Kasus korupsi lintas negara perlu menjadi perhatian pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2019-2023. Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK, melalui seleksi tahap profile assessment yang diselenggarakan 8-9 Agustus, ingin memastikan calon pimpinan KPK mendatang memiliki kemampuan tersebut.
Oleh
Ingki Rinaldi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus korupsi lintas negara perlu menjadi perhatian pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2019-2023. Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK, melalui seleksi tahap profile assessment yang diselenggarakan 8-9 Agustus, ingin memastikan calon pimpinan KPK mendatang memiliki kemampuan tersebut.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, Kamis (8/8/2019), di sela-sela tahapan seleksi profile assessment di Gedung Lemhannas, Jakarta, mengatakan, selama ini hampir semua kasus korupsi besar selalu melibatkan negara lain. Laode yang menjadi peserta seleksi mengatakan, terkait dengan kondisi tersebut, pemahaman mengenai hubungan internasional dan sistem hukum timbal balik antaragensi penegak hukum menjadi penting.
”Oleh karena itu, pimpinan KPK harus mau berkomunikasi secara efektif dengan lembaga-lembaga antikorupsi atau aparat penegak hukum lain yang ada di luar Indonesia. Tanpa itu, agak susah, ya,” ujar Laode.
Ketua Pansel KPK Yenti Garnasih mengatakan, salah satu tantangan pimpinan KPK mendatang adalah bekerja sama dengan negara lain. Hal ini dilakukan terkait konteks pemulihan aset dengan menelusuri hasil kejahatan dalam kerangka pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
”Sekarang, apa yang terjadi (pelaku) korupsi mendekam (di penjara), (tapi) terus yang menikmati hasil kejahatan tetap tenang,” ujar Yenti.
Ia menambahkan, pansel juga mencari profil calon pemimpin KPK yang mampu menghadapi peningkatan pola perilaku kejahatan korupsi pada saat ini, menjadi jenis kejahatan yang lebih canggih. Bahkan, imbuh Yenti, hal itu telah mewujud pada praktik kejahatan yang tidak lagi meninggalkan bukti-bukti.
Hal lain yang juga penting adalah bagaimana hasil seleksi tersebut menghasilkan profil calon pemimpin KPK yang mampu menangani dinamika internal. Di antaranya, termasuk dugaan adanya sebagian rencana penindakan korupsi yang diduga sudah bocor terlebih dahulu.
Dua aspek
Team Leader lembaga konsultansi psikologi dan manajemen ARA Indonesia Yanti Munthe yang menangani tahapan seleksi profile assessment mengatakan, proses tersebut secara umum memeriksa dua hal. Pertama, aspek psikologis. Kedua, aspek kompetensi manajerial dan sosio-kultural.
Aspek psikologis meliputi kecerdasan, kepribadian, sikap kerja, wawasan kepemerintahan atau tata kelola, dan wawasan kebangsaan. Sementara aspek kedua meliputi kompetensi, integritas, komunikasi, kerja sama, orientasi hasil, dan pengambilan keputusan.
Di dalamnya termasuk pula bagaimana kemampuan mengelola perubahan dan mengembangkan orang lain serta diri sendiri. Selain itu, ada pula dimensi pelayanan publik dan fungsi sebagai perekat bangsa.
”Ini yang akan kami periksa,” kata Yanti.
Kompetensi itu antara lain diketahui dari studi kasus dengan sejumlah metode yang dipergunakan. Setiap peserta mengikuti tes tertulis yang menjadi rangkaian dalam aspek psikologis. Selanjutnya, pada Jumat (9/8/2019), akan dilakukan diskusi kelompok, dengan setiap kelompok terdiri atas 6-8 peserta, management games, permainan peran, dan wawancara.
Evaluasi akan dilakukan satu per satu terhadap 40 calon pemimpin KPK yang turut tahapan seleksi tersebut. Fungsinya untuk bisa langsung dibandingkan antara satu kandidat dan kandidat lain, dengan tiga asesor yang akan melakukan evaluasi.
Yanti menambahkan, proporsi penilaian sebesar 70 persen berada pada aspek kompetensi. Sisanya pada aspek psikologis.
Dalam aspek kompetensi itu terdapat dimensi integritas yang bobotnya hingga saat ini belum ditentukan. Menurut Yanti, hal itu akan tergantung pansel
karena ada dua opsi terkait, yaitu diberi bobot yang sama atau lebih tinggi.
”Hari ini kami memeriksa dan (memberikan) skoring dulu. Nanti baru memberikan pembobotan,” ujar Yanti.
Masukan publik
Anggota Pansel KPK, Hendardi, menyampaikan, sejauh ini pihaknya menerima sekitar 1.400 masukan dari masyarakat. Akan tetapi, ia menyayangkan sebagian besar di antaranya hanya berupa pujian.
Hendardi mengingatkan, terkait masukan berupa kritik yang disampaikan di ruang publik, hal itu akan bersentuhan dengan konsekuensi hukum tertentu. Ia menyatakan pandangannya itu menyusul adanya hak hukum terkait potensi pelaporan atas pencemaran nama baik dari sebagian pihak yang dikritik dalam sebagian masukan yang disampaikan di ruang publik.
Menanggapi hal itu, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengatakan, masukan dan kritik dari publik mestinya dipandang positif oleh pansel. Ia mengatakan hal itu merupakan bagian perhatian publik untuk memastikan proses seleksi berlangsung obyektif dan transparan.
”Semestinya tidak ada resistensi terhadap masukan atau kritik dari publik,” kata Donal.