Evaluasi Industri Ekstraktif di DAS Batanghari dan Indragiri
›
Evaluasi Industri Ekstraktif...
Iklan
Evaluasi Industri Ekstraktif di DAS Batanghari dan Indragiri
Koalisi masyarakat sipil mendesak pemerintah daerah menghentikan pemberian izin baru sekaligus mengevaluasi aktivitas tambang, perkebunan, dan pembangkit listrik di sekitar daerah aliran sungai Batanghari dan Indragiri, Sumatera Barat. Aktivitas industri ekstraktif itu diduga merusak dan mencemari kedua sungai serta memicu konflik satwa dan manusia.
Oleh
YOLA SASTRA
·4 menit baca
PADANG, KOMPAS — Koalisi masyarakat sipil mendesak pemerintah daerah untuk menghentikan pemberian izin baru sekaligus mengevaluasi aktivitas tambang, perkebunan, dan pembangkit listrik di sekitar daerah aliran sungai Batanghari dan Indragiri, Sumatera Barat. Aktivitas industri ekstraktif itu diduga merusak dan mencemari kedua sungai tersebut serta memicu konflik satwa dan manusia.
Desakan itu disampaikan Koalisi Selamatkan DAS Indragiri dan Batanghari di Padang, Sumatera Barat, Rabu (7/8/2019). Organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam koalisi tersebut adalah Walhi Sumbar, Walhi Jambi, Perkumpulan Qbar, PBHI Sumbar, Sumatera Green Forest, Komunitas Pecinta Alam Winalsa, dan LKAAM Solok Selatan.
Ketua Komunitas Pecinta Alam Winalsa Abdu Aziz mengatakan, aktivitas pertambangan emas di Solok Selatan telah memicu kerusakan hulu DAS Batanghari. Salah satu pemicu kerusakan ialah tidak adanya rehabilitasi bekas tambang peninggalan perusahaan yang izin usahanya sudah berakhir. Kondisi itu diperparah berbagai aktivitas tambang ilegal di sekitar kawasan hulu.
”Kondisi DAS Batanghari yang mengalir hingga ke Jambi semakin kritis dan berpotensi memicu banjir yang mengancam keselamatan warga di sekitar DAS,” kata Aziz. Di sekitar hulu DAS Batanghari terdapat delapan izin usaha pertambangan (IUP) yang masih aktif.
Kondisi DAS Batanghari yang mengalir hingga ke Jambi semakin kritis dan berpotensi memicu banjir yang mengancam keselamatan warga di sekitar DAS. (Abdu Aziz)
Aziz juga menyoroti IUP yang dikeluarkan Bupati Solok Selatan untuk salah satu perusahaan tambang emas di sekitar aliran sungai Batang Bangko, bagian dari DAS Batanghari. IUP dengan konsesi seluas 1.790 hektar yang membentang sepanjang 8,5 kilometer di aliran sungai itu merupakan suatu kemunduran. Sebab, kerusakan oleh aktivitas tambang terdahulu saja belum teratasi.
Staf Penguatan Data dan Informasi Walhi Jambi Kartika Dewi TM mengatakan, dalam satu dekade terakhir, kondisi DAS Batanghari kritis. DAS Batanghari di Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah yang dulunya sumber air bersih, habitat ikan air tawar, dan jalur transportasi masyarakat kini justru menjadi sumber penyakit dan masalah.
”Data Bappeda Jambi mengungkapkan status Sungai Batanghari berada di prioritas I atau masuk dalam kondisi kritis,” kata Kartika.
Hasil analisis kualitas air Sungai Batanghari tahun 2016, menurut Kartika, juga menunjukkan nilai permintaan oksigen biologis (BOD) dan permintaan oksigen kimiawi (COD) melampaui baku mutu. BOD dan COD di sungai mencapai 18,08 mg/L dan 35,2 mg/L, sedangkan baku mutu BOD dan COD yang ditetapkan pemerintah hanya 3 mg/L dan 25 mg/L. Sumber pencemar terindikasi dari limbah industri dan limbah domestik.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Walhi Sumbar Uslaini menyoroti aktivitas PLTU Ombilin di Sawahlunto. Abu sisa pembakaran batubara yang termasuk limbah B3 di pembangkit tersebut diduga mencemari Batang Ombilin, hulu dari DAS Indragiri yang bermuara di Riau. PLTU tidak mengelola limbah B3 tersebut dengan baik karena menumpuk abu lebih dari 100.000 ton dengan jarak kurang dari 10 meter dekat bibir sungai.
”Ketika angin kencang atau hujan deras, abu tersebut akan turun, masuk ke aliran Batang Ombilin yang bermuara di Sungai Indragiri. Limbah itu mencemari sungai yang dimanfaatkan masyarakat mulai dari hulu, tengah, hingga hilir,” kata Uslaini.
Aktivitas perkebunan kelapa sawit di sepanjang DAS Indragiri turut mencemari sungai. Sisa pestisida dan pupuk yang hanyut dari aktivitas pencucian hasil panen di sungai memengaruhi kualitas air.
Uslaini menambahkan, aktivitas perkebunan kelapa sawit di sepanjang DAS Indragiri turut mencemari sungai. Sisa pestisida dan pupuk yang hanyut dari aktivitas pencucian hasil panen di sungai memengaruhi kualitas air.
Ketua Sumatera Green Forest Jasman mengatakan, hulu DAS Indragiri dan Batanghari merupakan habitat dan tempat pergerakan satwa-satwa dilindungi, seperti harimau, beruang, tapir, dan burung rangkong. Kerusakan daerah aliran kedua sungai akibat industri ekstraktif turut memicu konflik antara satwa dan manusia. Konflik akibat kerusakan tempat tinggal satwa maupun hilangnya sumber makanan.
”Sejumlah konflik antara satwa dan manusia terjadi di sekitar DAS tahun 2018. Di daerah Lubuk Gadang Utara, Lubuk Gadang Induk, dan Birdar Alam (Solok Selatan), serta Sumpur Kudus (Sijunjung), harimau sumatera masuk ke pemukiman penduduk dan memangsa ternak,” kata Jasman.
Sekretaris LKAAM Solok Selatan Atilla Majidi Datuak Sibungsu meminta pemerintah daerah meninjau kembali pemberian izin pertambangan di hulu DAS Batanghari, Solok Selatan. Selain merusak lingkungan, investasi tersebut juga mengabaikan hak-hak masyarakat adat. Investor hanya memberi ganti rugi di awal tanpa skema bagi hasil. Masyarakat adat juga berpotensi kehilangan tanah ulayat karena sehabis izin, tanah tidak kembali ke mereka, tetapi menjadi milik negara.
”Pemerintah daerah juga mesti mempertimbangkan DAS Batanghari yang dulunya daerah pemukiman awal warga Solok Selatan. Perimba dan pencari batu akik Sungai Dareh menuturkan, banyak ditemukan artefak kuno di lokasi tersebut. Aktivitas tambang akan merusak warisan budaya itu,” kata Atilla.
Koalisi pun mendesak Pemerintah Provinsi Sumbar, Jambi, dan Riau untuk memantau, mengevaluasi, dan menertibkan semua aktivitas ekstraktif baik legal maupun ilegal di sepanjang DAS Batanghari dan Indragiri. Pemerintah juga diminta memoratorium perizinan industri ekstraktif pada kedua DAS itu. Pemerintah daerah juga diminta mengkaji potensi warisan budaya di DAS Batanghari dan Indragiri.