Ironi di Daerah Lumbung Investasi
Sebagai penyangga Kota Surabaya, Sidoarjo menjadi kawasan seksi untuk investasi. Namun geliat investasi itu belum diimbangi denganpembangunan berkelanjutan.
SIDOARJO, KOMPAS — Sebagai penyangga Kota Surabaya yang merupakan ibu kota Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Sidoarjo menjadi kawasan seksi untuk investasi. Investor pun berebut menanamkan modalnya. Namun, geliat investasi itu belum diimbangi dengan pembangunan yang mampu menjembatani terwujudnya tujuan pembangunan berkelanjutan untuk kemaslahatan manusia dan planet Bumi.
Daya tarik Sidoarjo di bidang investasi tak perlu diragukan lagi. Perekonomian di daerah berjuluk ”Kota Delta” ini memang pernah terpuruk akibat munculnya semburan lumpur di Kecamatan Porong pada 2006. Namun, berkat promosi investasi yang gencar, usaha membangun sistem kelembagaan yang solid, ditambah penguatan pelayanan perizinan, Sidoarjo berhasil mengembalikan daya tariknya di mata investor.
Dalam rentang waktu kurang dari empat tahun, geliat investasi di Sidoarjo telah kembali. Hal itu ditandai dengan raihan penghargaan Investment Award Provinsi Jatim 2010. Prestasi pun berhasil dipertahankan selama dua periode berturut-turut, yakni 2011 dan 2012.
Dalam rentang waktu kurang dari empat tahun, geliat investasi di Sidoarjo telah kembali.
Setelah itu Sidoarjo sempat absen tanpa prestasi di bidang investasi. Namun, kondisi tersebut tak berlangsung lama. Kabupaten yang berada di delta Sungai Brantas ini kembali meraih posisi puncak sebagai kabupaten berpredikat paling baik dalam kelembagaan, promosi investasi, dan pelayanan perizinan 2015.
Baca Menghapus Momok Perizinan di Sidoarjo
Bupati Sidoarjo Saiful Ilah mengatakan, beberapa tahun belakangan, nama daerahnya tak lagi disebut di ajang penghargaan di bidang investasi. Namun, bukan berarti Sidoarjo tak lagi berprestasi. Sebab, minat investasi di daerah yang konon menjadi pusat Kerajaan Jenggala ini tak pernah mati.
Sebagai gambaran, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM PTSP) mencatat total nilai investasi selama rentang 2018 mencapai Rp 17 triliun. Angka itu melampui target yang ditetapkan Rp 16,9 triliun.
Nilai investasi itu memang lebih rendah apabila dibandingkan dengan 2015 yang menembus angka Rp 22,8 triliun. Namun, hal itu tak lantas menjadi alasan untuk mengatakan investasi di Sidoarjo melemah. Sebab, faktor yang memengaruhi investasi tidak lagi sama. Jika dulu lebih didominasi faktor internal seperti sistem kelembagaan, pelayanan perizinan, dan promosi investasi, kini justru didominasi faktor eksternal.
Faktor eksternal itu, antara lain kondisi ekonomi makro nasional, kondisi ekonomi regional ASEAN, hingga perkembangan ekonomi global dunia. Hal itu terjadi karena investor yang masuk di Sidoarjo tidak hanya berasal dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri.
Bicara soal bidang usaha yang banyak dilirik investor di Sidoarjo adalah properti bisa perumahan atau pergudangan untuk usaha. Selain itu, sektor usaha jasa dan perdagangan. Untuk industri manufaktur tetap ada peminatnya meskipun jumlahnya tidak sebanyak investor di sektor properti.
Permintaan Lahan Tinggi
Tingginya minat investasi di Sidoarjo juga ditandai dengan tingginya permintaan lahan. Permintaan lahan itu bahkan memicu terjadinya alih fungsi dan terbanyak adalah dari lahan pertanian produktif menjadi lahan industri ataupun permukiman.
Kepala Dinas Pangan dan Pertanian Sidoarjo Handajani mengatakan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) saat ini seluas 12.250 hektar (ha). Namun, lahan itu akan segera menyusut 5.000 ha karena Pemkab Sidoarjo saat ini tengah mengajukan revisi perda rencana tata ruang dan wilayah (RTRW). Kebutuhan alih fungsi lahan seluas 5.000 ha itu, antara lain, karena permintaan dari investor di sektor properti dan industri manufaktur. Permintaan lahan paling tinggi adalah properti sebab kebutuhan perumahan baru di Sidoarjo tinggi.
Pengurangan lahan pertanian tidak hanya berdampak pada produksi pertanian, tetapi juga berkurangnya area resapan dan ruang terbuka hijau. Pengurangan area tersebut berdampak memperparah bencana lingkungan yang rutin melanda Sidoarjo, yakni banjir.
Dengan asumsi lahan pertanian tersisa 7.250 ha, ditambah luas tambak 15.500 ha, total area terbuka di Sidoarjo tinggal 22.750 ha. Luas area terbuka itu tidak akan mampu berfungsi maksimal sebagai area resapan dibandingkan dengan luas total Sidoarjo 719 kilometer (km) persegi.
Ironisnya, para pemangku kepentingan di Sidoarjo tak berupaya meminimalkan ancaman bencana lingkungan yang semakin parah tersebut dengan baik. Hal itu bisa dilihat dari manajemen bencana yang belum ideal. Contohnya upaya pencegahan dengan cara membuat bendungan dan upaya menata kembali area resapan agar berfungsi maksimal.
Wacana membangun bendungan di kawasan hilir memang pernah digulirkan. Namun, wacana tersebut tak kunjung direalisasikan. Bukan pula karena ketiadaan anggaran, sebab dana menganggur mencapai Rp 1 triliun lebih pada 2018 dan diprediksi menjadi 1,5 triliun pada 2019. Dana itu bersumber dari sisa lebih penggunaan anggaran (silpa).
Sebagai gambaran, banjir parah melanda wilayah Sidoarjo 2017. Genangan banjir meluas di berbagai kecamatan seperti Kecamatan Jabon, Porong, Candi, Sidoarjo, Sedati, Waru, Taman, Gedangan, dan Tanggulangin. Di Kecamatan Jabon, banjir merendam sedikitnya tiga desa selama hampir tiga bulan.
Bencana itu praktis menurunkan kesejahteraan warga karena perekonomian lumpuh. Derajat kesehatan juga turun sebab kebutuhan dasar, seperti air bersih dan lingkungan yang sehat, sulit dipenuhi. Apalagi mayoritas warga di Sidoarjo masih mengandalkan air sumur karena cakupan pelayanan perusahaan daerah air minum baru di kisaran 30 persen.
Dirut PDAM Delta Tirta Sidoarjo Abdul Basit Lao mengatakan, cakupan layanan ditargetkan menjadi 59 persen pada 2022. Target itu bakal dicapai dengan catatan pihaknya mendapatkan tambahan pasokan air dari Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Umbulan II.
Untuk mendapatkan tambahan pasokan air dari SPAM Umbulan II, PDAM Delta Tirta harus memiliki DC (Distribution Center) sebagai pusat pengaturan lalu lintas pendistribusian air ke rumah-rumah warga. Butuh setidaknya delapan titik DC yang tersebar di delapan kecamatan. Kendalanya butuh anggaran besar, terutama untuk pembebasan lahan dan pembangunan jaringan.
Selain air bersih infrastruktur layanan dasar yang kurang memadai adalah fasilitas kesehatan. Dengan penduduk 2,5 juta jiwa pada siang hari dan sekitar 3 juta jiwa di malam hari karena banyak pekerja di Surabaya yang indekos atau ngontrak di Sidoarjo, idealnya minimal ada dua rumah sakit pemerintah yang melayani masyarakat.
Faktanya, Sidoarjo hanya memiliki satu RSUD yang lokasinya berada di tengah kota. Dampaknya, masyarakat di pinggiran terutama wilayah barat, seperti Kecamatan Krian, kesulitan mengakses fasilitas kesehatan yang memadai. Pemkab Sidoarjo telah mematangkan rencana pembangunan rumah sakit daerah di wilayah tersebut sejak dua tahun lalu.
Pembangunan RSUD di wilayah barat Sidoarjo menggunakan skema KPBU (Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha). Skema pembiayaan itu bahkan telah disetujui oleh pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Keuangan. Namun, hingga kini tak kunjung terealisasi karena perbedaan pendapat antara eksekutif dan legislatif.
Pembangunan lain yang mendesak di Sidoarjo adalah pengelolaan sampah. Sebanyak 1.800 ton sampah tidak tertangani setiap hari sebab tempat pembuangan akhir (TPA) hanya mampu menampung 600 ton dari total produksi sampah rumah tangga sebanyak 2.400 ton per hari.
Sampah rumah tangga yang tidak tertangani dengan baik itu mencemari sungai, pekarangan rumah, dan tanah kosong. Sampah yang memenuhi sungai tak hanya menghambat laju air dan memicu banjir, melainkan mencemari air dan mengancam kelangsungan hidup biota sungai.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Sidoarjo Sigit Setyawan mengatakan, idealnya pengelolaan sampah dilakukan dari sumbernya, yakni rumah tangga. Dia mengklaim telah mengajak masyarakat mengurangi volume sampah yang dihasilkan salah satunya menghindari penggunaan kemasan sekali pakai.
Namun, hal itu belum cukup. Untuk mengelola ribuan ton sampah rumah tangga butuh solusi tepat dan cepat. Contohnya, pembangunan tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) minimal satu desa satu lokasi. Dari total 335 desa dan kelurahan, saat ini baru 116 TPST yang terbangun.
Konsep pengelolaan untuk sampah yang tidak bisa diolah lagi juga belum matang. Masih terjadi tarik ulur sebab ada keinginan membangun pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) dengan melibatkan investor asing. Konsekuensinya, Pemkab Sidoarjo harus membayar untuk sampah yang mereka buang dan hal itu membebani APBD.
Paradigma pembangunan global yang dideklarasikan negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan, program pembangunan harus mampu menangani isu-isu yang sangat mendasar tentang pemenuhan hak asasi dan kebebasan manusia, perdamaian, dan keamanan.
Mengacu pada paradigma pembangunan global tersebut, Pemkab Sidoarjo sebagai representasi negara, idealnya tak hanya berorientasi pada investasi semata melainkan harus membangun kemitraan global untuk beberapa tujuan seperti menanggulangi kemiskinan, meningkatkan derajat kesehatan, menjamin akses atas air dan sanitasi, serta memastikan kelestarian lingkungan.
Baca Setiap Hari, 1.800 Ton Sampah Sidoarjo Cemari Lingkungan