Mencermati Manajemen Listrik Nasional
Tidak mudah mengelola sistem kelistrikan di negara dengan 17.504 pulau dengan 66 juta pelanggan rumah tangga. Ibarat sebuah alur, seluruh aspek dari hulu ke hilir harus menjadi perhatian untuk menghasilkan listrik berkualitas.
Polemik listrik padam yang terjadi di DKI Jakarta, Banten, hingga sebagian Jawa Barat dan Jawa Tengah pada 4 Agustus 2019 lalu, menggugah pertanyaan tentang manajemen listrik nasional. Beberapa sorotan yang mengemuka mulai dari kapasitas pembangkit, sistem interkoneksi, hingga anggaran belanja untuk pengadaan bahan bakar dan perawatan.
Hingga akhir 2018, total kapasitas terpasang dan jumlah unit pembangkit PT PLN mencapai 41.696,67 MW dan 6.750 unit. Hanya saja, jika melihat sebarannya, mayoritas berada di Pulau Jawa (71 persen).
Selain kurang merata, keberadaan pembangkit tersebut juga belum maksimal memenuhi produksi total listrik nasional. Pada 2018, pembangkit milik PLN tersebut menghasilkan energi listrik produksi sendiri sebesar 178,2 ribu GWh. Untuk memenuhi produksi, masih ada energi listrik yang dibeli dari luar PLN yaitu sebesar 78,3 ribu GWh atau setara 29,3 persen.
Sedangkan, jumlah energi listrik terjual pada 2018 sebesar 234,6 ribu GWh. Konsumsi terbesar adalah kelompok pelanggan Rumah Tangga (41,7 persen), diikuti kelompok pelanggan Industri (32,80%), Bisnis (18,77%), dan Lainnya (sosial, gedung pemerintah dan penerangan jalan umum) sebesar 6,74 persen.
Sorotan kedua adalah sistem kelistrikan, terutama dalam kaitannya dengan masih banyaknya gangguan transmisi dan distribusi listrik. Pada 2018, terdapat 707 gangguan transmisi di seluruh Indonesia.
Gangguan transmisi paling banyak dialami di luar Pulau Jawa yaitu sebanyak 590 kali dengan lama durasi gangguan 1.468 jam. Demikian pula dengan gangguan distribusi. Dari 40.875 gangguan distribusi, sebanyak 29.933 gangguan diantaranya terjadi di lur Pulau Jawa.
Namun bukan berarti Pulau Jawa relatif lebih aman dari gangguan. Dari sisi frekuensi, gangguan transmisi di Pulau Jawa mencapai 117 kali dengan durasi gangguan 312 jam.
Gangguan distribusinya mencapai 10.942 kali dengan panjang jaringan yang terganggu 168 ribu kilometer sirkuit (kms). Di jalur distribusi ini, terdapat juga gangguan pada sistem interkoneksi.
Interkoneksi
Distribusi aliran listrik di Pulau Jawa menggunakan sistem interkoneksi. Sistem ini mampu mengatasi keterbatasan pasokan listrik pada wilayah tertentu dengan cara mengirimkan daya dari wilayah lain yang memiliki kelebihan daya listrik.
Sistem interkoneksi menjadi salah satu cara untuk menyalurkan listrik dengan lebih efisien. Setiap gardu memiliki sistem mitigasi masing-masing. Perubahan beban daya listrik akan direspon dengan menyeimbangkan pasokan listrik antar gardu atau memilih lepas dari sistem saat sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan listrik.
Kelemahan sistem interkoneksi adalah saat terjadi gangguan, dampaknya akan meluas ke seluruh wilayah yang terhubung. Semua pembangkit listrik yang terhubung akan lepas dari sistem, kemudian padam secara total.
Sistem tenaga listrik memiliki tingkat keandalan yang sangat penting dalam menentukan kinerja sistem tersebut. Keandalan ini digambarkan dari sejauh mana suplai tenaga listrik bisa stabil dalam periode tertentu hingga sampai ke konsumen.
Berbagai kejadian listrik padam dalam skala luas di Pulau Jawa menunjukkan adanya rentetan gangguan yang tidak dalam kendali operator. Kondisi tersebut tidak lepas dari prosedur standar yang dilanggar atau tidak dilaksanakan dengan sempurna.
Perawatan sistem kelistrikan nasional menjadi poin penting untuk menjamin terciptanya layanan listrik yang stabil. Kinerja dalam perawatan sistem harus efektif dan efisien, termasuk dalam perhitungan anggaran PLN.
Beban pengadaan listrik di seluruh wilayah Indonesia menjadi tugas yang harus diselesaikan PLN, sebagai pemilik hak tunggal pengadaan listrik. Padahal, di dalam struktur keuangan internal PLN masih menyisakan utang yang tidak sedikit.
Utang
Besar utang PLN hingga 31 Desember 2018 mencapai Rp 565,07 triliun atau naik 21,38 persen dibandingkan tahun 2017 pada periode yang sama. Beban utang yang ditanggung tak sebanding dengan laba pada tahun berjalan. Berdasarkan laporan keuangan tahunan PT PLN, laba yang didapatkan berasal dari subsidi pemerintah yang tinggi.
Besar biaya pendapatan tiap tahun belum mampu menutup kekurangan nilai beban usaha. Kekurangan biaya mencapai Rp 29,94 triliun pada periode 2014 hingga 2018. Hal ini menunjukkan ketidakberdayaan PLN dalam pengelolaan keuangan. Di sisi lain, PLN tidak bisa menaikkan dengan sembarangan pendapatan dari tarif dasar listrik yang harus dibayarkan masyarakat.
Laba tahun berjalan pada akhir 2018 hanya mencapai Rp 11,58 triliun. Meskipun naik lebih dari 100 persen dibandingkan tahun 2017, namun selisih antara laba dengan utang terlampau besar. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa PLN belum leluasa untuk memperbaiki diri secara kualitas, sebab ada kewajiban untuk menjaga rasio utang terhadap pendapatan tiap tahunnya.
Di luar problem utang, terdapat juga kasus korupsi yang menimpa Direktur Utama PLN non aktif, terkait suap proyek pembangunan PLTU Riau-1 yang mulai disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta 24 Juni 2019. Ini bukan kali pertama korupsi di PLN.
Sebelumnya, mantan Direktur Utama PT PLN juga pernah ditetapkan sebagai tersangka korupsi pengadaan bahan bakar minyak jenis high speed diesel pada tahun anggaran 2010.
Pengadaan bahan bakar memang menjadi sektor terbesar dalam postur anggaran tahunan PLN. Berdasarkan data tahun 2010, besar beban usaha tahunan mencapai Rp 149,11 triliun, dengan pengeluaran bahan bakar Rp 84,19 triliun atau sekitar 56 persen dari total pengeluaran.
Minim Biaya Perawatan
Berdasarkan laporan keuangan PLN lima tahun terakhir, rata-rata beban usaha atau pengeluarannya mencapai Rp 262,30 triliun. Sedangkan rata-rata pendapatannya hanya Rp 232,36 triliun. Artinya, PLN selalu mengalami defisit keuangan tiap tahunnya.
Meskipun dengan mempertimbangkan dua parameter, yaitu pendapatan dan pengeluaran, PLN mengalami defisit, ternyata di laporan keuangannya tetap mencatat adanya laba setiap tahun berjalan.
Laba tersebut berasal dari subsidi listrik pemerintah yang mencapai 2-3 kali lipat dari besarnya kerugian. Subsidi terbesar diberikan tahun 2015 dengan nilai Rp 56,55 triliun atau hampir 7 kali lipat dari kerugian.
Terkait dengan kejadian listrik padam, persoalan bagaimana PLN merawat sistem kelistrikan yang digunakan menjadi poin penting. Porsi anggaran pemeliharaan terus berkurang tiap tahun dan besarannya tidak lebih dari 10 persen dari total postur belanja setahun.
Selama lima tahun terakhir, rata-rata biaya pemeliharaan hanya mencapai 8 persen atau sekitar Rp 20,71 triliun rupiah. Nilai tersebut jauh lebih kecil dari biaya pengadaan bahan bakar dan pelumas, pembelian tenaga listrik, serta biaya penyusutan.
PLN tampak menekan biaya pemeliharaan tiap tahunnya. Porsi pemeliharaan tahun 2014 sebesar 8,16 persen, sempat menjadi 9,69 persen di tahun berikutnya dengan nilai mencapai Rp 21,86 triliun. Tak berselang lama, tahun 2016 biaya tersebut turun 1,3 persen menjadi 8,34 persen.
Penurunan tahun 2016 terus berlangsung hingga dua tahun berikutnya. Porsi pembiayaan perawatan fasilitas PLN tahun 2018 hanya menyisakan 6,73 persen. Sementara sektor lain, bahan bakar dan pelumas, mengambil porsi lebih dari 50 persen.
Mitigasi krisis
Tingginya biaya pengadaan bahan bakar dan pelumas menggambarkan betapa mahalnya pembangkit-pembangkit listrik yang dioperasikan. Sementara dari sisi laba dan rugi, PLN ternyata terus mengalami kerugian tiap tahunnya. Sementara nilai laba yang muncul berasal dari subsidi pemerintah.
Kondisi tersebut memunculkan pertanyaan, apakah PLN hanya fokus pada peningkatan rasio elektrifikasi namun mengabaikan kualitas transmisi beserta seluruh sistem kelistrikan yang dibangun?
Aset PLN sebagai satu-satunya perusahaan penyediaan listrik di Indonesia dapat dikatakan sangat besar. Namun, sebagai salah satu bagian dari BUMN, PLN juga dituntut menghasilkan return signifikan tiap tahunnya, sebab pemerintah pusat tidak akan terus memberikan subsidi.
PLN tentu akan mencari cara untuk menekan biaya, salah satunya dengan efisiensi besarnya biaya pemeliharaan, terutama perawatan pembangkit yang mahal. Padahal pemeliharaan sistem kelistrikan sangat vital demi menjaga distribusi energi listrik ke seluruh wilayah. Jika sistem tersebut tidak dirawat, maka dampak yang disebabkan sangat besar, sebab luasan wilayah yang padam akan masif.
Audit mendalam demi perbaikan-perbaikan di masa mendatang. Mitigasi krisis listrik harus dilakukan. Seluruh data rekaman besaran listrik sebelum, sesaat, dan setelah gangguan harus dikumpulkan. Pengumpulan data tersebut dibutuhkan untuk analisa mendalam agar gangguan listrik padam tidak terjadi lagi di waktu mendatang.
Ini dilakukan untuk menjaga besaran daya dalam sistem listrik, pembangkit, dan beban tetap seimbang. Nilai daya ditentukan dari awal pembangunan sistem dan pengoperasiannya, termasuk sistem proteksinya. Proses tersebut tak lepas dari data akurat dan detail tentang kondisi pembangkit dan sistem yang digunakan.
Selain itu, keahlian teknis dalam sistem kelistrikan harus terus dikembangkan, termasuk perawatan sarana yang telah dibangun. Terakhir, upaya mitigasi secara teknis maupun finansial harus dikaji ulang agar mampu mereduksi potensi kerugian jika ada gangguan.
Mitigasi dan perbaikan terus menerus perlu dilakukan sebagai upaya besar Negara untuk menyediakan tenaga dalam jumlah yang cukup, merata, dan bermutu sesuai amanat UU No. 30/2009 tentang Ketenagalistrikan. (LITBANG KOMPAS)