JAKARTA, KOMPAS - Fraksi-fraksi partai politik dan kelompok Dewan Perwakilan Daerah di Majelis Permusyawaratan Rakyat belum satu suara dalam menyikapi wacana amendemen terbatas Undang-Undang Dasar 1945 yang diusulkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Amendemen terbatas itu ditujukan untuk menghidupkan Garis-garis Besar Haluan Negara, memberi kewenangan MPR menetapkan GBHN, dan menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Ketua Lembaga Pengkajian MPR Rully Chairul Azwar di Jakarta, Selasa (6/8/2019), menuturkan, fraksi-fraksi dan kelompok DPD di MPR relatif setuju terkait wacana amendemen untuk menghidupkan kembali GBHN. Namun, perbedaan pendapat masih terjadi saat membahas usulan menjadikan MPR lembaga tertinggi negara. Ada yang setuju dan menolak usulan itu.
MPR periode saat ini akan kembali mengkaji pasal-pasal di konstitusi yang diwacanakan diamendemen untuk diajukan ke MPR periode 2019-2024. Pasalnya, masa jabat yang tersisa, yaitu hingga 1 Oktober 2019, membuat MPR periode saat ini tak punya cukup waktu untuk melakukan amendemen. ”Silakan MPR ke depan yang memutuskan,” katanya.
Menurut Rully, komitmen dari partai-partai menjadi penting untuk dikunci sejak awal agar substansi amendemen tidak menjadi bola liar. ”Jangan diadakan sidang (amendemen) tanpa ada komitmen terlebih dahulu dari partai-partai,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR dari Fraksi PDI-P Ahmad Basarah mengatakan, MPR sebenarnya sudah sepakat melakukan amendemen terbatas terhadap UUD 1945. Rekomendasi perubahan terbatas ini, menurut dia, menindaklanjuti pertemuan pimpinan MPR dengan Ketua Dewan Pengarah dan anggota Dewan Pengarah, serta Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) pada 14 Maret 2018.
Terkait adanya kekhawatiran amendemen ini akan menjadi bola liar, Basarah mengatakan, batasan amendemen UUD 1945 untuk mengembalikan wewenang MPR menetapkan GBHN itu tidak akan lari dari sistem presidensial. Oleh karena itu, kajian MPR hanya akan merekomendasikan perubahan terbatas khusus asal 2 dan 3 UUD 1945 yang mengatur tentang eksistensi, kedudukan hukum, dan wewenang MPR.
Dengan amendemen itu, kata Basarah, presiden dan wakil presiden tetap dipilih secara langsung oleh rakyat. Namun dalam menyusun visi-misi dan program lima tahunnya, presiden dan wapres harus bersumber dan menindaklanjuti haluan pembangunan nasional yang cetak birunya sudah ditetapkan MPR. Dengan cara ini, akan terjadi kesinambungan, harmoni dan kepastian pembangunan nasional secara terencana dan terukur.
”Kami berharap komposisi pimpinan dan anggota MPR yang akan datang dapat membuat skala prioritas agenda untuk lima tahun ke depan, utamanya untuk amendemen terbatas dan menghadirkan kembali kewenangan MPR untuk menetapkan GBHN,” papar Basarah.