Bagi koreografer tari dan sekaligus penari Sardono Waluyo Kusumo, Bali meninggalkan kesan yang mendalam. Ternyata tak hanya budaya, kesenian, dan kolega senimannya saja, tetapi juga suasana Bali kala itu.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA
·2 menit baca
Bagi koreografer tari dan sekaligus penari Sardono Waluyo Kusumo, Bali meninggalkan kesan yang mendalam. Bukan hanya karena budaya, kesenian, dan kolega senimannya yang memberikan kenangan kuat bagi Sardono, melainkan juga suasana Bali, terutama Bali di tahun 1970-an.
Tahun 1970-an itu, Sardono datang ke Bali untuk belajar kesenian dan berguru ke sejumlah seniman Bali, baik yang bermukim di Denpasar maupun yang tinggal di Gianyar. Tiap hari, Sardono pergi dan pulang dari Desa Teges di wilayah Peliatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, ke Denpasar.
”Tahun 1970-an itu, bus yang ada dari Denpasar hanya satu, yakni Sunari, yang tempat duduknya dengan jok kayu,” kata Sardono ketika memberikan orasi ilmiah berjudul ”Chthonic Broer” dalam sidang terbuka Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar dalam rangka Dies Natalis XVI ISI Denpasar di Gedung Natya Mandala ISI Denpasar, Kota Denpasar, Rabu (31/7/2019).
Guru Besar Institut Kesenian Jakarta (IKJ) itu menambahkan, dia sering berjalan kaki dari persimpangan Sakah, Sukawati, ke Teges di Ubud lantaran saat itu rute bus tidak sampai ke Ubud dan kala itu masih minim kendaraan di Bali.
”Yang repot kalau jalan kaki ke Teges, ratusan anjing menggonggong di belakang saya di sepanjang perjalanan dari Sakah ke Teges,” kata Sardono seraya tertawa karena terkenang pengalamannya puluhan tahun lalu.
Hampir lima dekade kemudian, Sardono menceritakan perjalanannya diiringi gonggongan anjing di tahun 1970-an itu di hadapan para guru besar ISI Denpasar, Gubernur Bali, dan puluhan seniman Bali. Sardono menyatakan, gonggongan anjing yang mengiringi perjalanannya dari Sakah ke Teges itu dianggapnya sebagai bagian dari latihan selama belajar di Bali.