Biodiesel Belum Beri Manfaat Signifikan pada Petani Sawit
›
Biodiesel Belum Beri Manfaat...
Iklan
Biodiesel Belum Beri Manfaat Signifikan pada Petani Sawit
Pengembangan bahan bakar biodiesel dalam beberapa tahun terakhir belum memberi manfaat signifikan bagi para petani sawit di Indonesia.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Pengembangan bahan bakar biodiesel dalam beberapa tahun terakhir belum memberi manfaat signifikan bagi para petani sawit di Indonesia. Hal ini karena pengembangan biodiesel lebih banyak melibatkan perusahaan-perusahaan besar yang juga memiliki kebun kelapa sawit sendiri.
”Pengembangan biodiesel belum dirasakan dampaknya di kalangan petani sawit,” kata Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto di sela-sela lokakarya pakar bertema ”Ekonomi Politik Sawit” yang digelar The Indonesian Power for Democracy, Rabu (7/8/2019), di Yogyakarta.
Biodiesel merupakan bahan bakar nabati yang antara lain bisa digunakan untuk kendaraan bermotor dengan mesin diesel. Hingga kini, biodiesel di Indonesia dikembangkan dari minyak sawit. Sejak beberapa tahun lalu, pemerintah telah mewajibkan pencampuran biodiesel dengan bahan bakar solar.
Mulai 2016, pemerintah mewajibkan pencampuran dengan kadar 20 persen biodiesel dan 80 persen solar. Formula pencampuran itu disebut dengan B20. Sementara itu, pada 2020, pemerintah berencana mewajibkan pencampuran 30 persen biodiesel dalam setiap liter solar atau B30.
Darto memaparkan, selama ini, perusahaan-perusahaan produsen biodiesel di Indonesia juga merupakan pemilik kebun kelapa sawit. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan tersebut menggunakan minyak sawit dari kebun sendiri sebagai bahan baku pembuatan biodiesel.
”Industri-industri biodiesel ini, kan, punya kebun sawit semua. Jadi, industri-industri ini menggunakan bahan baku dari kebun mereka sendiri,” ujar Darto.
Kondisi tersebut membuat para petani sawit tidak mendapatkan manfaat signifikan dari pengembangan biodiesel. Padahal, berdasarkan data SPKS, jumlah petani sawit di Indonesia cukup banyak, yakni sekitar 2,5 juta orang. ”Sementara itu, jumlah anggota keluarga petani sawit lebih kurang 10 juta orang,” kata Darto.
Selain itu, para petani sawit juga mengelola lahan perkebunan sawit yang cukup luas. Menurut Darto, dari total luas kebun kelapa sawit di Indonesia sebesar 14,3 juta hektar, 43 persen dikelola para petani.
Pelibatan petani
Darto menyatakan, pemerintah seharusnya mengeluarkan kebijakan untuk melibatkan para petani sawit dalam mata rantai pengembangan biodiesel di Indonesia. Apalagi, pada tahun-tahun mendatang, pemerintah akan terus menaikkan persentase campuran biodiesel pada solar sehingga kebutuhan minyak sawit pun bakal meningkat.
”Pemerintah seharusnya menempatkan petani dalam rantai pasok pengembangan biodiesel,” ujar Darto.
Menurut Darto, jika para petani sawit dilibatkan dalam mata rantai pengembangan biodiesel, ada banyak manfaat yang bisa diperoleh. Salah satunya, harga kelapa sawit milik petani juga akan naik sehingga kesejahteraan pun meningkat. ”Kalau ingin memperbaiki nasib petani, bahan baku biodiesel itu harus dari petani,” katanya.
Direktur The Indonesian Power for Democracy Gregorius Sahdan mengatakan, selama ini, para petani sawit masih kerap dirugikan kebijakan pemerintah. Hal ini karena sejumlah kebijakan terkait kelapa sawit sering kali tidak melindungi hak-hak petani. ”Selain itu, perusahaan-perusahaan sawit juga sering kali hanya menjadikan petani sawit itu sebagai obyek,” katanya.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Annisa Rahmawati menilai, pengembangan biodiesel seharusnya menjadi proses transisi dari energi berbasis fosil ke energi baru dan terbarukan.
”Kita menginginkan biodiesel itu hanyalah sebagai transisi dari energi fosil ke energi baru dan terbarukan,” katanya.
Annisa juga mengingatkan, pengembangan biodiesel jangan sampai menghambat pengembangan energi baru dan terbarukan. Oleh karena itu, pemerintah diminta tidak hanya memberikan subsidi pada pengembangan biodiesel, tetapi juga memberikan subsidi memadai untuk pengembangan energi baru dan terbarukan.
”Kalau subsidinya berfokus ke situ (pengembangan biodiesel), energi terbarukan tidak berkembang karena miskin subsidi. Padahal, pengembangan energi terbarukan itu perlu subsidi,” ungkap Annisa.