gunung Kawi. Luas area yang terbakar 17 ha berada di petak 212 Resort Pemangkuan Hutan Oro-Oro Ombo, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Pujon. Kebakaran yang terjadi sejak Minggu (4/8/2019) itu mengenai tanaman jenisnya kayu rimba dan jenis lain.
“Yang terbakar sebenarnya bagian serasah atau sisa sampah organik seperti daun kering, ranting, dan sisa-sisa vegetasi lain. Serasah ini berada di lantai hutan,” kata Joko.
Meningkatnya kebakaran hutan mendapat perhatian serius terutama untuk wilayah gunung karena tantangan pemadamannya sangat besar. Joko mengklaim sejak jauh hari pihaknya telah memetakan potensi rawan kebakaran di Gunung Lawu, Wilis, Kawi, Panderman, Arjuna, Argopuro, Ijeng, Raung, dan lereng Bromo-Tengger-Semeru.
Pengamatan secara manual
Pada kawasan yang berpotensi terbakar itu dilakukan pengamatan rutin secara manual maupun dengan memanfaatkan teknologi seperti pantauan melalui citra satelit. Tujuannya mendeteksi dini munculnya titik api, supaya segera bisa ditangani atau dilokalisir.
Kepala Departemen Perlindungan dan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Divre Jatim Perum Perhutani Ratmanto Trimahono menambahkan penanganan kebakaran di gunung tidak mudah karena medannya yang terjal sehingga sulit dijangkau. Akses menuju lokasi yang sangat terbatas bahkan hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki.
Upaya pemadaman pun hanya bisa dilakukan secara manual dengan memukulkan ranting basah ke lidah api. Cara lain mengendalikan kebakaran adalah membuat ilaran dan sekat bakar untuk melokalisir agar api tidak menjalar lebih luas lagi.
Pemadaman api menggunakan air sulit dilakukan karena sumber air yang jauh dari lokasi titik api. Selain itu diperlukan alat untuk mengambil air. Salah satu upayanya menggunakan helikopter seperti yang dilakukan oleh BNPB saat memadamkan bara api di Tahura R Soerjo di lereng Gunung Arjuno, Batu, Sabtu (3/8) lalu.