JAKARTA, KOMPAS - Koalisi Kawal Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi melayangkan surat terbuka kepada Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi 2019-2023. Pansel diharapkan menyambut terbuka masukan masyarakat sipil terkait nama-nama calon yang dianggap ”bermasalah” serta terkait kewajiban kandidat menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara.
Hasil seleksi tahap ketiga calon pimpinan KPK, yakni tes psikologi, meloloskan 40 orang dari 104 peserta yang menjalani tes tersebut. Pekan ini, para kandidat itu akan menjalani tahapan profile assessment.
Masukan Koalisi Kawal Capim KPK disuarakan sembilan pusat kajian, di antaranya Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada, serta Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi Universitas Jember. Masukan juga disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil.
Poin dari masukan itu, antara lain, terkait lolosnya nama yang diduga melanggar etik saat menduduki suatu jabatan. Selain itu, disampaikan pula masukan soal kewajiban menyerahkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang semestinya dipenuhi sejak awal pendaftaran.
”Pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana mungkin orang yang bermasalah secara etik dapat lulus, padahal syarat pendaftaran adalah menyerahkan formulir yang berisi pernyataan tidak pernah cacat etik dan moral. Pansel harus terbuka menjelaskan kepada publik kenapa figur semacam itu lolos,” kata Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (6/8/2019).
Sementara itu, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan, masukan dan tanggapan itu disampaikan secara terbuka agar Pansel KPK dapat melahirkan komisioner KPK yang berintegritas. Selain itu, visi misi sosok itu bisa menguatkan KPK dan pemberantasan korupsi.
Dianggap resisten
Terkait dorongan masyarakat sipil itu, anggota Pansel Capim KPK 2019-2023, Hendardi, mempertanyakan mengapa hal itu baru dipersoalkan belakangan.
”Kenapa baru diributkan sekarang? Ini diributkan karena koalisi yang mengatasnamakan masyarakat memiliki vested interest untuk menjatuhkan orang yang tidak mereka sukai dan mendorong figur dari KPK,” ujar Hendardi.
Menurut Hendardi, isu LHKPN diembuskan karena pegawai KPK dipastikan telah mengumpulkan LHKPN yang menjadi kewajiban mereka. ”Di Pansel sudah ditentukan membuat surat pernyataan (melaporkan LHKPN) apabila terpilih,” ujar Hendardi.
Respons tersebut kemudian dikritik Ketua Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Arief Maulana. ”Kalau Pansel resisten dengan masukan masyarakat dan menuduh mau menjegal dan ingin meloloskan calon tertentu, hal itu justru menimbulkan pertanyaan,” ujarnya.