Setelah China melemahkan nilai tukar yuan, AS menuding China memanipulasi nilai tukar dan melaporkan China ke Dana Moneter Internasional.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketidakpastian finansial global menguat seiring perang dagang Amerika Serikat-China yang diperkuat dengan perang mata uang. Setelah China melemahkan nilai tukar yuan, AS menuding China memanipulasi nilai tukar dan melaporkan China ke Dana Moneter Internasional.
Hal itu menyebabkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi dua hari berturut-turut sebesar 2,59 persen dan 0,91 persen pada level 6119,47. Dalam periode itu, nilai tukar rupiah juga melemah 1 persen dari Rp 14.203 pada akhir pekan lalu menjadi Rp 14.344 pada Selasa lalu.
Lalu siasat atau strategi apa yang diusulkan Bahana TCW Investment Management?
Direktur Strategi Investasi dan Kepala Makroekonomi Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat, Rabu (7/8/2019), di Jakarta, menyarankan agar para investor mengambil sikap defensif menyikapi memburuknya perseteruan AS-China. Para investor dapat menanamkan modalnya pada aset-aset yang lebih aman dari volatilitas dan rendah risiko.
Di pasar uang, aset-aset itu bisa berupa reksa dana pasar dan surat berharga negara. Sementara di pasar saham, investor dapat melirik saham sektor perbankan kendati valuasi sudah mahal karena sektor ini diyakini mendapat manfaat pelebaran margin keuntungan dengan penurunan bunga deposito, sedangkan bunga kredit relatif tetap.
Investor sebaiknya berhati-hati dengan saham berbasis komoditas dan energi.
”Investor sebaiknya berhati-hati dengan saham berbasis komoditas dan energi, seperti tambang dan minyak kelapa sawit mentah (CPO), serta energi yang menyebabkan polusi lingkungan,” kata Budi dalam keterangan pers.
Pelemahan yuan, lanjut Budi, kurang sejalan dengan penguatan ekonomi domestik. Pemerintah China diperkirakan akan memilih energi yang lebih ramah lingkungan dengan memanfaatkan booming gas serpih atau gas alam (shale gas) di AS. Hal itu berpotensi menurunkan permintaan impor batubara dari Indonesia.
Perlombaan mata uang
Adapun investasi di sektor properti dan otomotif tengah menghadapi tantangan penurunan daya beli. Hal itu sejalan dengan pelemahan harga komoditas primer andalah ekspor Indonesia.
Padahal, di masa lalu, penurunan suku bunga acuan yang memicu penurunan suku bunga perbankan akan memacu pertumbuhan laba sektor properti dan otomotif.
Menurut Budi, belum usainya pertikaian AS-China akan semakin berdampak pada sektor perdagangan dan finansial global. Pelemahan drastis yuan dikhawatirkan memicu competitive devaluation atau
perlombaan regional memperlemah mata uang dengan sengaja.
Bagi Indonesia, pelemahan yuan itu akan mempersulit upaya Indonesia menurunkan defisit neraca perdagangan dengan China yang terus memburuk sejak tahun 2012. Selama tahun 2018, defisit perdagangan dengan China sebesar 18,4 miliar dollar AS atau melonjak 44,8 persen dari 2017.
”Kami khawatir, risiko pelemahan dan peningkatan volatilitas nilai tukar rupiah dapat menurunkan keleluasaan BI memangkas suku bunga acuan untuk memacu pertumbuhan ekonomi tanpa memicu defisit neraca berjalan,” ujarnya.
Menurut Budi, perang dagang AS-China dalam jangka panjang akan memengaruhi profil arus perdagangan dan investasi internasional. Namun, ada negara-negara yang tahan uji dan mampu meningkatkan perdagangan mereka memanfaatkan celah perang dagang itu.
Indonesia memiliki banyak tantangan untuk mengendalikan defisit neraca berjalan dan bersaing dengan negara tetangga.
Pada Januari-Mei 2019, data pemerintah AS menunjukkan, surplus dagang Vietnam ke China sebesar 21,6 miliar dollar AS atau naik 42,6 persen dibandingkan dengan periode sama 2018.
Pada periode yang sama, surplus dagang China dengan AS turun 10 persen menjadi 137 miliar dollar AS. Sementara surplus dagang Indonesia dengan AS turun 12,2 persen menjadi 5,1 miliar dollar AS.
”Indonesia memiliki banyak tantangan untuk mengendalikan defisit neraca berjalan dan bersaing dengan negara tetangga, seperti Vietnam. Selain faktor infrastruktur, kepastian hukum, dan insentif pajak, banyak keluhan investor asing terkait dengan kualitas dan produktivitas tenaga kerja Indonesia yang harus segera dibenahi. Investor tampaknya menanti susunan kabinet pemerintah yang baru yang diharapkan lebih efektif meningkatkan investasi asing masuk ke Indonesia,” kata Budi.
Sebelumnya, Kepala Ekonom PT Bank UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja, Selasa (6/8/2019), di Jakarta, mengatakan, tekanan global semakin nyata setelah eskalasi konflik dagang AS-China yang berujung pelemahan yuan. Kondisi tersebut akan memengaruhi kurs rupiah dan membebani industri nasional karena sebagian besar bahan baku dan barang modal masih impor.
”Dampaknya pada pelemahan rupiah sehingga dikhawatirkan industri tidak bisa meneruskan harga atau mengurangi impornya yang secara otomatis membuat konsumsi masyarakat ikut turun,” kata Enrico.
Tim ekonom PT Bank UOB Indonesia merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2019 dari 5,2 persen menjadi lebih rendah, yakni 5-5,1 persen. Revisi dilakukan karena pertumbuhan konsumsi diperkirakan melemah, sementara kinerja ekspor masih menantang. Risiko perekonomian domestik pada semester II-2019 masih didominasi faktor global (Kompas.id, 6/8/2019).