JAKARTA, KOMPAS— Komunitas internasional didesak segera memutus akses ekonomi bagi militer Myanmar, Tatmadaw. Perusahaan yang terlibat dengan Tatmadaw bisa dituding terlibat kejahatan terhadap kemanusiaan.
”Penerapan rekomendasi laporan ini akan mengikis basis ekonomi militer, memotong gangguannya pada proses reformasi, memutus kemampuannya (Tatmadaw) menggelar operasi tanpa pengawasan, dan mengurangi pelanggaran HAM dan hukum kemanusiaan internasional,” kata Ketua Tim Pencari Fakta Internasional PBB untuk Myanmar Marzuki Darusman, dalam peluncuran laporan tim itu di Jakarta, Senin (5/8/2019).
Disebutkan, sanksi bagi Tatmadaw bukan untuk melemahkan perekonomian Myanmar. Tim PBB justru mendorong investasi dan kerja sama dengan perusahaan-perusahaan Myanmar yang tak memiliki hubungan dengan Tatmadaw.
Dalam laporan itu dipaparkan dua badan usaha yang diduga kuat dikendalikan Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Myanmar Jenderal Senior Ming Aung Hlaing dan sejumlah petinggi Tatmadaw. Tim itu mengidentifikasi Myanmar Economic Holding Limited (MEHL) dan Myanmar Economic Corporation (MEC) sebagai induk aneka perusahaan yang terafiliasi dengan Tatmadaw. Dalam laporan itu dipaparkan 120 anak usaha MEHL atau MEC dan 27 perusahaan yang terafiliasi dengan MEHL atau MEC.
Perusahaan asing
Laporan itu juga memaparkan 59 perusahaan asing yang mempunyai hubungan ekonomi dengan MEHL dan MEC. Dari 59 perusahaan itu, 15 di antaranya mempunyai usaha bersama dengan MEHL atau MEC. Perusahaan-perusahaan itu berasal dari Jepang, Korea Selatan, China, Hong Kong, Singapura, Seychelles, dan Vietnam.
Tim itu juga mengidentifikasi perusahaan China, Rusia, Ukraina, dan Israel sebagai pemasok peralatan tempur ke Myanmar sejak 2016. Hal itu berarti peralatan tempur tersebut diterima sebelum operasi di Rakhine, Myanmar, yang berdampak pada eksodus ratusan ribu warga Rohingya di wilayah itu mengungsi ke Bangladesh.
”Sekarang sudah tidak tepat lagi bertanya, mana yang harus disanksi. Laporan ini sudah memerinci siapa yang bisa jadi target sanksi,” kata Christopher Sidoti, anggota tim.
Dalam laporan itu dipaparkan acara penggalangan dana yang antara lain dipimpin Ming Aung Hlaing. Ada 45 perusahaan teridentifikasi menyumbang total 10 juta dollar AS. Dana itu dipakai Tatmadaw membiayai operasi yang diduga melanggar HAM dan hukum kemanusiaan internasional.
Tim juga menerima dokumen yang menyebutkan ada aliran dana 200 juta dollar AS dari sejumlah perusahaan swasta kepada beberapa jenderal di Myanmar. Meski dokumen dan sumbernya dapat dipercaya, tim tidak bisa memverifikasi hal itu lebih lanjut.
Ia mengingatkan komunitas internasional, baik dari sektor swasta maupun negara, agar tidak melanjutkan hubungan ekonomi dengan Tatmadaw dan unit usahanya. Sebab, perusahaan-perusahaan itu dapat dituding terlibat kejahatan terhadap kemanusiaan.
Marzuki juga mendesak ASEAN agar segera bersikap jelas dan tegas soal Myanmar. Apabila tidak, akan ada keraguan serius kepada ASEAN karena diam pada dugaan pemusnahan etnis dan kejahatan kemanusiaan di Myanmar.
Pertemuan para menteri luar negeri ASEAN di Bangkok, Thailand, pada 31 Juli 2019, mengeluarkan pandangan tentang isu Rohingya dalam Komunike Bersama. Selain menyatakan dukungan kepada ASEAN untuk membantu Myanmar dalam pendampingan kemanusiaan, proses repatriasi, dan mendorong pembangunan berkelanjutan, para menlu ASEAN juga meminta jaminan keamanan dari Pemerintah Myanmar dalam repatriasi dan mendesak perlunya solusi komprehensif dalam penyelesaian akar-akar konflik di negara itu. (RAZ)