Pengenalan serta pendidikan pola hidup sehat dengan mengonsumsi makanan berimbang penting dimulai sejak usia dini. Perilaku hidup dan pola konsumsi yang sehat dapat mengurangi risiko persoalan gizi, mulai dari kekurangan gizi maupun malnutrisi.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·3 menit baca
NUSA DUA, KOMPAS – Pengenalan serta pendidikan pola hidup sehat dengan mengonsumsi makanan berimbang penting dimulai sejak usia dini. Perilaku hidup dan pola konsumsi yang sehat dapat mengurangi risiko persoalan gizi, mulai dari kekurangan gizi maupun malnutrisi.
Demikianlah benang merah pendapat Direktur Institute for International Programs Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health, Amerika Serikat Robert L Black, Presiden Direktur PT Nestle Indonesia Dharnesh Gordhon, dan Senior Health Specialist World Bank Jakarta Elvina Karyadi dalam sesi pleno bertema “Nutrition Challenges and The Role of Food Industry in Addressing the Challenges”. Pleno itu digelar dalam kerangka Asian Congress of Nutrition 2019 di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, Selasa (6/8/2019).
Adapun Asian Congress of Nutrition 2019 di Nusa Dua, Bali, mengangkat tema “Nutrisi dan Inovasi Makanan untuk Kesejahteraan Berkelanjutan (Nutrition and Food Innovation for Sustained Well-being)”.
Dalam paparannya di seminar, Robert menyebutkan, banyak negara di dunia menghadapi masalah kesehatan terkait kekurangan gizi misalnya, anemia, stunting atau tubuh pendek akibat kurang gizi kronis (tengkes), berat badan berlebih, hingga diabetes. Dia menyebutkan, sejumlah negara mengalami masalah kesehatan akibat beban ganda malnutrisi atau double burden of malnutrition.
“Beban ganda malnutrisi meningkat secara global akibat kekurangan gizi yang berlanjut, juga penyakit kelebihan berat badan, dan penyakit tidak menular,” kata Robert.
Senada Robert, Elvina mengungkapkan, Indonesia juga mengalami masalah beban ganda malnutrisi kekurangan gizi maupun kelebihan nutrisi serta ancaman peningkatan penyakit tidak menular. Dia menyebutkan, sejumlah perilaku juga berisiko memengaruhi munculnya penyakit tidak menular, di antaranya, asupan gula, lemak, dan kandungan garam tinggi.
Mengutip laporan Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas) 2013 dan Riskesdas 2018, asupan gula, lemak, dan garam yang tinggi berisiko terhadap diabetes mellitus, obesitas, dan hipertensi. Sekitar 4,8 persen populasi mengonsumsi gula lebih dari 50 gram per hari dan sekitar 52,7 persen populasi mengonsumsi garam lebih dari 2.000 miligram per hari. Hasil Riskesdas juga menunjukkan, antara lain, penyakit ginjal kronis di Indonesia meningkat dari 0,2 persen pada 2013 menjadi 0,38 persen pada 2018.
Terkait stunting atau tengkes di Indonesia, menurut Elvina, Pemerintah Indonesia berkomitmen menurunkan angka tengkes melalui kebijakan Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting 2018-2024 dan pelaksanaan lima pilar penanganan stunting, yang meliputi komitmen dan visi kepemimpinan, kampanye nasional, konvergensi program, akses pangan bergizi, dan monitoring program.
Adapun Dharnesh mengatakan, Nestle sebagai perusahaan industri makanan dan minuman dunia juga berkomitmen untuk berkontribusi meningkatkan kualitas kesehatan dan kehidupan masyarakat dengan memroduksi makanan dan minuman sehat sekaligus enak. Melalui bagian riset produksi yang melibatkan sekitar 5.000 peneliti, Nestle terus menghasilkan produk berkualitas bagi konsumen, termasuk Indonesia.
“Kami memberikan informasi tentang kandungan nutrisi dan konsumsi di setiap produk Nestle sehingga masyarakat memiliki pilihan untuk mengonsumsi produk yang lebih sehat, lebih berkualitas, sekaligus lebih enak,” kata Dharnesh.
Dia menyebutkan, Nestle berkolaborasi dengan 300 mitra global, termasuk di Indonesia, untuk menghasilkan produk yang lebih sehat dan lebih enak. Dharnesh menyatakan, Nestle memiliki keinginan kuat bersama-sama meningkatkan kualitas hidup dan berkontribusi untuk masa depan yang lebih sehat karena Nestle menilai sumber daya manusia unggul penting bagi masa depan bangsa.