Mencecap Kenikmatan dalam Semangkuk Blendrang
Blendrang menjadi kuliner pas mengusir dingin. Bubur tulang ini dikenal gurih dan kaya rempah. Semangkuk blendrang bisa mendatangkan kehangatan di seluruh badan.
Blendrang menjadi kuliner pas mengusir dingin. Bubur tulang ini dikenal gurih dan kaya rempah. Semangkuk blendrang bisa mendatangkan kehangatan di seluruh badan.
Blendrang adalah makanan khas dari Desa Gunungpring, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Blendrang semacam bubur kaldu kental, yang terbuat campuran tepung terigu, berbumbu bawang merah, bawang putih, kencur, jahe, cabai, gula, dan garam. Semua bahan tersebut berpadu dengan bahan utama, yaitu tulang ayam ataupun kambing.
Kepada setiap konsumen, blendrang disajikan hangat dalam mangkuk. Dalam tampilannya, masakan ini berupa bubur halus dengan tulang serta iga. Konsumen biasa mencicipi bubur dan menggigit daging yang melekat pada tulang untuk menambah serunya sensasi makan blendrang.
Bagi penikmat blendrang dari tulang kambing, kenikmatan rasa tersebut kian dalam dengan menyesap hingga ke bagian sumsum. Sensasi menikmati sumsum inilah yang menjadi bagian utama dari kenikmatan menyantap blendrang. Rasanya seolah tak tergantikan.
Darmiyati (27), pengelola warung Blendrang Stand di Dusun Gatak Karaharjan di Desa Gunungpring, mengatakan, tulang adalah bagian penting dari blendrang. ”Kami pernah mengganti tulang dengan potongan daging ayam dan kambing, tetapi pelanggan justru mengaku tidak suka,” ujarnya.
Setiap hari, warung ini memakai bahan baku 20 kilogram (kg) tulang ayam dan khusus pada hari Sabtu juga akan menambah menu blendrang tulang kambing dengan menggunakan bahan baku 4-5 kg tulang.
Blendrang tulang ayam menjadi menu favorit di warung blendrang Bu Sri di Dusun Bintaro. Jika pemakaian tulang kambing di warung tersebut hanya mencapai 8-10 kg per hari, pemakaian bahan baku tulang ayam bisa mencapai 15 kg per per hari.
”Untuk mendapatkan 15 kg tulang ayam, saya terkadang harus berkeliling membeli lebih dari dua pedagang daging ayam,” ujarnya.
Awal mula blendrang
Sriningsih adalah generasi ketiga yang menjalankan warung blendrang di Dusun Bintaro. Menurut dia, warung yang dirintis oleh neneknya tersebut adalah warung blendrang tertua yang ada di desa itu. Sejak dahulu makanan ini disukai karena menjadi makanan penghangat badan.
Dahulu, pada masa neneknya, bahan baku yang dipakai untuk blendrang adalah tahu dan tempe yang dipotong kecil-kecil. Pemakaian bahan baku tulang baru dimulai oleh dirinya sejak menjalankan warung tersebut sekitar 18 tahun lalu.
Ide memakai tulang, menurut dia, muncul karena dia mengetahui tulang menjadi bahan tidak terpakai yang sering kali dibagikan gratis kepada buruh yang ada di pasar ataupun dijual dengan harga yang sangat murah.
”Ketika saya mulai memakai bahan baku tulang, ketika itu, harga pasaran tulang kurang dari Rp 1.000 per kg,” ujarnya.
Ternyata, ide masakan ini pun disukai oleh para pelanggan. Banyak warga lainnya ikut membuka warung blendrang dengan mengikuti resep dari Sriningsih. Kini masakan blendrang pun identik dengan kaldu kental bertulang.
Sebagai penerus warung blendrang, Sriningsih juga tidak mengetahui kenapa masakan tersebut diberi nama blendrang. Dia tidak mengetahui kata tersebut berasal dari singkatan atau memiliki makna tertentu.
”Sejak kecil, saya tidak tahu dan tidak pernah bertanya. Saya hanya terbiasa membantu memasak dan menyantapnya saja,” ujarnya sembari tersenyum.
Asal muasal nama blendrang memang menjadi ”misteri” yang tidak diketahui oleh banyak pelanggan dan para penjajanya. Kendati demikian, keunikan nama ini justru memancing sebagian orang untuk datang mencicipi.
Wawan (33), salah seorang warga Desa Tanjung, Kecamatan Muntilan, misalnya, baru mengetahui adanya masakan blendrang, berikut warung yang menjajakan, saat dirinya kebetulan menambal ban sepeda motornya di sebelah warung Blendrang Stand.
”Waktu itu, saya bertanya kepada pemilik usaha tambal ban, blendrang itu apa? Dari penjelasan yang saya terima, saya baru tahu kalau blendrang itu nama masakan,” ujarnya sembari tertawa.
Saat Wawan berhenti di tambal ban, warung Blendrang Stand tutup. Namun, karena didorong oleh rasa penasarannya, Wawan kemudian datang kembali keesokan harinya untuk mencicip masakan tersebut.
Setelah mencoba, dia mengaku menyukai cita rasa yang ditawarkan, berikut menikmati betul sensasi menyesap tulang. Dia pun memastikan akan kembali datang untuk kembali mencicip blendrang.
Blendrang pun juga memiliki pelanggan lama. Leli (22), warga Desa Mendut, Kecamatan Mungkid, mengaku, pertama kali mencicip blendrang sejak dirinya masuk SMA. Ketika itu, dia diajak temannya yang bertempat tinggal di Desa Gunungpring. Menyukai cita rasa masakan tersebut, Leli pun akhirnya kerap membeli blendrang bersama teman-teman sekolahnya.
”Kami sering beramai-ramai memesan sehingga satu kali pesan kami bisa membeli 30-50 bungkus blendrang,” ujarnya. Karena memesan dalam jumlah besar, pemilik warung Blendrang Stand pun tidak keberatan untuk mengantarkan pesanan ke sekolah Leli di Kecamatan Mungkid.
Kami sering beramai-ramai memesan sehingga satu kali pesan kami bisa membeli 30-50 bungkus blendrang.
Romadhon (50), suami Sriningsih, mengatakan, pihaknya pun juga sering beberapa kali menerima pesanan satu panci blendrang, di mana satu panci biasanya bisa menjadi ratusan porsi. Tidak hanya dari sekitar Kecamatan Muntilan, pesanan tersebut juga sering kali diterimanya dari Yogyakarta dan Solo.
Racikan tersendiri
Di Desa Gunungpring kini terdapat lebih dari dua warung penjaja blendrang. Sekalipun terdiri dari paduan bumbu yang sama seperti cabai, bawang putih, bawang merah, tepung, kencur, dan jahe, tiap pedagang pun meraciknya dengan cara berbeda sehingga masing-masing masakan memiliki karakteristiknya sendiri.
Jika warung Blendrang Stand memakai tepung beras, Sriningsih memakai tepung terigu karena tepung ini dinilai memberikan tekstur rasa lebih halus.
Setiap memasak, Sriningsih tidak memiliki takaran tertentu untuk bumbu. Semua bahan dimasukkan dan dicampurkan dalam ukuran kuantitas sesuai dengan kebiasaan dan pertimbangan perasaan saja. Semua dibuat hanya dengan mempertimbangkan bahwa blendrang harus bercita rasa pedas dan hangat.
”Blendrang tidak akan nikmat disantap kalau cita rasanya hanya gurih belaka,” ujarnya.
Adapun di Warung Blendrang Stand, tetap dibuat dua versi, yaitu blendrang gurih dan pedas. Namun, jangan sepele dengan pilihan pedas karena cita rasa yang disuguhkan memang menggugah keringat, dan menimbulkan desahan panjang, hahhhhh….
Blendrang tidak akan nikmat disantap kalau cita rasanya hanya gurih belaka.
Kehangatan, baik dari jahe maupun rasa pedas cabai, pada akhirnya memberikan memori rasa yang sulit dihapus karena memberikan sensasi rasanya untuk keseluruhan tubuh hingga ke tulang. Dan begitulah yang terjadi. Blendrang menawarkan kehangatan dari tulang untuk tulang.
Baca juga: Menikmati Keberagaman Rasa di Festival Kuliner Singapura