Surat kabar lokal di AS mengalami krisis yang berujung pada penghentian cetaknya. Mereka tak bisa bersaing dengan media baru, seperti Facebook dan Google.
Cerita pilu media konvensional di Amerika Serikat itu diso- roti Christine Schmidt dari Nieman Lab dalam artikelnya yang dipublikasikan, Senin (5/8/2019). Koran legendaris di AS yang mengakhiri cetaknya antara lain The Seattle Post-Intelligencer yang terbit pertama kali tahun 1863 dan Warroad Pioneer, Minnesota, yang ditutup ketika berusia 121 tahun. Situasi itu menjadi laporan nasional surat kabar terbesar di AS, The New York Times, sebagai keprihatinan dan menyuarakan keadilan bagi media massa konvensional.
Kondisi yang nyaris sama itu terjadi pula di negeri ini. Media massa konvensional, sebagai penyedia konten, kini terjepit dan sebagian di antaranya mengakhiri edisi cetak karena tak kuat menghadapi gerusan media baru berbasis internet. Ada relasi yang tak setara antara penyedia konten dan penyedia platform. Dahulu penyedia platform tidak memasuki wilayah konten, tetapi kini mereka menyediakan konten(Kompas, 7/8/2019).
Penyedia platform tak sepenuhnya salah kalau kemudian menyediakan konten. Sejumlah media massa, terutama yang berbasiskan internet, mengizinkan penyedia platform mengakses kontennya dan memublikasikan. Selain mendapatkan konten, mereka memperoleh data yang sangat berharga pada era digital ini. Warga bisa membuat konten melalui platform, sesuai kepentingannya, yang kualitas dan kebenarannya belum tentu setara dengan konten yang dihasilkan media massa.
Penyedia konten mendapatkan keuntungan, tetapi pasti tak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh penyedia platform. Secara global, sekitar 70 persen pendapatan iklan ranah digital dikuasai penyedia platform, khususnya Facebook, Google, dan media sosial lain. Penyedia platform dipersoalkan karena diduga tak membayar pajak secara benar. Penyedia konten terikat dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers; harus berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial, sekaligus lembaga ekonomi.
Relasi antara penyedia konten dan pemilik platform tidak setara. Asimetris. Penyedia konten, yaitu media massa, baik cetak, elektronik, maupun dalam jaringan (online), harus memeras otak dan tenaga untuk bertahan. Kesetaraan itu yang diteriakkan dan diperjuangkan pengelola media di negeri ini. Pemerintah, juga Dewan Pers, perlu memberi dukungan, termasuk dengan kebijakan yang membuat penyedia konten bisa bersaing setara dengan penyedia platform. Komisi Penyiaran Indonesia bisa mengawasi media baru, penyedia platform itu. Tahun 2018, parlemen Uni Eropa mengeluarkan aturan perlindungan data digital milik warga Uni Eropa dari pemanfaatannya oleh perusahaan digital. Hal ini bisa ditiru.
Mathias Dopfner, pemimpin Axel Springer, Jerman, mengingatkan, jurnalisme digital (sebagai konten) hanya akan jadi model bisnis yang sukses secara finansial dengan model berbayar (yang layak). Peringatan Dopfner pada International Paid Content Summit di Berlin tahun 2017 itu semestinya juga berlaku bagi pemilik platform, tak hanya pelanggan media.