Tahu Petis dan Misteri Gedoran di Kampung Mandar
”Braakk…. Brakk… brakk….” Misteri suara gedoran pintu tengah malam meresahkan warga di Kelurahan Mandar dan Lateng, Kabupaten Banyuwangi. Gedoran tersebut muncul tiap malam di beberapa rumah warga, dua pekan terakhir. Pelakunya misterius.
”Braakk…. Brakk… brakk….”
Misteri suara gedoran pintu tengah malam meresahkan warga di Kelurahan Mandar dan Lateng, Kabupaten Banyuwangi. Gedoran tersebut muncul tiap malam di beberapa rumah warga, dua pekan terakhir. Pelakunya misterius.
Mandar dan Lateng berada di pesisir pantai timur Banyuwangi. Lokasinya juga tak jauh dari Pelabuhan Boom yang sedang berbenah sebelum dijadikan sebagai salah satu pendaratan kapal-kapal yatch jika ingin membawa wisatawan berpelesiran ke Banyuwangi. Warganya mayoritas nelayan.
Dalam semalam ada tiga hingga lima rumah yang mendapat gedoran misterius. Gedoran tersebut biasa terjadi di atas jam 18.00 hingga lewat tengah malam pada pukul 02.00.
Aksi gedor-gedor tersebut dilakukan tanpa motif yang tidak jelas. Pelaku hanya menggedor lalu hilang tanpa mengancam atau mencuri. Setiap kali warga membuka pintu tak terlihat siapa pun di depan pintu. Pun saat dikejar keluar, yang ada hanya kegelapan dan kesenyapan.
Gedoran tersebut dilakukan acak, tanpa pola. Ada rumah warga yang belum pernah digedor. Namun, ada pula satu rumah yang dalam dua hari berturut digedor.
”Rumah saya digedor dua kali berturut-turut. Kejadiannya selalu sekitar pukul 02.00. Hari pertama yang digedor jendela, hari kedua yang digedor tembok (gedek berbahan bambu) samping,” ujar Fitria (29).
Saat kejadian, Fitria hanya tinggal bersama putra tunggalnya. Pada malam pertama, ia sempat membuka gorden seusai mendengar gedoran tersebut. Namun, ia tak melihat siapa pun. Pada malam kedua, saat ada gedoran, Fitria justru menarik anaknya dan lari ke belakang rumah karena takut.
Warga yang resah akhirnya memilih berjaga di depan rumah. Mereka pun menggelar tikar di halaman rumah lengkap dengan bantal dan guling lantas tidur di luar rumah.
”Nanti aja kalau sudah pukul 02.00 baru masuk rumah. Takut kalau tidur, terus digedor,” ujar Wartini (63) yang malam itu tidur bersama cucunya di teras rumah.
Berbeda dengan Slamet (62). Ia justru berlari keluar rumah dengan membawa pedang seusai rumahnya jadi sasaran penggedoran karena geram. ”Saya bawa pedang karena saya tidak mau mati konyol,” tuturnya.
Seusai menggedor, pelaku hilang begitu saja. Padahal, gang-gang di kampung tersebut cukup sempit. Lebarnya tak lebih dari dua meter. Jika ada sepeda motor berpapasan, salah satu sepeda motor bahkan harus berhenti terlebih dahulu.
Lebar gang sempit masih kerap berkurang jika ada sepeda motor yang diparkir atau bila ada warga yang berkerumun. Namun, pelaku mampu berlari secepat kilat dan hilang di antara gang-gang sempit tersebut.
”Tadi saya sempat lihat. Larinya cepat banget. Saya cuma lihat seperti bayangan hitam besar. Saya heran di gang sempit masih bisa lari secepet itu. Mak Bet…langsung hilang di antara rumah-rumah,” ungkap Rahmat, salah seorang warga Kampung Mandar.
Tadi saya sempat lihat. Larinya cepat banget. Saya cuma lihat seperti bayangan hitam besar. Saya heran di gang sempit masih bisa lari secepet itu. Mak Bet… langsung hilang di antara rumah-rumah.
Bukan Pencuri
Penggedoran itu tak identik dengan pencurian atau perampokan. Kedua kelurahan itu dikenal aman. Bahkan, lokasi kampung hanya satu kilometer dari Rumah Dinas Bupati, Kepala Polres, Kepala Komandan Kodim yang dijaga 24 jam, serta Markas Markas Komando Distrik Militer (Kodim) 0825 Banyuwangi.
Warga yang mayoritas bekerja sebagai nelayan biasa memarkir sepeda motor di teras rumah tanpa takut hilang. Begitu pula, sepatu, sandal, dan jemuran. ”Kalau mau mencuri, tentu sangat mudah. Tapi hingga sekarang tidak ada laporan kehilangan. Warga hanya melapor rumahnya digedor,” ujar Ahmad Yani (45), Ketua RT 002 Lingkungan Kerobokan, Kelurahan Mandar.
Warga tentu penasaran dan berhasrat untuk menangkap pelaku hidup ataupun mati. Kini warga Mandar dan Lateng selalu menggelar ronda tiap malam. Muncul rasa saling curiga. Terlebih jika ada orang asing yang berkeliaran di kampung tersebut seorang diri.
Jumat (26/7), Kompas yang mengunjungi lokasi diperingatkan untuk tidak datang sendirian. Kompas bahkan harus memarkirkan kendaraan di jalan besar lalu dijemput oleh seorang teman wartawan yang tinggal di lingkungan tersebut.
Bila bertamu ke sana, jangan sekali-kali mengetuk pintu. Bisa-bisa tuan rumah tidak menyambut Anda dengan tangan terbuka, tetapi justru dengan ketakutan atau bahkan amarah karena sang tamu dituduh pelaku penggedoran misterius.
”Saiki nek meh nang omahku, awakmu WA opo telepon aku sek, Jon. Nek awakmu dodog-dodog, iso-iso malah tak antemi (Sekarang kamu kalau ingin ke rumahku WA atau telepon dulu, Jon. Kalau kamu ketuk pintu, bisa-bisa aku pukuli),” ujar Alfiyan salah seorang wartawan kepada Kompas. Malam itu, Kompas menemani Alfiyan dan beberapa rekan di kampungnya berjaga.
Suasana Mandar dan Lateng memang mencekam. Di gang-gang sempit, warga berkumpul dalam beberapa kelompok. Di tangan mereka tergenggam aneka benda yang bisa digunakan untuk menyerang sekaligus sebagai alat pertahanan diri. Di antaranya, balok kayu, senjata tajam, bahkan buntut ikan pari yang telah dikeringkan.
Buntut ikan pari itu panjangnya lebih dari 1 meter. Bagian tubuh ikan yang beracun itu cukup lentur kendati memiliki lapisan yang keras dan sedikit berduri tajam. Bila terkena sabetan buntut pari, minimal luka gores yang panjang dan dalam akan membekas. ”Ini (buntut ikan pari) sekali sabet langsung ga bisa kentut (mati),” ujar Ahmad Yani.
Di Lateng, warga tidak hanya membawa benda tajam dan tumpul. Mereka juga membawa batang pohon kelor yang masih menyisakan daun-daunnya. Konon daun kelor mampu membuat kesaktian seseorang hilang.
Ilmu hitam
Sebagian warga percaya, pelaku penggedoran bukanlah orang biasa. Pelaku diduga memiliki ilmu. Daun kelor diharapkan membuat ilmu itu hilang sehingga pelaku tak berdaya.
”Ada warga yang yang melihat pelaku lari di atas genteng. Anehnya, dia lari tanpa ada suaranya. Kalau orang biasa pasti mudah tertangkaplah. Ini gang sempit, banyak orang berjaga, masih aja tidak tertangkap. Pasti pakai ilmu!” ujar Fikri, salah satu warga Lateng.
Sebagian warga yakin, pelaku memang memiliki ilmu tertentu. Menurut mereka, teror ini berhubungan dengan motif pelaku melakukan tindakannya. Aksi gedor pintu merupakan bagian dari tahap akhir dari belajar ilmu menghilangkan diri.
Salah satu ilmu menghilangkan diri yang terkenal ialah Ajian Halimun. Konon ajian ini dikuasai juga oleh Prabu Siliwangi, Prabu Angling Darmo, dan Presiden Soekarno. Berkat ajian tersebut, orang dapat menghilangkan dari pandangan mata manusia dalam sekejap tanpa ada yang melihatnya.
Selain dugaan orang yang menguji ilmu menghilangkan diri, dugaan lain yang muncul ialah kehadiran ninja yang dulu juga pernah meresahkan Banyuwangi pada 1998. Kala itu, beberapa orang yang dituduh sebagai dukun santet, ahli pengobatan alternatif, bahkan beberapa guru ngaji tewas secara misterius.
Kasus itu muncul seiring dengan kemunculan beberapa sosok mirip ninja dengan pakaian serba hitam dan tertutup. Konon ninja itu mampu loncat dari satu atap rumah ke rumah lainya tanpa suara dan hilang begitu saja di tengah malam.
Dosen Ilmu Politik Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, Sunarlan, menilai, terlalu berlebihan jika kasus penggedoran misterius disamakan dengan kasus Ninja pada 2018. Menurut Sunarlan, perlu kajian mendalam jika ingin menjustifikasi kedua kasus tersebut sebagai kedua hal yang serupa.
”Terlalu dini menyamakan kasus ini dengan kasus ninja. Kasus Ninja 1998 terjadi karena ada hubungannya dengan konstelasi politik lokal dan nasional. Saat itu, kejadian di Banyuwangi nyaris bersamaan dengan peristiwa kerusuhan di Sampit dan Ambon,” ujarnya.
Baca juga: Drama Pembantaian Dukun Santet di Kabupaten Banyuwangi
Sunarlan mengatakan, saat itu kondisi politik Banyuwangi sedang diwarnai rencana penyerahan tampuk kekuasaan dari Bupati Purnomo Sidi ke Imam Utomo. Saat ini, kondisi serupa juga terjadi di Banyuwangi. Masa Jabatan Bupati Abdullah Azwar Anas kurang dari dua tahun.
Mungkinkah kegaduhan ini juga di desain menjelang Pemilihan Bupati Banyuwangi? Sunarlan tidak terlalu yakin dengan hal itu. Menurut dia, pemilihan bupati saat ini sudah cukup demokratis. ”Demi kepentingan politik apa yang memerlukan teror seperti itu?” ujarnya.
Demi kepentingan politik apa yang memerlukan teror seperti itu?
Menghadapi situasi ini, Sunarlan mengatakan, masyarakat tetap harus mengantisipasi. Jadikan peristiwa ini untuk kembali membangkitkan nilai-nilai gotong royong. Salah satunya dengan melakukan ronda.
Tahu petis
Benar yang dikatakan Sunarlan. Tanpa ada instruksi, nilai gotong royong muncul secara otomatis dalam kondisi saat ini di Lateng dan Mandar. Setiap malam masyarakat kembali giat meronda.
Saat para pria berjaga, ibu-ibu di dapur juga bekerja keras menyediakan kopi dan makanan. Siapa yang ikut ronda tak perlu khawatir bingung mencari kopi atau kelaparan. Anda akan dengan sangat mudah menemukan di setiap ada sekumpulan orang.
Tahu petis menjadi salah satu hidangan wajib. Maklum, Mandar merupakan daerah yang khas dengan kuliner tahu petis. Tahu petis Mandar berbeda dengan tahu petis pada umumnya.
Pak Mamad, salah satu penjual tahu petis, menuturkan, petis Mandar merupakan jenis petis Madura. Petis Mandar cokelat terang seperti bumbu kacang, berbeda dengan petis Surabaya yang berwarna hitam.
”Petis yang biasa ditemukan di Surabaya terbuat dari udang, sedangkan petis Mandar dibuat dari pindang. Petis Mandar lebih encer dan biasa disajikan dengan irisan cabai yang diulek dengan sedikit gula,” ujar Pak Mamad.
Makanan kuliner khas ini biasa dijual seporsi 15 potong dengan harga Rp 5.000 hingga Rp 7.000. Di Mandar sedikitnya ada 20 warung yang menjajakan makanan serupa. Setiap malam warung-warung tahu petis penuh dengan pembeli.
Namun, sejak ada kasus penggedoran, kini siapa saja yang ingin menikmati tahu petis Mandar bisa menikmatinya dengan gratis. Hanya perlu ikut berjaga, seprosi tahu petis mandar akan tersaji di depan Anda.
”Waduh, sudah banyak saya nggoreng-nya. Sudah tidak terhitung. Saya tidak merasa rugi meskipun harus menyuguhkan kepada bapak-bapak yang ronda secara gratis. Asalkan kampung saya aman, mau digorengkan tahu petis berapa pun saya siap,” ujar Hartini, salah satu ibu rumah tangga yang sedari tadi mondar-mandir membawa tahu hangat ke hadapan warga yang berjaga.
Saya tidak merasa rugi meskipun harus menyuguhkan kepada bapak-bapak yang ronda secara gratis. Asalkan kampung saya aman, mau digorengkan tahu petis berapa pun saya siap.
Kepala Polsek Kota Banyuwangi Ajun Komisari Ali Masduki mengatakan, pihaknya sampai saat ini masih menyelidiki siapa pelaku dan motif penggedoran mistrius tersebut. Informasi pasti soal ciri-ciri pelaku belum didapatkan.
”Kami terus berupaya. Kami mohon warga untuk bersabar dan tetap tenang. Mari kita sama-sama berjaga, tetapi tidak perlu pakai senjata tajam. Kalau suatu ketika tertangkap, tidak usah main hakim. Serahkan kepada kami,” ujar Ali.
Benar kata Ali, warga memang tidak perlu berjaga sambil membawa senjata. Cukup dengan tahu petis Mandar, kampung akan aman. Berkat tahu petis Mandar, mata yang mengantuk kembali berbinar-binar dan siap untuk berjaga semalam suntuk.
Anda ingin mencicipi kuliner legendaris tahu petis Mandar secara gratis? Mari berjaga bersama warga Lateng dan Mandar….
https://youtu.be/XXtJ2e1QEmchttps://youtu.be/P7X2ZwMV89ohttps://youtu.be/qRK5qqH4IPUhttps://youtu.be/GUOT3D0MNIo