Faktor Dubai di Balik Kedekatan Iran-UEA
Di tengah meningkatnya eskalasi di wilayah Timur Tengah dan Teluk Persia, arah kebijakan luar negeri Uni Emirat Arab tampak berubah. Mitra Arab Saudi itu kembali menjalin kerja sama dengan Iran, pesaing Riyadh di kawasan.
Pertemuan komandan pengawal pantai Uni Emirat Arab (UEA), Brigjen Mohammad Ali Mesbah al-Ahbabi, dan komandan pasukan penjaga perbatasan Iran, Brigjen Qassem Rezaei, di Teheran, pada Selasa (30/7/2019) pekan lalu, mendapat sorotan besar dari media, pengamat, dan pejabat di Timur Tengah.
Sejumlah isu, seperti kerja sama pengamanan perbatasan laut Iran-UEA di Teluk Persia dan Selat Hormuz serta tukar-menukar informasi, menjadi materi pertemuan mereka (Kompas, Kamis, 1 Agustus 2019). Tidak mengherankan, pertemuan itu dipandang sebagai kejutan besar karena dianggap perubahan luar biasa kebijakan luar negeri UEA dalam konteks geopolitik kawasan Timur Tengah.
Apalagi, digelar saat ketegangan di kawasan Teluk Persia semakin meningkat, puncaknya saat Iran menahan kapal tanker Inggris, Stena Imperio, di dekat Selat Hormuz pada 19 Juli lalu, sebagai balasan atas aksi Inggris menahan kapal tanker Iran, Grace 1, di Selat Gibraltar pada 4 Juli lalu.
Meski yang terlibat terutama Iran dan kekuatan Barat, tidak dapat dimungkiri eskalasi itu turut memperuncing pertarungan geopolitik kawasan antara kubu Arab Saudi dan Iran. Sebagaimana diketahui, dalam persaingan pengaruh di kawasan, Arab Saudi mendapat dukungan dari UEA dan Bahrain. Di pihak Iran, terdapat Al Houthi di Yaman, milisi Hasd Shaabi di Irak, dan Hezbollah di Lebanon.
Akan tetapi, saat perairan Teluk Persia ”bergelora”, terutama setelah Amerika Serikat secara sepihak mundur dari Kesepakatan Nuklir 2015, UEA secara mengejutkan berbalik arah, dan merapat ke Iran.
Sikap itu menimbulkan berbagai penafsiran. Menteri Urusan Luar Negeri UEA, Anwar Gargash, seperti dikutip stasiun televisi Al Arabiya yang berbasis di Dubai, menolak keras pertemuan Iran-UEA di Teheran pada 30 Juli itu karena akan memecah hubungan Arab Saudi-UEA.
Gargash menegaskan, memecah hubungan Arab Saudi-UEA melalui isu Yaman ataupun Iran adalah mustahil. Menurut dia, kemitraan Arab Saudi-UEA solid, kuat, dan permanen. Gargash menyebut, pertemuan Iran-UEA itu adalah pertemuan rutin sejak 2009 dan bukan refleksi dari perubahan kebijakan luar negeri UEA. Ia pun menegaskan, UEA tidak mungkin meninggalkan Arab Saudi.
Meski demikian, pengamat politik asal Irak, Liqa Maki, dalam forum dialog di stasiun televisi Al Jazeera mempunyai pendapat berbeda. Ia mengatakan, meski kemitraan Arab Saudi-UEA solid, UEA—pasca-pertemuan Teheran—mulai bermain dua kaki antara Iran dan Arab Saudi.
Menurut dia, UEA terpaksa merapat ke Iran karena pertimbangan situasi kawasan dan dalam negeri UEA sendiri. Maki mengungkapkan, UEA sesungguhnya adalah negara Arab kaya yang paling terkait dengan Iran secara ekonomi dan keamanan. Bahkan, ujar Maki, keterkaitan Iran-UEA jauh lebih kuat dibandingkan keterkaitan Iran-Qatar.
Menurut Maki, sesungguhnya ”perseteruan” Iran-UEA hanyalah di permukaan. Sejatinya, Iran dan UEA adalah dua negara yang saling membutuhkan. Dalam konteks keamanan, Selat Hormuz yang menjadi jalur pasokan 20 persen energi dunia bertepi di Iran dan UEA. Merekalah yang paling berkepentingan dan bertanggung jawab atas keamanan jalur strategis itu.
Secara ekonomi, neraca perdagangan Iran-UEA tahun 2017 mencapai angka 11,114 miliar dollar AS dengan rincian ekspor Iran ke UEA tercatat 4,458 miliar dollar AS dan ekspor UEA ke Iran tercatat 6,656 miliar dollar AS.
Desakan Dubai
Kantor berita Turki, Anadolu, mengungkapkan, perubahan kebijakan politik luar negeri UEA yang cenderung merapat ke Iran diduga dipicu desakan penguasa Dubai yang juga Wakil Presiden UEA Sheikh Mohammed bin Rashid al-Maktoum kepada Putra Mahkota Abu Dhabi yang juga Presiden UEA de facto, Sheikh Mohammed bin Zayed al Nahyan (MBZ), agar mengubah kebijakan luar negeri UEA menjadi lebih berimbang antara Arab Saudi dan Iran.
Menurut Anadolu, Sheikh Al Maktoum meminta bertemu Sheikh Al Nahyan setelah Iran menembak jatuh pesawat Nirawak AS, RQ-4 Global Hawk, pada 20 Juni lalu untuk evaluasi kebijakan luar negeri UEA. Dalam pertemuan itu, Sheikh al-Maktoum mendesak Sheikh al-Nahyan agar mengubah kebijakan luar negeri UEA dengan mengurangi ikut campur urusan dalam negeri negara lain, khususnya Yaman dan Iran.
Sheikh al-Nahyan diduga menerima permintaan Sheikh al-Maktoum . Seusai pertemuan itu, UEA langsung menarik sebagian pasukannya dari Yaman akhir Juni lalu. Langkah itu disusul pertemuan komandan perbatasan dan pantai Iran-UEA Juli lalu di Teheran.
Terkait Yaman, Sheikh Mohammed bin Rashid al-Maktoum—penguasa Dubai—dikenal menolak keras keterlibatan UEA dalam perang Yaman. Menurut dia, perang Yaman memukul perekonomian Dubai yang sangat mengandalkan pemasukan dari pariwisata dan investasi asing sebagai salah satu sumber devisa.
Ia berdalih, begitu milisi Al-Houthi di Yaman mengancam akan menyerang bandara-bandara di UEA, dampaknya harga saham di bursa Dubai langsung berguguran dan membuat seret arus investasi asing ke Dubai.
Selain itu, menurut Sheikh al-Maktoum, untuk menghindari sanksi AS, banyak pengusaha Iran juga lari ke Dubai dan menanamkan investasi di kota itu. Dubai pun banyak mengambil manfaat dari kehadiran mereka. Oleh karena itu, menurut Sheikh al Maktoum, Dubai harus menjaga hubungan baik dengan Iran agar para pengusaha Iran tidak lari ke Eropa atau Turki.
Sebaliknya, perang Yaman tidak banyak berpengaruh pada perekonomian kota Abu Dhabi dan posisi politik MBZ karena pendapatan Abu Dhabi berasal dari minyak yang tidak terpengaruh oleh perang Yaman.
Ditengarai, pertemuan Sheikh al-Maktoum dan Sheikh al-Nahyan itulah yang menjadi faktor terbesar—diduga—mengubah arah kebijakan luar negeri UEA saat ini, yaitu cenderung merapat ke Iran.