Pertengahan Juli, presiden terpilih hasil Pemilu 2019, Joko Widodo, mengungkapkan, Indonesia harus mengundang investasi seluas-luasnya dalam rangka membuka lapangan pekerjaan sebesar-besarnya. Oleh karena itu, hambatan investasi harus dipangkas, baik perizinan yang lambat, berbelit-belit, apalagi yang ada punglinya.
Di tengah ketidakpastian global, upaya merebut investasi, termasuk pasar ekspor, perlu dilakukan lebih agresif. Ketidakpastian ekonomi dunia dikhawatirkan berlanjut.
Upaya lebih agresif juga harus terus dilakukan karena tren investasi pada 2019 mulai membaik dibandingkan dengan 2018. Di sisi lain, negara-negara ASEAN seperti Vietnam juga agresif meningkatkan investasi dan ekspor.
Sebagai gambaran, nilai realisasi investasi pada Januari-Juni 2019 sebesar Rp 395,6 triliun atau tumbuh 9,4 persen secara tahunan. Pada akhir 2019, realisasi investasi diperkirakan lebih dari 10 persen.
Lalu, apa upaya menarik investasi secara lebih agresif? Jawaban itu sebenarnya sudah diketahui. Yang mendesak adalah implementasi atas jawaban dari pertanyaan tersebut oleh pemangku kepentingan, baik kementerian teknis maupun pemerintah daerah yang berperan besar.
Upaya menarik investasi, misalnya, memangkas regulasi yang tidak perlu dan menyulitkan pelaku usaha atau investor. Hal lain adalah menjamin kepastian hukum, terutama kontrak-kontrak jangka panjang dengan investor, kenyamanan berusaha dengan jaminan keamanan dan stabilitas politik, serta insentif dan kemudahan bagi pelaku usaha atau investor yang memberikan nilai tambah.
Terkait regulasi, misalnya sejumlah pelaku usaha masih mengeluhkan proses perizinan dengan persyaratan yang tidak mudah. Ia mencontohkan, regulasi terkait ketenagakerjaan serta sertifikasi laik fungsi untuk sektor usaha perhotelan dan properti atau sertifikasi halal untuk produk makanan olahan.
Untuk itu, penyederhanaan regulasi atau kemudahan proses pembuatan sertifikasi yang menjadi persyaratan perizinan perlu diatur dengan lebih mudah.
Upaya memangkas dan menyederhanakan regulasi usaha memang tidak hanya terkait investor besar, terutama investor asing, melainkan juga pelaku usaha kecil dan menengah. Seringkali, pelaku usaha kecil dan menengah sulit berkembang, menjadi besar, atau "naik kelas" karena terbentur perizinan yang berbelit-belit dan keterbatasan modal. Sebab, pelaku usaha kecil menengah dengan skala usaha yang tidak besar juga mampu berkontribusi dalam penyerapan tenaga kerja.
Secara sektoral, jenis-jenis investasi yang padat karya dan berbasis usaha pengelolaan sumber daya alam, seperti pertambangan, perikanan, dan perkebunan yang memberi nilai tambah perlu diintensifkan, termasuk investasi pengolahan produk perikanan. Yang tak kalah penting adalah ekonomi digital yang mampu mengembangkan sektor usaha pergudangan, distribusi, dan logistik. Kunci menumbuhkan sektor ekonomi digital ada pada peningkatan kualitas sumber daya manusia. Hal ini bisa dicapai melalui lembaga pendidikan khusus dan vokasi. (Ferry Santoso)