Ketika Petani Terpaksa Harus Mencari ”Sekoci”
Seperti hidup, tembakau juga menawarkan ketidakpastian. Hal itu juga dirasakan oleh petani, termasuk Wahyu Sutrisno (35), petani tembakau di Desa Rejosari, Kecamatan Bansari, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Ketidakpastian itu ditandai dengan ”keluar masuknya” barang yang dimilikinya dalam arti pelepasan aset.
Saat hasil panen berkualitas bagus, tembakau itu bisa dibeli dengan harga tinggi sehingga Wahyu bisa berbelanja barang. Namun, sebaliknya, saat harga jatuh, Wahyu terpaksa harus menjual barang itu kembali untuk menutup kerugian.
”Dulu, dari hasil penjualan panen tembakau, saya bisa membeli dua sepeda motor. Namun, belakangan, sepeda motor itu terpaksa saya jual untuk menambal kerugian saat harga tembakau anjlok,” ujarnya.
Kondisi merugi itu, kata Wahyu, saat harga panen turun, ia tetap harus membayar enam hingga tujuh buruh perajang tembakau. Mereka tetap harus bekerja untuk memanen daun tembakau dari areal seluas 5.000 meter persegi dan merajangnya menjadi tembakau.
Kisah untung dan buntung itu bukan hanya dialami oleh Wahyu. Cerita yang sama juga dirasakan oleh orangtuanya yang saat itu terpaksa menjual mobil untuk menutup biaya buruh.
Wahyu menerjuni pertanian tembakau sejak umur 18 tahun. Ia sempat merasakan kejayaan tembakau selama lima tahun. Setelah masa itu, pertanian tembakau memasuki masa-masa suram dan harga terus turun.
Sejak masa itu, petani tembakau tidak hanya harus menjual harta benda yang layak jual, tetapi juga sampai harus menguras ”tabungan” berupa aset likuid yang mereka simpan dari sisa keuntungan hasil panen, seperti ternak dan tanah.
Langkah itu pula yang dilakukan oleh Wahihi (43). Berulang kali ia merugi karena harga tembakau jauh dari harapan. Kondisi itu memaksa ia menjual ternak kambing miliknya.
”Kambing adalah penyelamat saya saat merugi akibat tembakau,” ujarnya.
Hal yang sama juga dialami Zaenal (50) di Desa Genito, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang. Ia menjual lahan seluas 1.500 meter persegi untuk menutup kerugian dan biaya hidup.
Kerugian petani itu dialami bertubi-tubi. Pertama, harga jatuh karena penilaian kualitas dari pabrik yang sepihak. Kedua, karena tidak punya akses ke pabrik, petani terpaksa melepas tembakau kepada pedagang perantara.
Hal ini yang kerap menjadi peluang penipuan. Pedagang pernah menjanjikan akan membeli tembakau Rp 26 juta.
”Namun, pada akhirnya saya hanya dibayar Rp 11 juta. Kekurangannya Rp 15 juta tak pernah dilunasi,” ujarnya.
Kejadian itu sudah berlalu sekitar empat tahun lalu. Setelah sempat lebih dari tiga kali menagih dan tidak kunjung dibayar, ia akhirnya menyerah. Kejadian serupa terjadi berulang dengan sejumlah pedagang yang berbeda.
Bukan hanya bermasalah dengan pedagang, kata Tumin (45), petani di Desa Gandurejo, Kecamatan Bulu, melainkan juga dengan sesama petani. Saat itu rekannya membeli tembakau miliknya untuk menutup target kuota dari pabrik.
Namun, karena harga tembakau saat itu rendah, rekannya mengaku rugi. Sampai saat ini harga pembelian tembakau yang mencapai puluhan juta rupiah itu belum dibayar.
Beralih komoditas
Di Kabupaten Temanggung, terdapat sekitar 200.000 petani tembakau. Aktivitas mereka berlangsung sejak puluhan tahun lampau. Kegiatan bertani tembakau itu dilakukan secara turun-temurun. Namun, karena semua persoalan itu, mereka akhirnya beralih profesi menjadi petani tanaman lain.
Wahyu, misalnya, sejak tiga tahun lalu memutuskan tidak bertani tembakau. Ia mengikuti jejak rekannya menjadi petani jamur. Omzet dari penjualan jamur bisa mencapai Rp 280.000-Rp 315.000 per hari.
”Tidak perlu lagi bermimpi, berharap uang puluhan juta saat panen pada Agustus-September. Saya memilih mensyukuri rezeki yang ada meski sedikit demi sedikit, tetapi saya terima setiap hari,” ujarnya.
Wahini juga berhenti menanam tembakau sejak enam tahun lalu. Dulu saat menjadi petani tembakau, ia terpaksa meminjam modal Rp 10 juta ke bank. Namun, kini ia bisa bernapas lega karena cukup menyediakan uang ratusan ribu saja sebagai modal. Uang itu dipakai untuk membeli bahan baku usaha makanan ringan yang sekarang dijalankannya.
Kini, tambah Wahini, sedikit pun tak tergoda menanam tembakau meski kemarau panjang. ”Musim kemarau seperti sekarang ini, saya malah tergoda mulai berjualan es dawet atau es buah,” ujarnya.
Demikian juga dengan petani lain yang memilih menanam komoditas lain. Tumin, misalnya, memilih menanam cabai. Sementara Zaenal memilih menanam ubi jalar.
Kendati dua komoditas tersebut masih mengalami fluktuasi harga sesuai kondisi pasar, aktivitas perdagangan di dalamnya lebih minim risiko.
Tidak hanya dilakukan perorangan, gerakan untuk bangkit dari keterpurukan tembakau juga diserukan pemerintah desa dan Kabupaten Temanggung. Di Desa Rejosari, Kecamatan Bansari, upaya bangkit ini dilakukan dengan membangun obyek wisata baru, Sindoro Water Park, dengan menggunakan dana desa sebesar Rp 500 juta.
”Keberadaan obyek wisata baru ini diharapkan bisa memberikan gambaran kepada masyarakat bahwa ada potensi lain yang layak digarap selain tembakau,” ujar Kepala Desa Rejosari Teguh Rahayu.
Kepala Subdirektorat Perencanaan Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda) Kabupaten Temanggung Dwi Sukarmei mengatakan, mulai tahun 2017, Pemerintah Kabupaten Temanggung mengalokasikan dana pagu umum dan pagi tematik untuk pelaksanaan pembangunan sesuai kebutuhan setiap desa. Dana tersebut disarankan tidak untuk kebutuhan pertanian tembakau.
”Masa kejayaan tembakau sudah lewat. Oleh karena itu, marilah kita sekarang bekerja keras dan kreatif. Dengan demikian, masyarakat berpeluang mengembangkan banyak potensi lain,” ujarnya.
Tata niaga
Tuhar, petani sekaligus Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Kecamatan Kledung, mengatakan, pada 1980-an, perwakilan dari pabrik rokok turun langsung untuk mencari dan membeli tembakau petani. Dalam kondisi tersebut, posisi petani diuntungkan karena bisa ikut terlibat menentukan harga.
Namun, situasi berubah di akhir tahun 1990-an. Saat itu mulai marak bermunculan pedagang.
Pada saat yang sama, aktivitas itu diikuti semakin banyaknya tembakau dari sejumlah daerah yang berdatangan ke Kabupaten Temanggung. Tidak hanya dari Jawa Tengah, Kabupaten Temanggung juga dimasuki tembakau dari Jawa Barat dan Jawa Timur.
Pabrik pun akhirnya memiliki banyak pilihan sumber pasokan tembakau. Posisi petani akhirnya semakin terpojok dan lemah karena tidak mampu menetapkan harga atas hasil panennya sendiri.
Kepala Desa Rejosari Teguh Rahayu mengatakan, kondisi itulah yang membuat banyak petani mencari alternatif komoditas lain untuk bertahan hidup dan sejahtera. Namun, menanam apa pun, petani ibarat berjudi karena tidak pernah ada kepastian harga pasar.
Pertanian tembakau memasuki masa suram. Ibarat menaiki kapal yang hampir karam, petani kini harus menyelamatkan diri dengan berjudi dan mencari sekoci.