Idan Fauzan Gagal Perbaiki Rekor Loncatan
BOGOR, KOMPAS - Atlet loncat galah andalan Indonesia Idan Fauzan gagal memperbaiki rekor nasional loncat galah pada Kejuaraan Atletik 2019 di Stadion Pakansari, Cibinong, Selasa (6/8/2019). Meski meraih medali emas loncat galah yunior putra, loncatan terbaik Idan hanya setinggi 5 meter.
Catatan terbaik Idan (19) adalah 5,30 m, yang sekaligus menjadi rekor nasional. Loncatan ini dibukukan saat dirinya merebut medali emas ASEAN School Games 2018 Malaysia.
Pada kejurnas, Idan yang membela Jawa Barat bersaing dengan sesama atlet pelatnas, Danar Fajri Akbar (DKI Jakarta) dan Alif M Baskara (Jawa Barat). Idan mengawali loncatan pada ketinggian 4,70 m. Adapun kedua pesaingnya yang mengawali dari lompatan 4,50 m justru terhenti pada ketinggian 4,70 m.
Idan kemudian melompati mistar setinggi 5 m pada kesempatan ketiga. Dia meminta mistar dinaikkan 10 sentimeter pada kesempatan keempat, namanu gagal pada tiga kali percobaan. ”Hari ini, fisik sayang kurang fit. Saya tidak berada pada performa terbaik. Loncatan rasanya tidak pas," ujar pemuda kelahiran 11 Januari 2000 itu.
Idan menjadi atlet loncat galah sejak duduk di kelas 1 SMP pada 2014. Dia langsung meraih prestasi dengan meraih perunggu kategori remaja Kejurnas Atletik 2014 dan Porda Jabar 2014 dengan loncatan 3,90 meter.
Setelah itu, grafik Idan terus meningkat. Ia meloncati mistar 5 meter pada ASEAN School Games 2017 Singapura, lalu memecahkan rekornas dengan loncatan 5,20 meter pada Kejurnas Atletik 2017. Dia kemudian mempertajamnya menjadi 5,30 m setahun kemudian.
Idan berpeluang besar membela Indonesia pada SEA Games 2019 Filipina atau SEA Games. Namun, ia perlu persiapan lebih matang untuk meraih medali. Persaingan loncat galah akan sulit mengingat meraih medali emas SEA Games 2017, atlet Thailand Parranot Purahong, mencapai loncatan 5,35 meter. Adapun peraih perak Patsapong Amsam (Thailand) Ang mencatat loncatan 5,30 m, dan Iskandar Alwi (Malaysia) meraih perunggu dengan loncatan 5,25 m.
Sementara itu, calon lawan terberat adalah atlet Filipina, pemegang rekor Asia Tenggara, Ernest John Obiena. Atlet berusia 23 tahun ini mencatat loncatan terbaiknya, 5,76 meter, pada Universiade 2019 di Napoli, Italia, Juli lalu.
Menghadapi tantangan tersebut, Idan mengaku dirinya harus berlatih lebih keras. Dia harus bisa menambah kecepatan, tenaga, dan memperbaiki teknik. "Dari evaluasi kejurnas ini, pelatih minta kecepatan saya harus empat langkah lebih cepat. Teknik juga harus lebih sabar saat di atas. Saya sering enggak sabar, saat di atas ingin segera mengayun ke depan," katanya.
Minim jam terbang
Di luar persiapan latihan, para atlet loncat galah berharap intensitas berlomba, terutama pada kejuaraan internasional, ditingkatkan. Fasilitas latihan terutama galah juga harus rutin diganti setiap enam bulan sekali. Dua hal ini mejadi kelemahan peloncat galah Indonesia.
Idan misalnya, baru ikut tiga kejuaraan tahun ini, yakni Jawa Timur Terbuka, Maret, dan Taiwan Terbuka, Mei, sebelum berpartisipasi di kejurnas. Di Taiwan Terbuka, Idan gagal melakukan lompatan sah dari tiga percobaan melewati mistar 4,90 meter pada kesempatan pertama. Dia tereliminasi tanpa pernah mencetak hasil lompatan.
"Di Taiwan saya menggunakan galah pinjaman sebab galah saya tidak bisa dibawa, ada masalah di maskapai penerbangan. Dengan galah orang lain, sulit bagi peloncat mendapat loncatan yang biasa dilakukan dengan galah milik sendiri," tuturnya.
Setelah tiga kejuaraan itu, Idan belum punya agenda lain. "Saya ingin kesempatan uji coba internasional lebih banyak sebelum SEA Games 2019. Ini penting untuk meningkatkan jam terbang dan pengalaman berlomba," tegas Idan.
Adapun atlet pelatnas asal DKI Jakarta Fredrick Saputra yang turun di kategori senior merasa dirinya terhambat oleh kondisi galah yang sudah tua. Rata-rata galah milik atlet pelatnas berusia di atas 6-12 bulan. Lebih dari usia itu, galah semakin lunak. Hal itu sangat memengaruhi hasil loncatan saat berlatih atau bertanding. Saat atlet memiliki kekuatan loncatan lebih besar dan rekor loncatan semakin tinggi, galah berusia tua tak mampu lagi menahan beban atlet bersangkutan. Akibatnya, peluang melakukan loncatan lebih tinggi berkurang.
Hal itu tampak pada final loncat galah putra senior. Fredrick bisa melewati mistar 5,20 m pada percobaan ketiga, kesempatan kelima. Hasil itu menjadi rekor terbaiknya. Pada kesempatan keenam, Fredrick mencoba untuk melewati mistar 5,32 m. Namun, dia gagal dari tiga kali mencoba.
Fredrick mengatakan, dia menggunakan galah sepanjang 4,75 m yang berusia lebih dari enam bulan. Kondisinya kurang lenting untuk membantu Fredrick meloncat lebih tinggi. Jika ingin meloncat lebih tinggi, dia membutuhkan galah baru, atau galah yang lebih panjang, yakni 5,10 m.
"Tetapi, saya belum berpengalaman menggunakan galah 5,10 meter. Ini pertama kali saya mencoba melewati mistar setinggi 5,32 meter. Dalam latihan, maksimal melewati mistar setinggi 5,10-5,20 meter," ungkapnya.
Mendesak dipenuhi
Pelatih loncat galah PB PASI asal Rusia Anatoly Chernobay menyampaikan, kondisi fisik, asupan gizi, dan program latihan yang dilakukan atlet Indonesia sebenarnya tidak kalah dari atlet dunia. Namun, dia membenarkan atlet Indonesia kalah jam terbang dan fasilitas. Di Eropa, atlet loncat galah bisa ikut 10-15 kejuaraan dalam enam bulan, dan mendapat galah baru secara periodik.
Kompetisi penting bagi atlet untuk meningkatkan mental dan menambah wawasan baru. Adapun galah baru dibutuhkan saat kekuatan atlet meningkat dan ingin memperbaiki tinggi loncatan.
Untuk itu, Anatoly harap PB PASI lebih sering mengirikmengirimkan atlet mengikuti kejuaraan internasional, dan memberikan galah baru secara rutin. “Apalagi saat ini bisa dibilang puncak prestasi -atlet loncat galah Indonesia. Atlet putra rata-rata meloncat lebih dari 5 meter dan atlet putri lebih dari 4 meter. Ketika saya tiba enam tahun lalu, sangat jarang atlet yang mampu meloncat setinggi itu,” ujarnya.