Kongres kelima Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang mengusung tema ”Solid Bergerak untuk Indonesia Raya” memberikan penekanan pada aspek budaya sebagai bagian dari penguatan ideologi partai, Pancasila.
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
Kongres kelima Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang mengusung tema ”Solid Bergerak untuk Indonesia Raya” memberikan penekanan pada aspek budaya sebagai bagian dari penguatan ideologi partai, Pancasila. Budaya dipandang sebagai kaki-kaki dan pilar dari ideologi negara itu, Pancasila, karena hanya dengan melestarikan budaya yang berbeda-bedalah pengejawantahan Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika mendapatkan tempatnya.
Penampilan 50 penari gandrung yang dibawa oleh Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengisi keceriaan dalam pra-pembukaan Kongres V PDI-P di Kompleks Grand Inna Bali Beach, Rabu (7/8/2019). Sebagian besar penari yang berusia di bawah 17 tahun itu memukau para kader yang hadir dalam registrasi, berikut para tamu hotel, karena penampilan mereka yang menarik perhatian.
Mengenakan mahkota berwarna kuning emas dan selendang warna merah, para penari gandrung itu lincah bergerak mengikuti irama gamelan. Mereka menjepit ujung selendang dan meliukkan tangannya sembari kepalanya berputar mengikuti gerak kaki yang membawa keseluruhan tubuh penari berputar 360 derajat. Gerakan itu disambung dengan kaki yang memacak-macak ke kanan dan ke kiri berbarengan di antara mereka. Terdengar suara panjak gendang ikut mengiringi.
Penampilan kelompok tari dari Banyuwangi itu adalah bagian dari upaya PDI-P untuk memberikan suasana yang berbeda daripada kongres-kongres sebelumnya. Baru dalam kongres kali ini pun dibentuk komisi budaya yang secara khusus akan membahas upaya penguatan dan program-program kebudayaan yang akan dilakukan oleh PDI-P serta direkomendasikan kepada pemerintahan baru.
Pembentukan komisi budaya ini, menurut ketua tim pengarah (steering committee) Kongres V PDI-P di Bali, Djarot Saiful Hidayat, sesuai dengan tantangan yang dihadapi oleh partai dan negara-bangsa Indonesia. Sebagai partai dengan pengusung ideologi Pancasila, PDI-P melihat ada kecenderungan turunnya kesadaran berkebudayaan.
Apresiasi pada seni-budaya yang minim itu pun dikhawatirkan membawa ekses lanjutan pada sikap dan pikiran yang ekstrem dan tidak toleran pada budaya yang berbeda. Padahal, khazanah kebudayaan di Tanah Air sangat kaya. Setiap daerah memiliki budaya yang berbeda-beda. Demikian pula dengan ekspresi keseniannya.
Tari gandrung dari Banyuwangi yang menampilkan kelompok perempuan mengenakan baju tradisional yang memperlihatkan vitalitas gerak jasmani dan keselarasannya dengan irama musik gamelan, di satu sisi kerap tidak dipandang dengan kacamata budaya dan estetika keindahan seni, tetapi diadili dengan justifikasi moral yang kaku semata.
Gandrung yang mulai redup itu berusaha dihidupkan kembali oleh Banyuwangi melalui Banyuwangi Festival yang secara rutin memanggungkan kembali tarian rakyat itu.
”Dampaknya luar biasa. Dengan adanya Banyuwangi Festival, regenerasi di bidang kebudayaan itu mulai tumbuh. Mereka yang dulu berkecimpung di bidang seni budaya umumnya adalah orang-orang tua, kini bergeser menjadi kalangan muda,” kata Abdullah Azwar Anas.
Geliat gandrung itu pula yang berhasil menggerakkan para politisi, seperti Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto, Djarot Saiful Hidayat, dan Putra Nababan, yang tidak bisa menolak permintaan para penari ketika mereka melakukan tari gandrung paju, yakni dengan meminta penonton untuk turut menari. Selendang penari dikalungkan ke leher penonton sehingga mereka terikat untuk ikut menari. Sekalipun tidak seluwes gerak para penari, para politisi itu berupaya mengikuti alur dan irama gerakan mereka.
Anas, yang juga kader PDI-P, mengatakan, untuk menjaga Pancasila, kewajiban pertama yang seharusnya digalakkan ialah dengan melestarikan kebudayaan. Sebab, kebudayaan itulah yang menjadi kaki dan kekuatan utama keindonesiaan.
”Dengan mengusung kebudayaan, maka kebinekaan itu menjadi keniscayaan, bukan penyeragaman. Jadi, kita tidak perlu banyak bicara untuk menjaga Pancasila, cukup melakukan aksi dengan menjaga kebudayaan kita masing-masing,” katanya.
Kebudayaan pun diyakini mampu meredam paham-paham radikalisme karena mereka yang getol dalam berkebudayaan telah terbiasa dengan estetika kesenian, keindahan, yang maknanya bisa berbeda-beda, dan ditanggapi dengan respons indrawi yang kompleks serta tidak semata-mata menjustifikasi pada satu norma yang beku. Keluwesan budaya menjadi penawar bagi pola pikir yang serbalinear dan seragam.
Hal itu pun diakui oleh Ketua DPP PDI-P Puan Maharani di sela-sela kunjungannya ke Kompas, beberapa hari lalu. Menurut Puan, ekspresi seni-budaya tidak bisa dilihat dari kacamata yang nirbudaya. Memandang penari pendet atau gandrung, misalnya, dengan sebagian badan yang terbuka, tidak bisa semata-mata dimaknai sebagai bentuk ketidaksopanan, tetapi dengan respons indrawi yang kompleks, maka nilai-nilai estetika dan keindahan itu muncul sebagai dimensi lain yang memperkaya perspektif manusia atas suatu hal. Estetika itu tidak tergantikan hanya dengan menutupi bagian tubuh penari dengan stoking berwarna kulit karena kesan dan ekspresi yang muncul darinya berbeda.
Pada titik ini, menurut Anas, budaya adalah instrumen pas untuk melawan paham-paham ekstrem. Perhelatan Kongres PDI-P yang mewadahi sejumlah pegiat seni budaya untuk tampil dalam kegiatan pra-pembukaan, termasuk dalam malam budaya yang juga dihadiri oleh Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri, ataupun ketika pentas kecil 50 penari di halaman kompleks Hotel Grand Inna Bali Beach, diibaratkan sebagai bagian dari silaturahmi kebudayaan nasional.
Maka, seperti makna tarian gandrung Kembang Menur yang dibawakan oleh para penari dari Banyuwangi itu, kebudayaan sebagai pilar Pancasila merefleksikan gambaran bunga atau kembang yang indah (menur). Setiap orang bisa menikmatinya dengan suasana keindahan, keagungan, dan penuh syukur.