Mahasiswa Universitas Brawijaya Malang punya wadah untuk berbagi bagi anak-anak sekolah di desa. Dari gagasan seorang dosen, Komunitas Bantur Nuwun terus eksis melibatkan mahasiswa untuk mengajar secara informal di sekolah yang berlokasi di Desa Sumber Bening, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang, Jawa Timur, sejak 2010.
Setidaknya satu hingga dua bulan sekali, anggota dan relawan Komunitas Bantur Nuwun mengunjungi SDN 1 Sumber Bening. Menempuh perjalanan sekitar 1,5 jam dengan kendaraan bermotor dari kampus dilakoni karena dorongan untuk berbagi pengajaran yang menyenangkan bagi para siswa.
“Tidak mudah untuk mencocokan jadwal para relawan. Kini, yang terlibat bukan hanya mahasiswa Psikologi, tapi juga FISIP. Kami usahakan 1-2 bulan sekali ada kegiatan mengajar ke sekolah,”kata Mutiara Dinny, salah satu Koordinator komunitas Bantur Nuwun tahun 2016, jurusan Psikologi, di Universitas Brawijaya, Malang.
Komunitas Bantur Nuwun awalnya bernama Latar Alit yang digagas dosen jurusan Psikologi, Universitas Brawijaya, Intan Rahmawati, pada tahun 2010. Dengan bimbingannya, Intan mengajak sekitar 15 mahasiswa Psikologi untuk ikut bergabung dalam komunitas ini, yang kegiatan utamanya memberikan pengajaran secara informal kepada murid-murid di Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang, tepatnya di Desa Sumber Bening.
Salah satu mahasiswa yang jadi anggota, Dito, mengenal tokoh masyarakat di desa tersebut. Diketahuilah permasalahan pendidikan yang butuh bantuan untuk diselesaikan. Perkembangan teknologi infotmasi dan komunikasi membuat banyak siswa yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) sudah kecanduan game PlayStation. Para orangtua resah karena anak-anak mereka lebih memilih untuk bermain game dibandingkan dengan belajar atau membaca buku. Selain itu, jumlah guru di sekolah tersebut kurang.
Kegiatan masuk kelas dengan mengajak para siswa berkegiatan secara kreatif dan bermusik, awalnya bisa dilakukan seminggu sekali. Terkadang, mahasiswa bermalam di desa. Keberadaan mahasiswa di desa membuat kepercayaan masyarakat tumbuh. Komunitas ini diizinkan untuk memperbaiki ulang perpustakaan belajar untuk para siswa-siswi di Desa Sumber Bening tersebut.
Sempat terhenti
Sayangnya kegiatan Komunitas Latar Alit terhenti di tahun 2013. Dosen yang menginisiasi komunitas fokus kuliah S3 di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, sedangkan anggota komunitas sudah lulus dari Universitas Brawijaya (UB) meninggalkan Malang.
Kegiatan mengajar siswa SD oleh mahasiswa UB kembali digiatkan ketika sang dosen aktif kembali mengajar. Ada dua mahasiswa jurusan Psikologi yakni Bian Muda dan Mas Bima yang bertekad menghidupkan kembali aktivitas mahasiswa berbagi ke sekolah. Di pertengahan tahun 2017, Komunitas Latar Alit diganti menjadi Bantur Nuwun. Nama Bantur Nuwun mempunyai arti yaitu terima kasih, yakni dari kata ‘matur’ yang di ganti menjadi ‘bantur’ yang berarti terima.
Makna terima yang dimaksud yakni anggota komunitas menerima hal-hal penting dari dari Desa Bantur, seperti pengalaman hidup, lifestyle, budaya, dan karakter masing-masing orang di sana. “Jadi nama ini berarti apa yang telah kita terima dari warga desa tersebut, berupa nilai-nilai kehidupan dan biasanya jadi mengerti karakter dari anak-anak SD tersebut,” ujar Mutiara.
Perubahan nama komunitas juga membawa pada perubahan lain. Keanggotaan yang awalnya berbasis mahasiswa Psikologi UB di bawah FISIP, kemudian membuka untuk volunteer dari jurusan lain yang ingin bergabung dan membantu jalannya kegiatan. Partisipan volunteer diperkirakan 30 orang dari berbagai jurusan di FISIP yang bergabung dalam segala kegiatan Bantur Nuwun ini, namun yang menjadi anggota tim inti hanya delapan orang.
Komunitas Batur Nuwun juga mulai meluaskan jejaring dengan menggandeng unit kegiatan mahasiswa yang ada di UB. Di tahun lalu, misalnya, Batur Nuwun berkolaborasi dengan Homeband FISIP UB. Kolaborasi ini melahirkan kegiatan mengajar di sekolah dengan konsep acara memperkenalkan dan mempraktikan alat musik serta mempelajari lagu-lagu daerah.
Para anggota Homeband yang ikut mengajar ke SDN 1 Sumber Bening membawa beragam alat musik seperti cajon (perkusi/dipukul), gitar, dan ukulele. Ada pula yang mengajari vokal.
Kegiatan bermusik diikuti siswa kelas 4,5, dan 6 yang tiap kelas diajar 3-4 anggota komunitas. Setiap kelas diajari menyanyikan lagu-lagu daerah yang benar serta koreografi yang dapat menggambarkan lirik tersebut. Kemudian, setelah pengajaran selesai siswa-siswi SDN 1 Sumber Bening ini di bagi menjadi 3 kelompok dan di bimbing bersama 2 hingga 3 kakak-kakak dari anggota komunitas dan Homeband FISIP.
Gamesnya adalah masing-masing kelompok membuat koreografi seunik mungkin beserta lagu daerah apapun dan tidak ada ketentuan. Mereka sangat antusias untuk berpartisipasi dalam games tersebut karena games ini disertai dengan hadiah-hadiah berupa makanan yang di sukai oleh anak-anak.
“Ketika anggota komunitas Bantur berkolaborasi dengan Homband FISIP UB, saya merasa bisa memperluas link komunitas sih, jadi memberikan kesempatan ke orang banyak untuk ikut kegiatan kita, dan juga sekalian memperkenalkan Bantur Nuwun ini ke orang-orang,” ujar Mutiara.
Sementara Naufal Fathanah, mahasiswa jurusan Psikologimenagku senang dapat mengajarkan dan memperkenalkan macam-macam alat musik di Indonesia. “Saya merasa senang bisa bertemu anak-anak SD dan mengajarkan lagu tradisional kepada mereka. Saya menyadari bahwa sebagai mahasiswa saya harus mampu memberikan hal yang positif dan pengaruh yang baik terhadap generasi jaman sekarang,” ujar Naufal. (*)