Hak Warga Tak Terpenuhi, Komnas HAM Akan Menyelidiki Pengelolaan Air Jakarta
›
Hak Warga Tak Terpenuhi,...
Iklan
Hak Warga Tak Terpenuhi, Komnas HAM Akan Menyelidiki Pengelolaan Air Jakarta
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia akan menyelidiki praktik swastanisasi air di Jakarta. Pengelolaan air di Ibu Kota yang dioperasikan dua perusahaan swasta, Palyja dan Aetra, selama hampir 20 tahun dianggap bertentangan dengan konstitusi negara.
Oleh
Ayu Pratiwi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia akan menyelidiki praktik swastanisasi air di Jakarta. Pengelolaan air di Ibu Kota yang dioperasikan dua perusahaan swasta, Palyja dan Aetra, selama hampir 20 tahun dianggap bertentangan dengan konstitusi negara.
Sekitar 40 persen wilayah Jakarta hingga saat ini masih belum dijangkau kedua perusahaan. Harga air pun tidak wajar karena tergolong lebih tinggi dibanding daerah lain.
Hal tersebut disampaikan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik di Jakarta, Rabu (7/8/2019). Dia menerima langsung pengaduan 10 anggota Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ), yang terdiri dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Koalisi Masyarakat untuk Hak atas Air (KRuHA), Solidaritas Perempuan, Urban Poor Consortium (UPC), dan Indonesia Corruption Watch.
Kuasa hukum KMMSAJ, Arif Maulana, menyampaikan, praktik swastanisasi air di Jakarta merugikan masyarakat. ”Mereka kehilangan akses atas air selama puluhan tahun. Jangkauan air di Jakarta hanya sekitar 50 persen. Yang mengerikan juga, negara kehilangan peran untuk menjadi pengelola sumber daya air dan memastikan air itu betul-betul untuk kemakmuran rakyat,” ucapnya.
Pada April 2019, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyebutkan, sejak 1998-2017, tidak ada peningkatan pelayanan signifikan yang dilakukan Aetra dan Palyja selaku pengelola. Pada 1998, layanan air mencapai 44,5 persen wilayah Jakarta. Pada 2017, angka itu hanya naik sedikit menjadi 59,4 persen. Padahal, ditargetkan pada 2023 seharusnya mencapai 82 persen (Kompas, 9/4/2019).
Taufan juga berpendapat bahwa ada keganjilan dalam sistem pengelolaan air Jakarta. Selain bertentangan dengan prinsip Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan air seharusnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, pengadaan air bersih di Jakarta seharusnya tidak sesulit daerah lain.
Sebab, ada banyak sungai di Jakarta dan topografinya yang cukup datar juga mempermudah distribusi air. Biaya produksinya pun seharusnya tidak terlalu tinggi. Di daerah, kata Taufan, harga air sekitar Rp 3.000 per meter kubik dan keuntungan PDAM bisa mencapai Rp 100-200 miliar per tahun. Sementara itu, harga air di Jakarta sekitar Rp 7.000 per meter kubik.
”Saya kira, harus ada langkah-langkah untuk melakukan penyelidikan. Apa alasan diperlukannya melakukan swastanisasi karena enggak masuk akal. hal itu bertentangan dengan semangat konstitusi. Warga juga tidak mendapatkan pelayanan yang lebih baik. Kan, aneh itu. Harganya (di Jakarta) Rp 7.000 per meter kubik. Itu tinggi sekali. Di daerah lain, harganya enggak sampai Rp 3.000. Di Jakarta, apa dasarnya (memberlakukan harga setinggi itu)?” tutur Taufan yang sebelumnya pernah menjabat anggota Dewan Pengawas Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
Jangan dilanjutkan
Dalam rilis yang disampaikan KMMSAJ, tarif air yang dikelola Palyja dan Aetra tidak hanya tertinggi di Indonesia, tetapi juga di Asia Tenggara. Tarif air Jakarta rata-rata Rp 7.800 per meter kubik. Sementara itu, di Singapura hanya Rp 4.200, Filipina Rp 4.200, Malaysia Rp 2.600, dan Thailand Rp 3.500. Di luar Jakarta, rata-rata tarif air berkisar Rp 1.000 hingga Rp 3.000 per meter kubik.
”Kontrak Palyja dan Aetra selesai pada 2023. Harapan kami, minimal, kontrak itu tidak dilanjutkan. Kami juga berharap, Komnas HAM dapat menerbitkan hasil penyelidikannya dan ada desakan kepada pemerintah untuk mendukung penghentian swastanisasi air Jakarta,” kata Arif.
Menurut perhitungannya, kerugian warga akibat swastanisasi air Jakarta pada 1998-2012 mencapai Rp 1,2 triliun. ”Kerugian ini menjadi keuntungan Palyja dan Aetra. Kalau dilanjutkan sampai 2022, kerugian bisa mencapai Rp 18,2 triliun,” ucap Arif.
KMMSAJ mengajukan gugatan atas praktik swastanisasi air Jakarta pada 2012 dan dimenangkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2015. Pemerintah dinyatakan melanggar hukum karena melakukan perjanjian kerja sama yang tidak sesuai dengan konstitusi dan melanggar HAM.
Pada 2016, pemerintah melakukan banding dan KMMSAJ kalah karena alasan formal. Pada 2018, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berjanji melakukan penghentian swastanisasi air Jakarta dan menindaklanjutinya dengan membentuk Tim Tata Kelola Air Jakarta. Tim itu merekomendasikan mekanisme penghentian swastanisasi air Jakarta, tetapi masih ”mandek” hingga sekarang.