Perubahan Undang-Undang Dasar hendaknya tidak dijadikan prasyarat untuk menentukan komposisi pimpinan MPR. Biarlah undang-undang bicara.
Meskipun dalam desain konstitusi tidak ada lagi istilah lembaga tinggi negara, MPR tetaplah harus ditempatkan sebagai rumah kebangsaan Indonesia. MPR adalah lembaga di mana anggota DPR dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) bermusyawarah untuk menentukan eksistensi bangsa Indonesia ke depan. Di MPR-lah wakil daerah dan wakil partai politik bertemu membicarakan nasib bangsa. MPR tetap punya peran penting sebagai penjaga ideologi (the guardian of ideology) Pancasila serta menjaga kearifan bangsa.
Perdebatan soal perubahan UUD 1945 kembali mengemuka. Agenda itu sudah lama terdengar disuarakan oleh berbagai kelompok masyarakat. Ada yang menghendaki UUD 1945 dikembalikan ke UUD 1945 sebelum perubahan. UUD yang ada sekarang dianggap terlalu liberal. Akan tetapi, ada juga gagasan yang mengusung, perlu ada perubahan kelima untuk menyempurnakan empat perubahan sebelumnya.
MPR memang berhak mengubah UUD. Itu tertera dalam Pasal 37 UUD 1945 dengan segala persyaratannya. Namun, perubahan konstitusi secara sosiologis tetap membutuhkan opini masyarakat. Konstitusi adalah kontrak sosial rakyat dan bukan hanya untuk elite politik anggota MPR. Jika gagasan perubahan UUD 1945 mau didorong, tetap membutuhkan ”persetujuan” rakyat, apanya yang mau diubah dan bagaimana rumusannya dan mengapa itu harus diubah.
Mendorong perubahan UUD 1945 tanpa batasan yang jelas hanya akan kembali menciptakan polarisasi politik di tubuh masyarakat. Pasal-pasal perubahan UUD 1945 terbuka dinegosiasikan dengan pasal lain. Isu perubahan konstitusi bisa menjadi bola liar jika tidak dikelola dengan baik.
Apalagi jika perubahan konstitusi dijadikan syarat untuk penentuan pimpinan MPR. Sebagaimana diberitakan harian ini, Senin 5 Agustus 2019, Wakil Sekjen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Ahmad Basarah mengatakan, jika partai politik lain tak sepakat dengan wacana perubahan UUD 1945, PDI-P akan mengambil alih kursi pimpinan MPR. Pemilihan pimpinan MPR hendaknya dikembalikan sesuai dengan syarat UU Nomor 2 Tahun 2018.
Berbagai upaya untuk musyawarah mufakat harus diupayakan sehingga sebelum Sidang Umum MPR, paket hasil musyawarah sudah bisa disepakati. Pemilihan pimpinan MPR secara voting, meskipun sah secara hukum, tetaplah membuka ruang polarisasi. Sebagai partai pemenang pemilu, PDI-P harus lebih luwes menjalin kebersamaan untuk menentukan formasi pimpinan MPR tanpa harus mensyaratkan perubahan UUD 1945. Keinginan PDI-P dan sejumlah partai lain untuk mengembalikan GBHN dalam konstitusi bisa dibicarakan secara terbuka dengan melibatkan elemen masyarakat. Apakah penilaian tidak adanya kesinambungan pembangunan lima tahunan karena kesalahan konstitusi, pada level undang-undang, atau karena perilaku politik elite itu sendiri?