Rumah yang jauh dari tempat kerja masih menjadi pilihan warga, terutama karena faktor harga yang lebih miring. Namun, penyediaan infrastruktur transportasi publik masih tertinggal, terabaikan.
JAKARTA, KOMPAS — Infrastruktur dasar untuk transportasi yang belum memadai mengakibatkan rendahnya efisiensi perjalanan serta biaya transportasi.
Di Kota Bekasi, misalnya, saat ini baru ada 12 bus Transpatriot, bagian dari jaringan angkutan massal berbasis bus di kota itu. Penambahan hingga 20 bus baru dalam tahap realisasi. Selain bus yang masih minim, layanan angkutan reguler seperti mikrolet juga belum menjangkau semua kawasan. Layanan kereta komuter, KRL, baru sampai Cikarang.
Dinas Perhubungan Kota Bekasi baru akan menambah 20 Transpatriot untuk memudahkan akses transportasi bagi warga.
Kepala Bidang Angkutan Dinas Perhubungan Kota Bekasi Fatikhun mengatakan, pihaknya sudah berupaya maksimal menyadarkan masyarakat untuk menggunakan sarana transportasi publik. Namun, hingga kini pengguna angkutan pribadi masih dominan.
”Biaya transportasi (yang didominasi kendaraan bermotor pribadi) sudah menggerus 30-40 persen pendapatan,” ucap pengamat masalah perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, Selasa (30/7/2019).
Kondisi itu, menurut Yayat, diperparah dengan ketidakkonsistenan pemerintah dan pemerintah daerah menjaga regulasi tata ruang dipatuhi. Izin prinsip dan izin lokasi untuk perumahan di tanah mana pun diberikan, tetapi perumahan-perumahan itu tumbuh dan berkembang tanpa jaringan pelayanan publik yang mendukung optimalisasi pertumbuhannya.
Ini mengakibatkan peluberan permukiman kota secara tidak terarah atau urban sprawl. Pengembang skala kecil langsung saja membuat perumahan pada lahan yang tidak luas, hanya berkisar 10-30 hektar, bahkan kurang dari itu, dan tersebar di mana-mana. Mereka tidak mengurus akses transportasi dari perumahan itu menuju pusat aktivitas ekonomi, terutama Ibu Kota, karena memang bukan tanggung jawab mereka.
Di samping itu, kebanyakan pengembang perumahan pun tidak sanggup jika mesti membangun infrastruktur jalan di luar lingkungan perumahan. Pemicu utamanya biaya pembebasan tanah yang mahal.
Yayat menambahkan, kebijakan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) turut berkontribusi pada berkembangnya kawasan perkotaan di wilayah pinggiran secara tidak terencana.
Mengingat pemberian fasilitas itu menyasar pekerja kelas menengah ke bawah, para pengembang harus menyesuaikan lokasi agar harga rumah tetap terjangkau, sesuai yang sudah ditetapkan pemerintah pusat. Lahan sempit yang makin jauh dari Ibu Kota mau tidak mau juga menjadi pilihan untuk mewujudkan perumahan FLPP itu.
Akhirnya para penghuni perumahan kecil di sekitar Jakarta harus menerima akses yang sempit menuju Ibu Kota dengan minim transportasi publik.
”Itulah mengapa fenomena tsunami motor muncul,” ujar Yayat.
Guna mengatasi kesemrawutan akses transportasi dari sekitar Jakarta ke Jakarta serta sebaliknya, Yayat merekomendasikan adanya badan usaha, misal badan usaha milik negara, yang mengintegrasikan seluruh layanan angkutan massal di tingkat Jabodetabek. Dengan demikian, percepatan pembangunan angkutan massal bisa dilakukan.
Integrasi diperlukan untuk pengoperasian bus rapid transit (BRT) yang di Jakarta sekarang dikelola PT Transportasi Jakarta, kereta rel listrik yang dikelola PT KAI Commuter Indonesia, moda raya terpadu (MRT) yang dikelola PT MRT Jakarta, serta kereta ringan (LRT) oleh PT KAI dan PT LRT Jakarta.
Kementerian perkotaan
Namun, infrastruktur dasar yang belum terintegrasi bukan hanya transportasi. Contohnya, banyak perumahan baru yang belum dilengkapi dengan jaringan air perpipaan, drainase, serta pengelolaan sampah terpadu. Akibatnya, penyedotan air tanah menjadi pilihan dengan konsekuensi kualitas air tidak terjamin, kerentanan banjir besar, serta sampah terancam menumpuk.
Terkait dengan hal itu, peneliti dan pengajar Departemen Perencanaan Perkotaan dan Realestat, Suryono Herlambang, merekomendasikan pemerintah menghidupkan kembali kementerian perumahan rakyat dengan ditambahkan tanggung jawab sektor perkotaan.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat cenderung keteteran. Agar beban terbagi, sebaiknya pekerjaan terkait dengan perumahan rakyat dipisah kembali. Apalagi, saat ini kawasan perkotaan makin meluas dan sekitar 60 persen Pulau Jawa saja sudah menjadi kota.