Peningkatan Kualitas Garam Rakyat Terkendala Lahan dan Permodalan
›
Peningkatan Kualitas Garam...
Iklan
Peningkatan Kualitas Garam Rakyat Terkendala Lahan dan Permodalan
Pemerintah berupaya meningkatkan kualitas garam rakyat melalui integrasi lahan. Selain membuat harga kerap anjlok, rendahnya kualitas komoditas tersebut juga menjadikan negeri maritim ini bergantung pada impor garam. Namun, upaya itu masih terkendala modal hingga ketersediaan tanah.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
CIREBON, KOMPAS – Pemerintah berupaya meningkatkan kualitas garam rakyat melalui integrasi lahan. Selain membuat harga kerap anjlok, rendahnya kualitas komoditas tersebut juga menjadikan negeri maritim ini bergantung pada impor garam. Namun, upaya itu masih terkendala modal hingga ketersediaan tanah.
Hal itu terungkap dalam Rapat Koordinasi dan Peninjauan Lapangan bertema “Pembangunan dan Pengembangan Komoditas Pergaraman Nasional” di Cirebon, Jawa Barat, Senin (5/8/2019). Turut hadir dalam pertemuan itu antara lain perwakilan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Pelaksana Tugas Bupati Cirebon Imron Rosyadi, Wakil Wali Kota Cirebon Eti Herawati, serta pejabat dinas kelautan dan perikanan dari Jabar, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat juga datang. Sebelum rapat, rombongan meninjau lahan garam terintegrasi di Desa Bungko Lor, Kecamatan Kapetakan.
Lahan seluas 2 hektar itu menggunakan teknologi tunnel, yakni air laut diproses beberapa kali melalui kolam berlapis terpal dan dilindungi plastik setengah lingkaran. Dari 160 tunnel, terdapat 28 tunnel yang menjadi kolam kristalisasi garam. Dengan begitu, produksi dapat dilakukan meski musim hujan dan pembentukan garam tidak bercampur tanah.
Setelah lebih dari tujuh hari, garam yang putih bersih dan padat dapat dipanen. Kualitas garam itu diklaim memiliki kadar natrium klorida (NaCl) mencapai 97 persen – 98 persen untuk pasar garam industri. Garam itu dapat dijual hingga Rp 2.000 per kilogram. Ini jauh lebih mahal dibandingkan harga garam rakyat di tingkat petani Cirebon yang saat ini di bawah Rp 400 per kg.
Lahan ini juga menghasilkan air distilasi dari embun laut. Caranya, air laut dimasukkan ke kolam yang dikelilingi plastik berbentuk prisma. Saat terkena matahari, air itu menguap dan menghasilkan embun sebelum masuk ke pipa.
“Embun ini diproses untuk jadi air minum,” ujar Heryawan, Sekretaris Kelompok Kristal Laut Nusantara.
Kelompok tersebut bersama PT Anta Tirta Karisma membangun lahan integrasi. Produk lain yang dikembangkan adalah artemia, makanan larva ikan dan udang, yang bisa hidup di air garam dengan suhu tertentu.
Setelah itu, rombongan diajak melihat produksi garam spa di rumah produksi Rama Shinta di Kecamatan Gunung Jati. Garam spa dijual sekitar Rp 60.000 untuk setengah kilogram. “Kami memproduksi dari tambak seluas 20 hektar. Setiap hari, produksi bisa 2,5 kuintal. Omzetnya Rp 30 juta-Rp 60 juta per bulan,” ujar Septi Ariyani, pemilik Rama Shinta.
Kami memproduksi dari tambak seluas 20 hektar. Setiap hari, produksi bisa 2,5 kuintal. Omzetnya Rp 30 juta-Rp 60 juta per bulan
Deputi Koordinator Bidang Sumber Daya Alam dan Jasa Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman Agung Kuswandono mengatakan, melalui kunjungan lapangan itu, pihaknya mengajak pemerintah daerah meningkatkan kualitas garam di daerahnya. Selama ini, kualitas garam rakyat masih di bawah garam konsumsi beryodium, yakni NaCl 94 persen dan garam industri dengan NaCl minimal 97 persen.
“Tahun lalu, produksi garam rakyat hanya 2,2 juta ton, sedangkan kebutuhan garam industri mencapai 4,4 juta ton. Ada sekitar 400 industri yang membutuhkan garam sebagai bahan baku. Akhirnya, kekurangan itu diambil dari impor,” ungkapnya. Adapun realisasi impor 2018 mencapai 2,7 juta ton.
Dengan meningkatkan kualitas garam, lanjutnya, kebutuhan garam industri dapat dipenuhi dalam negeri dan harga jual garam tidak akan anjlok. “Saya enggak bisa bilang kapan Indoensia swasembada garam industri. Yang jelas dalam waktu singkat,” katanya.
Kepala Sub Direktorat Pemanfaatan Air Laut dan Biofarmakologi Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Zaki Mahasin mengatakan, tengah membangun sekitar 1.000 hektar lahan integrasi. Setiap lahan integrasi seluas 15 hektar. Pihaknya juga akan memberikan bantuan geomembran untuk petani yang mengelola lahan integrasi.
Deputi Bidang Teknologi dan Informasi BPPT Listiani Dewi mengatakan, agar dapat meningkatkan kualitas garam, petani harus mengintegrasikan lahannya hingga mencapai 400 hektar, termasuk 305 hektar untuk evaporasi dan pembangunan pabrik “Sehingga, petani nantinya tidak menjual garam kerosok. Harganya pasti mahal,” ujarnya.
Akan tetapi, upaya peningkatan kualitas garam menghadapi berbagai kendala. Plt Bupati Cirebon Imron Rosyadi mengatakan, petani selama ini ingin panen lebih cepat agar mendapatkan modal kembali. Panen yang seharusnya lebih dari 10 hari dipercepat hingga 3-4 hari. Akhirnya, dari 424.000 ton garam produksi tahun lalu, hanya 20 persen yang memenuhi kualitas I.
Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan NTB Lalu Hamdi mengatakan, integrasi lahan terkendala masalah tanah. Di NTB, misalnya, terdapat potensi lahan garam hingga 10.000 ton. “Namun, untuk membuat lahan integrasi 15 hektar saja, susah sekali. Lahan itu dimiliki 30-50 orang,” katanya.