Perguruan tinggi di Indonesia didorong memperbanyak riset tentang kebencanaan. Hasil riset akademisi akan jadi landasan kebijakan pembangunan berwawasan kebencanaan dan memperkaya pengetahuan warga.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Perguruan tinggi di Indonesia didorong memperbanyak riset tentang kebencanaan. Hasil riset akademisi akan menjadi landasan kebijakan pembangunan berwawasan kebencanaan dan memperkaya pengetahuan warga.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo mengatakan hal itu seusai memberikan kuliah umum kebencanaan di hadapan para lulusan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Rabu (7/8/2019). Doni mengatakan, perguruan tinggi berperan besar membangun generasi tangguh bencana.
”Perguruan tinggi bisa meningkatkan edukasi kebencanaan bagi warga. Ini sangat penting,” ucapnya.
Doni berharap riset kebencanaan diperbanyak agar warga tahu sejarah kebencanaan di daerah tempat mereka tinggal. Pengetahuan akan membangun kesadaran terhadap bencana. Doni mencontohkan, ketidaktahuan warga Aceh terhadap sejarah tsunami memakan banyak korban. Gempa dan tsunami melanda Aceh pada 26 Desember 2004 menelan korban jiwa 160.000 orang.
Doni meyakini, jika warga Aceh saat itu memahami tentang tsunami, jumlah korban tidak sebanyak itu. Dia mencontohkan warga Pulau Simeulue, yang setelah gempa terjadi langsung mengungsi ke tempat yang tinggi sehingga korbannya sedikit. Hal itu karena di masyarakat Simeulue mengenal kearifan lokal tentang smong, yakni gelombang besar yang menghantam daratan setelah gempa.
”Namun, yang terjadi jangan disesali, jadikan itu pelajaran. Tugas kalian (lulusan) selanjutnya mendidik warga agar lebih siap hadapi bencana,” kata Doni.
Doni menuturkan, riset kebencanaan dapat menjadi acuan pemerintah saat mengambil kebijakan pembangunan, seperti penentuan standardisasi bangunan tahan gempa dan infrastruktur kebencanaan di kawasan permukiman. Menurut dia, semua daerah di Indonesia memiliki riwayat kebencanaan, tetapi belum semua diteliti.
Riset kebencanaan dapat menjadi acuan pemerintah saat mengambil kebijakan pembangunan, seperti penentuan standardisasi bangunan tahan gempa dan infrastruktur kebencanaan di kawasan permukiman.
Doni juga mengapresiasi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh yang melakukan penelitian terhadap jejak tsunami kuno di Goa Ek Leunti, di Lhoong, Kabupaten Aceh Besar. Gua itu merekam jejak tsunami yang terjadi 600 tahun silam. Lapisan-lapisan tanah di goa itu adalah sisa tsunami.
Goa ini berada tepat di tepi laut, tetapi mulutnya membelakangi pantai. Doni mengatakan, Goa Ek Leuntie akan dijadikan geopark kebencanaan. ”Gua ini akan dikelola dengan baik agar menjadi museum bagi generasi mendatang untuk belajar tentang tsunami,” ujar Doni.
Rektor Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Samsul Rizal mengatakan, gempa dan tsunami 2004 menjadi titik awal bagi Unsyiah untuk memperbanyak riset kebencanaan. Saat ini Unsyiah memiliki pusat riset dan mitigasi bencana.
Unsyiah juga telah membuka jurusan magister kebencanaan. Mahasiswa baru diwajibkan mengikuti mata kuliah kebencanaan dan lingkungan. ”Kami ingin generasi Aceh tangguh terhadap bencana. Pengalaman pahit 2004 harus menjadi pelajaran berharga,” kata Samsul.
Namun, Samsul mengakui, secara umum, warga Aceh belum tangguh terhadap bencana. Simulasi tidak rutin digelar dan pendidikan kebencanaan belum maksimal. Warga yang kini tinggal di tapak tsunami tidak semua memiliki pengetahuan cara evakuasi mandiri jika terjadi bencana.
”Saya khawatir jika hari ini terjadi tsunami banyak warga yang tidak tahu harus melakukan apa,” kata Samsul.
Dia mengatakan, pakar-pakar kebencanaan di Unsyiah telah membuat draf qanun/perda pendidikan kebencanaan. Draf qanun itu telah diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. Qanun tersebut menjadi prioritas pada 2019.