Penurunan Suku Bunga Perlu Dibarengi Insentif Fiskal
›
Penurunan Suku Bunga Perlu...
Iklan
Penurunan Suku Bunga Perlu Dibarengi Insentif Fiskal
Pelonggaran kebijakan moneter tetap harus didukung kebijakan fiskal yang ekspansif. Tanpa kombinasi kebijakan itu, pertumbuhan ekonomi triwulan III dan IV-2019 akan sulit terakselerasi.
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelonggaran kebijakan moneter tetap harus didukung kebijakan fiskal yang ekspansif. Tanpa kombinasi kebijakan itu, pertumbuhan ekonomi triwulan III dan IV-2019 akan sulit terakselerasi.
Pertumbuhan ekonomi pada tahun ini, sebagaimana asumsi makro APBN 2019, sebesar 5,3 persen. Namun, pemerintah menargetkan 5,2 persen. Adapun Bank Indonesia memproyeksikan 5,0-5,2 persen.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, berpendapat, pelonggaran kebijakan moneter BI mesti sejalan dengan kebijakan fiskal pemerintah sehingga dampak terhadap kinerja sektor riil signifikan. Kombinasi kebijakan itu diperlukan karena tantangan perekonomian kian berat.
”Penurunan suku bunga BI dan pemberian insentif fiskal mesti saling dukung untuk menjawab permasalahan dan tantangan dunia usaha,” kata Heri di Jakarta, Rabu (7/8/2019).
Mengutip data Badan Pusat Statistik, pertumbuhan ekonomi pada triwulan I dan II-2019 masing-masing 5,07 persen dan 5,05 persen. Oleh karena itu, untuk mencapai target 5,2 persen, pertumbuhan ekonomi pada triwulan III dan IV-2019 setidaknya 5,34 persen.
Heri mengatakan, motor penggerak ekonomi dari ekspor dan investasi tetap harus dipacu. Transmisi penurunan suku bunga BI ke suku bunga perbankan mesti lebih cepat. Tujuannya agar ongkos pinjaman industri lebih rendah sehingga bisa dialokasikan untuk menggenjot produksi.
Di sisi lain, lanjut Heri, beban industri dikurangi dengan pemberian insentif fiskal yang lebih variatif. Insentif fiskal disesuaikan karakteristik, masalah, dan tantangan industri. Kebutuhan setiap sektor industri berbeda sehingga insentif fiskal tidak bisa disamakan, misalnya industri pangan dan otomotif.
Penurunan suku bunga BI dan pemberian insentif fiskal mesti saling dukung untuk menjawab permasalahan dan tantangan dunia usaha.
Secara terpisah, Kepala Riset Bahana Sekuritas Lucky Ariesandi menambahkan, penurunan suku bunga BI akan menguntungkan industri yang memiliki utang cukup besar, seperti telekomunikasi dan konstruksi. Hal itu karena penurunan suku bunga BI akan diikuti penurunan suku bunga pinjaman.
”Sektor properti dan otomotif yang sangat sensitif terhadap suku bunga akan diuntungkan karena penurunan bunga kredit akan mendongkrak penjualan properti, mobil dan motor,” kata Lucky.
Suku bunga
Kepala Ekonom PT Bank UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja mengatakan, pemangkasan suku bunga BI bukan satu-satunya langkah mendorong pertumbuhan ekonomi. Stimulus bagi perekonomian harus dilihat secara menyeluruh, mulai dari penambahan jadwal lelang repo, penurunan giro wajib minimum (GWM), hingga pemangkasan suku bunga.
”BI tidak akan memangkas suku bunga terlalu tinggi karena kita (Indonesia) masih punya isu defisit transaksi berjalan. Suku bunga acuan dipangkas maksimal 50 bps sampai akhir tahun,” kata Enrico.
Menurut Enrico, volatilitas rupiah tetap jadi prioritas di tengah tekanan perekonomian global. Intervensi BI mesti mempertimbangkan pelemahan mata uang global. Pergerakan kurs rupiah sesuai mekanisme pasar, tetapi tetap terjaga agar tidak melemah terlalu dalam.
”Kalau semua mata uang melemah, tetapi rupiah di tahan, menurut saya, buat apa. Itu bukan salah kita sehingga diperlukan penyesuaian,” kata Enrico.
Sektor properti dan otomotif yang sangat sensitif terhadap suku bunga akan diuntungkan karena penurunan bunga kredit akan mendongkrak penjualan properti, mobil, dan motor.
Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 17-18 Juli 2018 memutuskan suku bunga acuan BI, BI 7 Day Reverse Repo Rate, turun 25 basis poin (bps) menjadi 5,75 persen. Seluruh kebijakan BI diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lesu.
Dalam RDG BI bulan Juni lalu, BI juga menurunkan rasio GWM perbankan sebesar 50 bps untuk melonggarkan likuiditas perbankan. Melalui kebijakan itu, BI berharap kecukupan likuiditas perbankan dapat bertambah hingga Rp 25 triliun dalam setahun ini.
Gubernut BI Perry Warjiyo menyatakan, kebijakan moneter BI diarahkan tetap akomodatif sejalan dengan rendahnya perkiraan inflasi dan perlunya mendorong pertumbuhan ekonomi. Kebijakan yang akomodatif itu bisa melalui pelonggaran likuiditas ataupun penurunan suku bunga acuan.
Penurunan suku bunga saat ini, lanjut Perry, untuk mengantisipasi risiko perekonomian akibat eskalasi perang dagang AS-China. Jika suku bunga tidak turun, perekonomian bisa tumbuh di bawah 5,2 persen.