JAKARTA, KOMPAS—Indonesia pernah menjadi jembatan penghubung negara-negara di Asia dengan benua Afrika melalui Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955, 2005, dan 2015. Akan tetapi, dari aspek selain politik seolah tidak ada hubungan yang terjalin. Oleh sebab itu, Festival Literasi Internasional Jakarta ingin membuka pagar penyekat kesusateraan antara dua benua itu.
"Masyarakat Indonesia nyaris tidak tahu mengenai benua Afrika, kecuali mungkin berkembangnya wabah Ebola. Perlu ruang pertemuan untuk saling mengenal dan berbagai kekayaan budaya," kata penulis Linda Christanty dalam peluncuran Festival Literasi Internasional Jakarta (JILF) di Jakarta, Senin (5/8/2019).
JILF akan dilaksanakan pada tanggal 20-24 Agustus. Akan tetapi, kegiatan pra festival sudah berlangsung sejak bulan April berupa laboratorium ekosistem sastra. Total ada 60 penulis yang hadir. Mereka berasal dari 15 negara, antara lain Bostwana, Siprus, Mauritus, India, dan Turki. Mereka, termasuk Indonesia, adalah negara Selatan, yaitu negara yang merupakan bekas jajahan Eropa.
Penulis asal Palestina Adania Shibli menjadi pemateri utama dalam simposium sastra. Linda mengatakan, Shibli pernah mengutarakan bahwa orang-orang Palestina terbiasa dalam keheningan, baik secara harfiah maupun kiasan.
"Menarik untuk mengetahui jenis sastra yang lahir dari keheningan ini," tutur Linda. Hal itu akan membuka mata masyarakat bahwa Palestina lebih dari sekadar negara yang dikoyak perang seperti pemberitaan di media massa.
Pagar
Ketua Panitia JILF Yusi Avianto Pareanom menjelaskan, tema untuk JILF pertama ini adalah "Pagar: Menafsir (Kembali) Batas". Menurut dia, pagar memang melindungi rumah dari keliaran dunia luar. Akan tetapi, ada saat pagar harus dibuka guna mempersilakan tamu masuk.
Pagar memang melindungi rumah dari keliaran dunia luar. Akan tetapi, ada saat pagar harus dibuka guna mempersilakan tamu masuk.
Oleh sebab itu, rangkaian acaranya tidak hanya melibatkan para penulis nasional Indonesia, tetapi juga pelaku sastra lokal. Mereka mengadakan diskusi, loka karya, hingga pameran kuliner. Format sastra yang ditampilkan juga bermacam-macam seperti novel, cerpen, dan puisi.
Kurator JILF Isyana Artharini memaparkan, simposium bertujuan membahas berbagai masalah dunia sastra di negara-negara Selatan dan mencari jalan keluar guna mempermudah akses distribusi buku melintasi batas geografis. Di dalamnya juga ada pasar hak cipta buku untuk jual-beli manuskrip para penulis agar bisa diterbitkan di negara pembeli, termasuk Indonesia.
Promosi negara
Pelaksana Tugas Ketua Dewan Kesenian Jakarta Danton Sihombing menjelaskan, JILF bertujuan mempromosikan Indonesia, terutama Jakarta sebagai sentra literasi global. Selama ini, Indonesia sudah dikelas dengan berbagai festival literasi di Ubud (Bali) dan Yogyakarta.
Namun, hal ini dinilai belum cukup menempatkan Indonesia pada peta kesastraan dunia. Ketika orang dari mancanegara ditanya mengenai Indonesia, mereka umumnya tidak mengenal karya sastra maupun film nasional. Padahal, Indonesia memiliki banyak penulis yang karyanya potensial untuk mendunia.
Di sisi lain, masyarakat pecinta sastra di Indonesia juga masih cenderung berkiblat kepada karya-karya dari barat yang memang jumlahnya banyak, promosi gencar, dan mudah diakses di toko-toko buku.
"Jakarta dari segi kota memiliki keunikan tersendiri dan juga sudah memiliki berbagai festival budaya berkelas internasional seperti Jakarta Biennale. Adanya JILF menguatkan Jakarta sebagai pusat sastra bumi Selatan," ujarnya.
Sementara Ketua Komite Buku Nasional Laura Bangun Prinsloo mengatakan, Indonesia sangat aktif mengikuti berbagai pameran buku di luar negeri. Ada sekitar 1.500 judul buku Indonesia yang hak ciptanya dibeli oleh berbagai penerbit mancanegara agar bisa diterbitkan ke berbagai bahasa.