Sebagai keturunan pembatik complongan Indramayu, Carwati Basuri (42), awalnya tidak punya impian meneruskan batik khas pesisir utara Jawa Barat itu. Tanpa membatik, hidupnya sudah mapan. Hingga suatu ketika, dunia terbalik baginya. Carwati meninggalkan pekerjaannya demi menghidupi batik complongan.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·5 menit baca
Sebagai keturunan pembatik complongan Indramayu, Carwati Basuri (42), tidak punya impian meneruskan batik khas pesisir utara Jawa Barat itu. Tanpa membatik, hidupnya sudah mapan. Suatu ketika, dunia seperti terbalik. Ia meninggalkan pekerjaannya justru demi batik complongan.
Beberapa bulan terakhir, Carwati sibuk blusukan ke pembatik Indramayu untuk mengumpulkan informasi terkait batik complongan. Pemilik toko Senang Hati Batik ini bahkan mendirikan Komunitas Batik Complongan (KBC) Indramayu yang digawangi 20 perajin.
Sederet upaya itu untuk membuat Indikasi Geografis (IG), agar batik complongan secara hukum menjadi produk khas Indramayu. Semuanya demi batik tetap lestari.
Complongan merupakan teknik melubangi kain batik dengan deretan jarum. Alatnya berupa kayu segenggaman tangan yang bagian bawahnya terdapat sekitar 20 jarum. Disebut complongan karena berasal dari kata "complong" dalam bahasa Indramayu yang berarti melubangi.
Teknik ini dilakukan setelah kain ditutup balut lilin dan sebelum diwarnai. Hanya beberapa bagian yang dilubangi sesuai motif dan keinginan pembatik. Hasilnya berupa titik-titik kecil sehingga mempercantik motif kain. Teknik ini sudah diwariskan dari generasi ke generasi pembatik Indramayu.
“Dokumen indikasi grografisnya sudah masuk kementerian di Jakarta,” ucap Carwati sambil menunjukkan surat ke Direktorat Jenderal Industri Kecil Menengah dan Aneka Kementerian Perindustrian, Jumat (2/8/2019).
Kalau ada IG, katanya, batik daerah akan lebih dikenal sehingga nilai jualnya bertambah. Dengan begitu, perajin lebih antusias berkarya. “Saya optimistis menatap masa depan batik Indramayu,” ujarnya.
Puluhan tahun lalu, pernyataan itu tidak mungkin keluar dari mulutnya. Baginya, membatik hanya tanggung jawab mendiang neneknya, Mimi Narmi, dan Sutini (63), ibunya.
Kedua generasi itu sangat menguasai teknik complongan. Tidak jarang orang dari beberapa negara di Eropa datang untuk membeli karya mereka. Lagi pula, ia juga tidak mampu membuat batik tulis sehalus para sesepuh.
“Waktu masih sekolah dasar, 1980-an, saya juga enggak pernah belajar membatik di nenek. Takut merusak. Saya nunut (ikut) ke perajin lain yang produksi batik tulis kasar. Lumayan, dapat uang untuk beli nasi bungkus,” kenangnya.
Meskipun tinggal di Paoman, lingkungan pembatik, Carwati kala itu tidak tertarik dengan batik yang dikerjakan ibu-ibu saat menunggu suaminya melaut. “Warna dan motif batiknya itu-itu saja. Saya fokus sekolah,” ungkap anak nelayan ini.
Bahkan, saat kuliah di Akuntansi Program Ekstensi Universitas Gadja Mada Yogyakarta, Carwati malah jualan kerudung, bukan batik. Setelah sarjana, Carwati memilih kerja di perbankan lalu menjadi akuntan di pabrik konstruksi pembuat tower.
Dunia terbalik
Setelah tiga tahun berkarier, Carwati memilih keluar dari dunia kerja pada 2008. Ia ingin pulang kampung untuk mengurus anak sekaligus menenangkan diri setelah berpisah dengan suaminya. Di tengah kondisi itu, ia dibuat kaget ketika mengecek usaha batik keluarga.
”Kualitas batiknya tidak terjaga. Adik saya hanya menjadi pengepul batik,” kata Carwati yang tidak ingin larut dalam kesedihan setelah bercerai.
Nenek dan ibunya pun berhenti membatik karena tak sekuat dahulu. Begitupun dengan perajin lainnya. Warisan nenek buyut itu terancam punah. Di antara tujuh bersaudara, tidak ada satu pun yang menguasai batik complongan.
“Dunia seperti terbalik. Saya merasa harus menjaga batik complongan dan tinggal di sini. Sementara adik saya harus ke Jakarta, ikut suaminya,” ujarnya.
Carwati pun mulai belajar membatik hingga ke Yogyakarta, kota yang pernah ia tinggali enam tahun tanpa menyentuh batik sekalipun. Anaknya, Zalfa Talita Sakhi, yang baru bisa berjalan ketika itu turut ia bawa mencari ilmu batik. Untuk meneruskan usaha batik keluarga, ia harus merasakan ketelitian dan kesabaran saat membatik.
Ia kembali mengumpulkan sekitar 20 perajin batik complongan yang sebelumnya ikut dengan nenek dan ibunya. Ketika melihat hasilnya, untuk pertama kali, ia jatuh cinta dengan batik complongan.
“Meskipun kehidupan kami sudah berkecukupan, usaha ini harus dilanjutkan. Perajin batik complongan ini aset tidak ternilai harganya. Namun, selama ini tidak diberdayakan. Apalagi, teknik complongan sudah lebih 100 tahun,” tuturnya.
Carwati berinovasi. Saat memasarkan batik, misalnya, ia meninggalkan kebiasaan dahulu, seperti berjualan ke desa-desa dan menitipkan produk ke bakul. Bayarnya, setelah petani panen. Namun, ketika ditagih, bakulnya kerap lambat melunasi utangnya. Akhirnya, kas tidak lancar.
Carwati lebih memilih menjual secara daring tanpa kredit. Tahun 2008-2009, batik memang sedang berada di puncak. Sekitar 70 persen dagangannya laku via daring. Namun, setelah 2012, penjualannya menurun.
Setelah putar otak, Carwati merambah pasar seragam batik. Ia juga memproduksi sarung bantal hingga sajadah dengan teknik complongan. Permintaan sekitar 500 lembar kain batik cap dan tulis pun berdatangan per bulan. Tidak hanya dari Indramayu, pesanan juga berasal dari Jakarta hingga Jepang.
Bahkan, ketika peringatan hari jadi daerah, sekitar 40 perajinnya bisa membuat 1.200 sampai 1.500 lembar kain. Jumlah ini jauh lebih banyak dibandingkan ketika usaha batik dipegang nenek dan ibunya, yakni 300 – 500 lembar kain per bulan.
Carwati berkontribusi dalam pengembangan complongan pada batik cap. Sebelumnya, complongan hanya digunakan untuk batik tulis. Dengan complongan, ia ingin menghapus anggapan “batik cap itu murah”.
“Sekitar 80 persen batik kami menggunakan teknik complongan sehingga ada tambahan waktu dan biaya sekitar Rp 30.000 – Rp 50.000 per lembar. Itu sebabnya, tidak semua perajin pakai complongan,” paparnya.
Ia juga menginisiasi lomba membatik bagi siswa sekolah dasar dalam peringatan Hari Jadi Indramayu tahun 2018. “Ini cara kami mencari ‘bibit’ perajin. Ada belasan anak yang ikut dan beberapa punya goresan yang bagus,” katanya.
Kini, semua menuai hasil. Pilihannya kembali ke kampung halaman tidak salah. Selain menjaga batik complongan, ia kembali menemukan jodohnya, H Suwenda (52). Kini, Carwati hanya ingin batik complongan lestari dan semakin dikenal se-Indonesia bahkan luar negeri.
Nanang Ganda Prawira dalam bukunya “Budaya Batik Dermayon” (2018), mengibaratkan Carwati seperti motif kembang teluki dalam batik Indramayu. Motif ini melambangkan kekuatan yang menyokong keindahan perempuan. “Kekuatan untuk berdiri sendiri, misalnya, dimiliki Carwati” tulisnya.
Carwati Basuri
Lahir: Indramayu, 23 November 1976
Pendidikan: S1 Akuntansi Program Ekstensi UGM (2003)