Situasi di Kamboja pada Juli-Agustus 1973 sangat genting karena Phnom Penh terkurung pemberontak Khmer Merah. Bahkan, Kompas edisi Senin (6/8/1973) melaporkan, ibu kota Republik Khmer itu sudah sangat terancam. Khmer Merah, sayap militer Partai Komunis, tinggal 4,8 kilometer lagi dari pusat kota.
Jet-jet tempur Amerika Serikat terus membombardir basis-basis pertahanan Khmer Merah di sekitar Phnom Penh. Walau pengeboman terjadi setiap hari, Khmer Merah bahkan berhasil menduduki sebagian ruas jalan utama menuju Phnom Penh.
Kompas melaporkan, pasukan komunis berhasil merebut pinggiran kota. Khmer Merah juga mengepung Takh Mau, kota satelit yang berjarak 6,4 kilometer di selatan Phnom Penh. Serangan udara AS digencarkan, tetapi tidak ada kemajuan apa-apa.
Minggu, 5 Juli 1973, pasukan komunis Khmer Merah berusaha merebut Bandara Pochentong, satu-satunya pintu yang menghubungkan Phnom Penh dengan dunia luar. Khmer Merah didukung sekutunya: Vietnam Utara dan Viet Kong. Saat itu sudah 75 persen wilayah Kamboja dikuasai Khmer Merah (Kompas, 3/8/1973).
Koalisi Viet Kong dengan Hanoi dalam mengepung Phnom Penh merupakan ancaman bagi Vietnam Selatan, sekutu AS yang memproklamasikan kemerdekaan pada Oktober 1955. Pekan pertama Agustus 1973 merupakan krisis besar upaya mempertahankan Phnom Penh. Washington pun tak merelakan Phnom Penh jatuh ke tangan Viet Kong dan Vietnam Utara yang berhaluan komunis.
Dalam situasi krisis itulah Mahkamah Agung AS menganulir keputusan mutlak Kongres AS yang mengharuskan serangan udara ke Kamboja segera diakhiri. Mahkamah Agung tetap mengizinkan pasukan udara AS mengebom basis-basis Khmer Merah. (CAL)